Asal Mula orang Pariaman: Pariaman sebagai kota otonom lahir berdasarkan surat keputusan Presiden yang diserahkan oleh Menteri Dalam Negeri RI Hari Sabarno tanggal 2 Juli 2002 di halaman kantor Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa Depdagri, Jakarta. Kota Pariaman ini lahir berdasarkan Undang-Undang No. 12 tahun 2002 tanggal 10 April 2002 tentang pembentukan Kota Pariaman Propinsi Sumatera Barat yang ditandatangani oleh Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Undang-Undang tersebut diundangkan ke dalam Lembaran Negara RI dengan nomor urut 25 tahun 2002 oleh Sekretaris Negara RI Bambang Kesowo.
Namun jauh sebelumnya, dari mana asal penduduk Pariaman. Jika dilihat masa silam kota Pariaman, maka Pariaman merupakan salah satu daerah rantau dari Minangkabau, seperti halnya Padang, Pasisia, Tiku. Menurut struktur pemerintahan adat Minangkabau, rantau Pariaman dinamakan rantau Riak Nan Mamacah. Maksudnya, di mana harta pusakanya juga turun dari garis ibu. Sedangkan gelar (gala) pusaka, juga turun dari garis Bapak. Warisan gelar setelah berumah tangga turun dari bapak seperti Sidi, Bagindo dan Sutan. Gelar itu merupakan panggilan dari keluarga isteri yang lebih tua dari umur isteri kepada seorang laki-laki. Warisan dari bapak ini hanya ada di Pariaman.
Penduduk Pariaman umumnya turun dari Luhak Tanahdata. Selain itu juga dari Luhak Agam pada bagian Utara. Sedangkan bagian sebelah Selatan justru turun dari Solok. Meski demikian, tetap saja mereka yang turun dari Luhak Tanahdata menjadi pemegang utama roda pemerintah.
Abdul Kiram dan Yeyen Kiram dalam bukunya Raja-Raja Minangkabau Dalam Lintasan Sejarah (2003;51-52) mencatat, nenek moyang yang mula-mula turun dari Luhak Tanahdata ada sebanyak empat orang Penghulu beserta rombongannya. Yakni Datuk Rajo Angek, Datuk Palimo Kayo, Datuk Bandaro Basa, dan Datuk Palimo Labih. Amanah dari Yang Dipertuan Pagaruyung, di mana jika rombongan berada pada sebuah tempat yang tidak diketahui namanya, maka segeralah diberi nama dan tanda.
Akhirnya tempat itu diberi nama Kandangampek. Karena rombongan mereka berjumlah empat. Tidak lama kemudian, di tempat yang sama datang lagi satu rombongan dipimpin Datuk Makhudum Sabatang Panjang. Kedua rombongan bergabung dan sepakat bersama-sama turun ke bawah menuju arah Barat. Selanjutnya, rombongan menemukan sebuah tempat yang agak tinggi, tapi belum diketahui namanya. Salah seorang anggota rombongan, menanamkan sebatang pohon sebagai pembatas antara Luhak dan Rantau. Di tempat itu rombongan sepakat menamakan Kayutanam. Daerah inilah yang membatasi Luhak (darek) dengan Rantau. Berbatas dengan Bukit Barisan yang melingkari Padangpanjang.
Perjalanan kelima orang Penghulu tersebut diteruskan sampai ke Pakandangan. Di sini mereka membangun perkampungan. Tidak lama kemudian datang lagi ke Pakandangan enam orang Penghulu dari Tanahdata, yakni Datuk Simarajo, Datuk Rangkayo Basa, Datuk Rajo Mangkuto, Datuk Rajo Bagindo dan Datuk Mangkuto Sati.
Keenamnya bergabung dengan rombongan yang datang sebelumnya. Luas perkampungan diperluas sampai ke Sicincin. Sebagai penghormatan, khusus lima orang Penghulu yang datang pertama, mereka ditempatkan di tengah-tengah kampung. Sedangkan enam Penghulu yang datang belakangan, melingkari tempat kediaman lima Penghulu tersebut. Daerah ini akhirnya bernama Anamlingkung. Kedatangan dua gelombang, untuk mengingatnya dijadikan Kecamatan 2 X 11 Anam-lingkuang dengan ibukota Sicincin. Kini kecamatan ini sudah dimekarkan menjadi tiga kecamatan. Yakni, Anamlingkung, 2 X 11 Anamlingkuang Sicincin dan 2 X 11 Kayutanam. Dari daerah-daerah ini, mereka terus menyusuri hingga ke pantai Pariaman.
Ada juga yang menyebutkan penduduk Pariaman dari Tanahdata turun melalui Malalak. Di Malalak rombongan terbagi dua kelompok. Satu kelompok langsung menuju Pariaman, satu kelompok lagi menuju Kampungdalam. Kuatnya hubungan kekeluargaan dengan Malalak ini dapat dilihat dari adanya kunjungan dari orang yang berada di Pariaman, tapi berasal dari Malalak, kepada keluarga asal di Malalak.
Sejarah Keturunan India di Pariaman:
Di dalam banyak buku sejarah, selalu disebutkan bahwa agama Islam di Indonesia dibawa oleh pedagang asal Gujarat India. Di Kota Pariaman, masuknya pedagang India sejak tahun 1500 an, mereka adalah warga India keturunan muslim. Bagaimana mereka hidup dan menjalankan ibadahnya di tengah lingkungan warga Pariaman.
Saat ini keturunan India di Kota Pariaman, hanya sekitar 15 KK saja, 10 tahun yang lalu jumlahnya mencapai 30 KK. Namun karena ingin penghidupan yang lebih baik, banyak keturunan India yang memutuskan merantau ke Padang dan Bukittinggi hingga luar Sumbar, sehingga jumlah warga keturunan India di Kota Pariaman terus berkurang setiap tahunnya. Sebagian besar yang tinggal di Kota Pariaman adalah lansia dan anak-anak.
Catatan tertua tentang Pariaman ditemukan oleh Tomec Pires (1446-1524), seorang pelaut Portugis yang bekerja untuk kerajaan Portugis di Asia. Ia mencatat telah ada lalu lintas perdagangan antara India dengan Pariaman, Tiku dan Barus.
Sebagai daerah yang terletak di pinggir pantai, Pariaman sudah menjadi tujuan perdagangan dan rebutan bangsa asing yang melakukan pelayaran kapal laut beberapa abad silam. Pelabuhan entreport Pariaman saat itu sangat maju. Dua tiga kapal Gujarat mengunjungi Pariaman setiap tahunnya membawa kain untuk penduduk asli dibarter dengan emas, gaharu, kapur barus, lilin dan madu.
Sehingga diperkirakan, sejak saat itu pulalah warga India mulai hadir di tengah Kota Pariaman, bahkan ada yang menikahi penduduk setempat dan membangun rumah tangga di Kota Tabuik itu. Umumnya mereka hidup di pinggiran pantai, seperti saat ini, sebagian besar keturunan India, bermukim di Kelurahan Lohong yang lebih terkenal dengan sebutan Kampuang Kaliang.
Bahkan menurut Ilyas,51, warga keturunan India di Pariaman, dari cerita yang ia dengar turun temurun dari neneknya bahwa warga turunan India, merupakan orang pertama yang menginjakkan kaki di Kota Pariaman. Kata Pariaman sendiri berasal dari kata “Paria” yaitu kasta terendah di India yang sebagian besar adalah muslim dan lebih senang berdagang dari satu negeri ke negeri lain.
Dan kata “Man” berarti adalah laki-laki, sehingga kata Pariaman, berarti adalah laki-laki asal Paria. Dengan demikian, warga keturunan India yang tersebar di seluruh Sumbar berasal dari Kota Pariaman. Bahkan konon kabarnya, warga India lah yang mengenalkan Islam, seperti yang terdapat dalam setiap buku pelajaran sejarah. Meski demikian, Ilyas sendiri tidak tahu pasti kebenaran cerita itu.
Ilyas sendiri merupakan warga keturunan India, dimana ibunya adalah warga keturunan India Pariaman sedangkan ayahnya, Nur Muhammad, warga India asli yang berdagang dari satu negara ke negara lain, dan akhirnya menikah dengan ibunya, Seuma,84,dan hidup menetap di Kota Pariaman.
Sang ayah pada zaman itu berhasil membangun perekonomian di Kota Pariaman, ia memiliki pabrik sabun da pabrik roti yang lokasinya masih berada di Kampuang Kaliang. Tidak salah masa itu, sebagian besar warga keturunan India hidup sejahtera.
Sisa-sisa kejayaan warga keturuna India masa lampau hingga kini masih terlihat, sebagian besar keluarga keturunan India tinggal dan hidup di rumah tua besar dengan desain bangunan khas tempo dulu, peninggalan nenek moyang mereka. Sayangnya satu rumah tua yang pertama kali di bangun warga keturunan India, hancur akibat gempa 30 September lalu. Rumah ini di masa lalu, adalah tempat berkumpulnya orang-orang India yang pertama menginjakan kaki ke Pariaman.
Meski populasi India di Pariaman cukup berpengaruh, namun sebagian besar warga keturunan India, tidak bisa berbahasa India. Ilyas diantaranya, meski hingga akhir hayatnya, ayahnya dalam keseharian masih menggunakan India Tamil sebagai bahasa kesehariannya. Namun Ilyas sendiri tidak fasih berba hasa India, karena sedari kecil hidup dan bergaul dengan warga Pariaman. “Tidak hanya saya, sebagian besar warga keturunan India di Kota Pariaman, tidak bisa menggunakan bahasa India. Paling hanya yang tua-tua saja, seperti ibu saya,” ujarnya.
Hal ini karena sebagian besar warga keturunan India, telah hidup menyatu dengan warga asli Pariaman, sehingga dari kecil yang mereka kenal hanya bahasa minangkabau. Kondisi ini juga warga keturunan India juga banyak yang menikah dengan warga Pariaman. Pembatasan menikah dengan sesama warga keturunan India, hanya bertahan hingga tahun 1970 an.
Menyatunya warga keturunan India dan Pariaman juga karena mereka beragama Islam, sehingga rasa persaudaraan menjadi lebih kuat. Warga Pariaman juga sering beribadah di masjid dibangun oleh warga keturunan India.
“Tidak salah juga keturunan kami lebih paham budaya dan bahasa Pariaman dibanding budaya leluhurnya,” ujar Gani,75, yang merupakan paman dari Ilyas. Gani bercerita, dahulunya budaya serak gulo yang biasa dilakukan pada saat peringatan Maulud Nabi juga dilakukan di Pariaman. Namun karena kehidupan perekonomian warga keturunan India di Pariaman, pas-pasan, makanya budaya tersebut hilang begitu saja.
Sebagian besar warga keturunan India. Jika mereka rindu menyaksikan budaya leluhurnya tersebut, mereka pergi ke Padang untuk merayakannya di Masjid Muhammadan di Pondok Padang. Dahulu juga, warga keturunan India, sangat piawai memainkan music ghazzal. Music khas India, yang dimainkan dengan alat armunium dan gendang yang dimainkan di atas kasur pada saat pernikahan.
“Sekarang juga tidak ada yang bisa memainkan ghazzal, seiring perkembangan zaman, orang lebih suka hiburan orgen tunggal,” ujar Gani, mantan pemain ghazzal. Satu-satunya tradisi India yang masih mereka lestarikan saat ini membuat dan menghidangkan makanan khas India, camilan apem kuning, pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Camilan sejenis kue apam dilengkapi saos kari ini, merupakan makanan yang wajib ada pada saat hari-hari besar.
Pengaruh budaya India juga sangat terasa di Pariaman, seperti makanan roti ade, idi apam dan apam bakuah yang terkenal dengan rasa dan aroma rempah, sudah menjadi makanan sehari-hari warga Pariaman. Bahkan banyak warga Pariaman yang juga piawai membuat camilan ini. Tradisi mmenggunakan inai dan mengenakan slayer (memakai gaun putih yang panjang) juga merupakan tradisi India.
Perihal ini diakui oleh Ketua PKK Kelurahan Lohong Zahirma, ia yang sejak kecil di besarkan di kelurahan yang lebih sering di sebut kelurahan kampuang kaliang, merasa warga keturunan India, warga Pariaman pada umumnya. Selain dari bentuk fisik, berhidung mancung dengan postur tubuh tinggi besar, tidak ada yang membedakan warga India dan warga pariaman. Tidak salah warga keturunan India ini menyatu dan bisaditerima oleh warga Pariaman. (boy)
refenisi dari:http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=9899
Pariaman yang terletak di pinggir pantai, mudah dikunjungi pelaut dari berbagai negeri, menyebabkan mudahnya hubungan dengan daerah lain. Sehingga masyarakatnya pun mudah menerima perubahan, baik sosial, politik maupun agama.
Tak heran sebagai wilayah yang berada di pinggir pantai dan di singgahi oleh berbagai pedagang, Pariaman belakangan dihuni tak hanya dari keturunan Minangkabau dari daerah darek. Di Pariaman terdapat pula keturunan keling (kaliang). Mungkin karena warna kulitnya lebih hitam, maka disebut saja kaliang. Sehingga jika ada anggota keluarga rang Pariaman, sering dikatakan kulitnya hitam kaliang. Bahkan sebelum proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945, di Pariaman juga banyak terdapat keturuan Tionghoa (Cina). Bukti peninggalan keturunan Tionghoa yang tidak bisa dibantah adalah kuburan keturunan Tionghoa di Toboh Palabah dan nama daerah Kampungcino. Sedangkan bangsa penjajah (Belanda, Inggris dan Jepang), yang pernah bermukim di Pariaman, hingga kini tak diketemukan lagi buktinya. Penulis hanya pernah mendapatkan informasi di sekitar Kampung Perak ada kuburan Belanda. Namun kini sudah menjadi areal perkantoran, yakni Kantor Kesbang Linmas Kabupaten Padangpariaman. Meski penduduk Pariaman sudah bercampur, tapi tetap memakai adat Minangkabau dalam kesehariannya. Hanya saja, sebagai daerah rantau, di Pariaman tidak diketemukan rumah gadang seperti di daerah darek. Rumah gadangnya tidak bergonjong sebagaimana rumah gadang di daerah darek seperti tanduk kerbau.
Penulis: Bagindo Armaidi Tanjung SUMBER: http://kumpulan-orang-minang.blogspot.com/2011/09/asal-mula-orang-pariaman.html.
Mengenal tradisi Bajapuik di Pariaman :
View Original
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Pernikahan ialah sesuatu yang sangat didambakan. Selain untuk menjalankan perintah dan penyempurna agama, pernikahan juga sebagai lambang atau simbol komitmen antara pria dan wanita untuk menjalin bahtera rumah tangga. Menurut Wikipedia, pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial.
Di Indonesia upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi berdasarkan tradisi suku bangsa, agama, dan budaya maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Bervariasi bentuk atau tradisi pernikahan di Indonesia tentunya menarik jika ditelusuri, untuk mengetahui betapa uniknya dan beragamnya profesi pernikahan diberbagai daerah Indonesia.
Salah satu yang menarik yaitu prosesi budaya pernikahan masyarakat Pariaman, Sumatra Barat. Perihal keunikannya yaitu di Pariaman ada sebuah budaya pernikahan yang dinamakan tradisi “Membeli Pria”. "Membeli Pria" adalah sebuah budaya pernikahan di mana lelaki pada masyarakat pariaman harus “dibeli”, maksudnya adalah pihak wanita memberikan sejumlah uang, emas, atau barang-barang lainnya kepada pihak laki-laki, baru setelah itu dilakukan prosesi pernikahan.
Perlu diketahui terlebih dahulu. Masyarakat Pariaman memiliki beberapa prinsip tentang bagaimana memandang suatu adat, hal ini penting diketahui, agar kita tahu mengapa mereka masih memegang teguh adat istiadat.
Pertama, adat nan sabana adat (adat sebenar adat) adalah falsafah pokok orang minang yang berlaku turun temurun tanpa dipengaruhi oleh tempat dan waktu, istilahnya ialah indak lakang dek paneh, ndak lapuak dek hujan.
Kedua, adat nan ditiadakan (adat yang diadakan) adalah peraturan setempat yang diputuskan secara musyawarah dan mufakat atau aturan yang berlaku disuatu negeri tertentu. Misalnya tata cara atau syarat-syarat pengangkatan penghulu dan tata cara pernikahan.
Ketiga, adat nan taradat (adat yang beradat) adalah falsafah masyarakat minang yang lain, yaitu kebiasaan seorang dalam kehidupan bermasyarakat misalnya, seperti tata cara makan. Jika dahulu orang minang makan dengan tangan maka sekarang orang minang sudah ada yang menggunakan sendok untuk makan. Dapat dilihat bahwasanya masyarakat minang pada umumnya sangat berpegang pada budaya atau tradisi leluhur mereka. Sebagai pedoman untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dalam berbagai aspek, termasuk pernikahan.
Kembali ke pembahasan budaya pernikahan masyarakat Pariaman tadi, membeli pria atau penyebutan dalam bahasa Minang ialah bajapuik/dijemput. Tetapi bukan dalam konotasi negatif karena dalam masyarakat matriliniear posisi suami merupakan orang datang. Oleh karena itu, diwujudkan ke dalam bentuk proses bajapuik dalam pernikahan.
Menilik sedikit sejarah dari tradisi bajapuik ini, dahulu ada seorang saudagar kaya raya yang inigin mencari suami untuk anak perempuannya. Singkat cerita, didapatilah seorang lelaki yang alim, sholeh, dan bagus ilmu agamanya. Namun lelaki tersebut tidak punya harta untuk menjalin kehidupan rumah tangga. Lalu, saudagar tadi memberikan sejumlah emas dan lahan pertanian sebagai modal dan menikahkan anaknya dengan lelaki tersebut.
Menilik secara teori, tradisi bajupuik ini mengandung makna saling menghargai antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki, dihargai dalam bentuk uang japuik atau dinamakan dengan uang jalang. Lalu ada juga pendapat bahwa tujuan pihak wanita membeli pria di Pariaman ini untuk menghargai bahwa wanita punya derajat lebih, terhormat. Sebab, dalam adat minang, perempuan tidak bisa atau tidak akan cukup dibeli dengan uang, maka perempuanlah yang membeli pria dengan uang. Cukup unik dan bisa dikatakan bertentangan dengan logika mainstream. Sebab yang notabene harus dilamar tentu pihak perempuan, yang mana pihak laki-laki melakukan pelamaran.
Memang tradisi bajapuik ini terdengar kurang lazim, namun perlu kita telaah kembali bahwa masyarakat Minang pada umumnya memposisikan budaya atau tradisi di bawah hukum agama, atau istilah dalam bahasa minang “Adat bersandi sarak, sarak bersandi kitabullah.“ Dari pedoman tersebut, bisa dikatakan bahwa masyarakat minang, umumnya akan mengutamakan ajaran agama terlebih dahulu dalam berkehidupan sosial mereka, sehingga seharusnya tidak ada budaya dari masyarakat minang yang bertentangan dengan ajaran agama (Islam).
Problematika tradisi bajapuik yang seiring perkembangan waktu, tradisi ini sedikit diselewengkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, pihak dari keluarga lelaki seolah dengan sengaja menentukan tarif dalam tradisi bajapuik kepada pihak wanita. Sehingga dengan adanya penyelewangan tersebut, bisa mencoreng dari nilai budaya itu sendiri. Yang seyogyanya nilai budaya dari leluhur banyak mengandung nilai-nilai yang postif. Tidak jarang masyarakat lain akan sinis memandang tradisi tersebut.
Dampak lain, mungkin bisa menyebabkan batalnya pernikahan karena uang japuik yang diajukan oleh pihak lelaki terlalu tinggi. Tetapi ada kalanya juga keinginan menikah yang seolah tidak tertahankan, maka ada inisiatif dari sang lelaki memberikan uang kepada wanita sebagai melancarkan prosesi pernikahan.
Sebagai penutup, pernikahan ialah sesuatu yang sakral, tempat dua insan dalam menjalin tali kasih dan komitmen juga sebagai penyempurna agama. Terlebih di negara Indonesia yang kental akan budayanya, pernikahan tidak sesederhana mengucap ijab qabul di KUA, akan ada banyak prosesi adat yang harus dilalui. Untuk itu tidak ada salahnya jika kita tetap mengikuti tradisi budaya kita sebagai cara dalam menjaga buah akal budi leluhur kita, selagi hal tersebut tidak bertentangan dengan nilai agama dan hukum yang berlaku di Indonesia.
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Menilik budaya "Beli" Laki laki di tradisi Perkawinan Ranah Minang: Covesia.com - Sumatera Barat (Sumbar) dikenal dengan berbagai macam budaya. Salah satunya yang unik dan selalu menjadi pertanyaan di masyarakat adalah perempuan "membeli" laki-laki atau disebut dengan istilah "Bajapuik".
Bajapuik adalah tradisi perkawinan yang menjadi ciri khas di daerah Pariaman. Bajapuik dipandang sebagai kewajiban pihak keluarga perempuan memberi sejumlah uang atau benda kepada pihak laki-laki (calon suami) sebelum akad nikah dilangsungkan.
Bajapuik itu untuk menghargai keluarga pihak laki-laki yang telah melahirkan dan membesarkannya, sehingga ketika anak atau keponakan mereka menikah dan meninggalkan rumah, mereka tidak merasa kehilangan.Pasalnya, biasanya seorang anak laki-laki adalah tumpuan harapan dari keluarganya, sementara ketika mereka menikah menjadi tumpuan harapan keluarga perempuan.
Asal mula
Menurut cerita, tradisi bajapuik sudah ada dari sejak dahulu, bermula dari kedatangan Islam ke nusantara. Sumber adat Minangkabau adalah Al-Qur’an. Seperti kata pepatah Minang, “adaik basandi syarak, syarak basandi kitabulloh”. Jadi semua adat Minang berasal dari ajaran Islam.
Orang asli Pariaman, merupakan penduduk pesisir yang bermata pencaharian nelayan, mereka hidup dari hasil melaut di pantai pariaman. Kemudian datang lah orang rantau dari daerah bukit-tinggi Padang Panjang. Mereka merantau dan mulai bertempat tinggal dan berocok tanam sebagai petani di Pariaman.
Kemudian, orang rantau ini ingin mengawinkan putri-putri mereka dengan orang Pariaman. Namun, orang Pariaman dulunya miskin, sehingga untuk mengangkat derajat calon suami mereka tersebut, keluarga wanita pun menjemput dan memberikan sejumlah harta untuk calon suaminya dengan tujuan mengangkat derajat calon suaminya tersebut.
Suami mereka pun akan dihormati di keluarga istrinya, dipanggil dengan gelar mereka, misal sidi, bagindo atau sutan. Setelah menikah, suami tinggal di rumah istrinya, di rumah tersebut, suami mereka dipanggil dengan hormat sesuai dengan gelarnya, tidak boleh dipanggil dengan nama aslinya.
Proses pemberian "Bajapuik"
Bila ada orang Pariaman yang anak gadisnya telah siap menikah, maka orang tuanya akan mulai mencari jodoh untuk anak mereka. Saat mereka menemukan laki-laki yang dirasa cocok, maka keluarga perempuan akan mengunjungi keluarga laki-laki tersebut, dinamakan marantak tanggo (menginjak tangga).
Acara ini sebagai tahap awal bagi seorang wanita mengenal calon suaminya. Bila dirasa cocok, maka keluarga kedua belah pihak akan berunding dan melaksanakan acara mamendekkan hetongan, yaitu keluarga perempuan akan bertandang kembali ke rumah calon mempelai laki-laki (marapulai) dan bermusyawarah.
Sebelum mamendekkan hetongan, orang tua anak daro akan menyampaikan maksud mereka kepada mamak tungganai (paman anak daro dari pihak ibu yang paling tua). Biasanya mamak akan bertanya pada calon anak daro, apakah benar-benar siap akan menikah, karena biaya baralek (pesta) beserta isinya termasuk uang japuik akan disiapkan oleh keluarga wanita.
Bila keluarganya termasuk sederhana, maka keluarga akan mempertimbangkan menjual harta pusako untuk membiayai pernikahan. Kemudian dalam acara mamendekkan hetongan, kedua belah pihak akan dibicarakan tentang besarnya uang japuik dan berbagai persyaratan lainnya.
Acara dilanjutkan dengan batimbang tando (meminang). Pada hari itu keluarga perempuan akan mendatangi rumah laki-laki membawa berbagai macam persyaratan yang telah dibicarakan sebelumnya.
Dalam acara ini calon mempelai laki-laki dan perempuan menerima tanda bahwa mereka akan menikah. Bila acara ini sudah selesai, pembicaraan akan meningkat pada masalah uang japuik, mahar, dan hari pernikahan (baralek).
Kemudian acara dilanjutkan dengan pepatah petitih yang diwakili oleh kapalo mudo anak daro (pengantin perempuan) dan kapalo mudo marapulai (pengantin laki-laki). Kapalo mudo adalah orang-orang yang mengerti tentang pepatah minang. Jalannya acara perkawinan tergantung dari percakapan kapalo mudo ini.
Setelah acara batimbang tando, maka acara dilanjutkan dengan menetapkan uang jemputan dan uang hilang. Jika marapulai merupakan orang keturunan bangsawan atau mempunyai gelar, maka nilai uang japuiknya akan tinggi. Sekarang nilai uang japuik ditentukan oleh tingkat pendidikan, pekerjaan dan jabatan marapulai. Besar uang japuik ditentukan dalam uang rupiah yang nilainya sama dengan 30 ameh (emas), satu ameh setara dengan 2,5 gram emas. Semakin tinggi nilai uang japuik yang diberikan, menunjukkan semakin tinggi status sosial marapulai.
Pada zaman sekarang, nilai uang jemputan bisa diganti dengan uang rupiah biasa, hewan atau kendaraan. Besar uang japuik, bila orang biasa, misal profesinya tukang becak atau orang biasa, dia dijemput dengan uang. Setelah uang japuik diberikan, acara dilanjutkan dengan acara alek randam (persiapan) dan malam bainai. Setelah semua persiapan selesai, maka pada hari yang telah ditentukan maka keluarga anak daro yang terdiri dari mamak, ayah, kakak laki-laki akan menjemput pengantin laki-laki (marapulai) di rumahnya membawa pakaian pengantin serta persyaratan termasuk uang japuik.
Sampai di rumah marapulai, telah menunggu keluarga marapulai, maka mamak anak daro akan membuka percakapan dan diakhiri dengan membawa marapulai, sedangkan uang japuik akan diserahkan kepada ibu marapulai. Marapulai pun dibawa ke tempat akad nikah. Setelah menikah, acara dilanjutkan dengan pesta perkawinan (baralek). Lalu dilanjutkan acara setelah perkawinan, setelah kedua pengantin bersanding di rumah anak daro, maka dengan berpakaian adat lengkap dan diiringi dengan kerabat, membawa makanan adat, mereka mengunjungi rumah mertua (mintuo) anak daro, acara ini disebut manjalang mintuo.
Pada acara ini lah uang japuik akan dikembalikan dalam bentuk perhiasan kepada anak daro yang teradang jumlahnya dilebihkan oleh ibu marapulai.
Sanksi dan makna "Bajapuik"
Bila ada perkawinan yang tak menyertakan uang japuik, maka akan dikenai sanksi, terutama sanksi moral. Keluarga tersebut tentunya akan mendapat cemooh dari sanak keluarga dan teman-temannya, terutama dari mamaknya. Lalu keduanya mungkin bisa tidak jadi menikah, kemudian dicap tidak beradat dan akhirnya diusir dari kampungnya karena dianggap tidak menghargai ninik mamak.
Selama ini orang-orang di luar suku Pariaman dan orang Pariaman yang tak tahu dengan budayanya menganggap bahwa bila ingin menikahi laki-laki pariaman, maka harus menjemputnya dengan sejumlah uang, bahkan ada yang mengatakan dengan bahasa kasar pria tersebut dibeli. Tentu anggapan itu membuat geram sejumlah tokoh adat Pariaman, namun memang anggapan tersebut telah tertanam di benak masyarakat luas yang tak mengerti.
Buku-buku yang menuliskan tradisi bajapuik pun tak ada yang menyanggah pendapat ini, datuk-datuk hanya diam karena kebanyakan mereka diangkat sebagai datuk karena mempunyai uang atau untuk mengangkat namanya saja, tak mengerti benar dengan adat dan tak memenuhi syarat menjadi datuk. Padahal tradisi bajapuik bertujuan mengangkat derajat pria di Pariaman, mereka dijemput untuk menghormati pria tersebut yang akan menjadi anggota baru keluarga besar sang istri (urang sumando).
Budaya "Beli" laki laki di Ranah Minang:
By Kompasiana.com
Namun jauh sebelumnya, dari mana asal penduduk Pariaman. Jika dilihat masa silam kota Pariaman, maka Pariaman merupakan salah satu daerah rantau dari Minangkabau, seperti halnya Padang, Pasisia, Tiku. Menurut struktur pemerintahan adat Minangkabau, rantau Pariaman dinamakan rantau Riak Nan Mamacah. Maksudnya, di mana harta pusakanya juga turun dari garis ibu. Sedangkan gelar (gala) pusaka, juga turun dari garis Bapak. Warisan gelar setelah berumah tangga turun dari bapak seperti Sidi, Bagindo dan Sutan. Gelar itu merupakan panggilan dari keluarga isteri yang lebih tua dari umur isteri kepada seorang laki-laki. Warisan dari bapak ini hanya ada di Pariaman.
Penduduk Pariaman umumnya turun dari Luhak Tanahdata. Selain itu juga dari Luhak Agam pada bagian Utara. Sedangkan bagian sebelah Selatan justru turun dari Solok. Meski demikian, tetap saja mereka yang turun dari Luhak Tanahdata menjadi pemegang utama roda pemerintah.
Abdul Kiram dan Yeyen Kiram dalam bukunya Raja-Raja Minangkabau Dalam Lintasan Sejarah (2003;51-52) mencatat, nenek moyang yang mula-mula turun dari Luhak Tanahdata ada sebanyak empat orang Penghulu beserta rombongannya. Yakni Datuk Rajo Angek, Datuk Palimo Kayo, Datuk Bandaro Basa, dan Datuk Palimo Labih. Amanah dari Yang Dipertuan Pagaruyung, di mana jika rombongan berada pada sebuah tempat yang tidak diketahui namanya, maka segeralah diberi nama dan tanda.
Akhirnya tempat itu diberi nama Kandangampek. Karena rombongan mereka berjumlah empat. Tidak lama kemudian, di tempat yang sama datang lagi satu rombongan dipimpin Datuk Makhudum Sabatang Panjang. Kedua rombongan bergabung dan sepakat bersama-sama turun ke bawah menuju arah Barat. Selanjutnya, rombongan menemukan sebuah tempat yang agak tinggi, tapi belum diketahui namanya. Salah seorang anggota rombongan, menanamkan sebatang pohon sebagai pembatas antara Luhak dan Rantau. Di tempat itu rombongan sepakat menamakan Kayutanam. Daerah inilah yang membatasi Luhak (darek) dengan Rantau. Berbatas dengan Bukit Barisan yang melingkari Padangpanjang.
Perjalanan kelima orang Penghulu tersebut diteruskan sampai ke Pakandangan. Di sini mereka membangun perkampungan. Tidak lama kemudian datang lagi ke Pakandangan enam orang Penghulu dari Tanahdata, yakni Datuk Simarajo, Datuk Rangkayo Basa, Datuk Rajo Mangkuto, Datuk Rajo Bagindo dan Datuk Mangkuto Sati.
Keenamnya bergabung dengan rombongan yang datang sebelumnya. Luas perkampungan diperluas sampai ke Sicincin. Sebagai penghormatan, khusus lima orang Penghulu yang datang pertama, mereka ditempatkan di tengah-tengah kampung. Sedangkan enam Penghulu yang datang belakangan, melingkari tempat kediaman lima Penghulu tersebut. Daerah ini akhirnya bernama Anamlingkung. Kedatangan dua gelombang, untuk mengingatnya dijadikan Kecamatan 2 X 11 Anam-lingkuang dengan ibukota Sicincin. Kini kecamatan ini sudah dimekarkan menjadi tiga kecamatan. Yakni, Anamlingkung, 2 X 11 Anamlingkuang Sicincin dan 2 X 11 Kayutanam. Dari daerah-daerah ini, mereka terus menyusuri hingga ke pantai Pariaman.
Ada juga yang menyebutkan penduduk Pariaman dari Tanahdata turun melalui Malalak. Di Malalak rombongan terbagi dua kelompok. Satu kelompok langsung menuju Pariaman, satu kelompok lagi menuju Kampungdalam. Kuatnya hubungan kekeluargaan dengan Malalak ini dapat dilihat dari adanya kunjungan dari orang yang berada di Pariaman, tapi berasal dari Malalak, kepada keluarga asal di Malalak.
Sejarah Keturunan India di Pariaman:
Di dalam banyak buku sejarah, selalu disebutkan bahwa agama Islam di Indonesia dibawa oleh pedagang asal Gujarat India. Di Kota Pariaman, masuknya pedagang India sejak tahun 1500 an, mereka adalah warga India keturunan muslim. Bagaimana mereka hidup dan menjalankan ibadahnya di tengah lingkungan warga Pariaman.
Saat ini keturunan India di Kota Pariaman, hanya sekitar 15 KK saja, 10 tahun yang lalu jumlahnya mencapai 30 KK. Namun karena ingin penghidupan yang lebih baik, banyak keturunan India yang memutuskan merantau ke Padang dan Bukittinggi hingga luar Sumbar, sehingga jumlah warga keturunan India di Kota Pariaman terus berkurang setiap tahunnya. Sebagian besar yang tinggal di Kota Pariaman adalah lansia dan anak-anak.
Catatan tertua tentang Pariaman ditemukan oleh Tomec Pires (1446-1524), seorang pelaut Portugis yang bekerja untuk kerajaan Portugis di Asia. Ia mencatat telah ada lalu lintas perdagangan antara India dengan Pariaman, Tiku dan Barus.
Sebagai daerah yang terletak di pinggir pantai, Pariaman sudah menjadi tujuan perdagangan dan rebutan bangsa asing yang melakukan pelayaran kapal laut beberapa abad silam. Pelabuhan entreport Pariaman saat itu sangat maju. Dua tiga kapal Gujarat mengunjungi Pariaman setiap tahunnya membawa kain untuk penduduk asli dibarter dengan emas, gaharu, kapur barus, lilin dan madu.
Sehingga diperkirakan, sejak saat itu pulalah warga India mulai hadir di tengah Kota Pariaman, bahkan ada yang menikahi penduduk setempat dan membangun rumah tangga di Kota Tabuik itu. Umumnya mereka hidup di pinggiran pantai, seperti saat ini, sebagian besar keturunan India, bermukim di Kelurahan Lohong yang lebih terkenal dengan sebutan Kampuang Kaliang.
Bahkan menurut Ilyas,51, warga keturunan India di Pariaman, dari cerita yang ia dengar turun temurun dari neneknya bahwa warga turunan India, merupakan orang pertama yang menginjakkan kaki di Kota Pariaman. Kata Pariaman sendiri berasal dari kata “Paria” yaitu kasta terendah di India yang sebagian besar adalah muslim dan lebih senang berdagang dari satu negeri ke negeri lain.
Dan kata “Man” berarti adalah laki-laki, sehingga kata Pariaman, berarti adalah laki-laki asal Paria. Dengan demikian, warga keturunan India yang tersebar di seluruh Sumbar berasal dari Kota Pariaman. Bahkan konon kabarnya, warga India lah yang mengenalkan Islam, seperti yang terdapat dalam setiap buku pelajaran sejarah. Meski demikian, Ilyas sendiri tidak tahu pasti kebenaran cerita itu.
Ilyas sendiri merupakan warga keturunan India, dimana ibunya adalah warga keturunan India Pariaman sedangkan ayahnya, Nur Muhammad, warga India asli yang berdagang dari satu negara ke negara lain, dan akhirnya menikah dengan ibunya, Seuma,84,dan hidup menetap di Kota Pariaman.
Sang ayah pada zaman itu berhasil membangun perekonomian di Kota Pariaman, ia memiliki pabrik sabun da pabrik roti yang lokasinya masih berada di Kampuang Kaliang. Tidak salah masa itu, sebagian besar warga keturunan India hidup sejahtera.
Sisa-sisa kejayaan warga keturuna India masa lampau hingga kini masih terlihat, sebagian besar keluarga keturunan India tinggal dan hidup di rumah tua besar dengan desain bangunan khas tempo dulu, peninggalan nenek moyang mereka. Sayangnya satu rumah tua yang pertama kali di bangun warga keturunan India, hancur akibat gempa 30 September lalu. Rumah ini di masa lalu, adalah tempat berkumpulnya orang-orang India yang pertama menginjakan kaki ke Pariaman.
Meski populasi India di Pariaman cukup berpengaruh, namun sebagian besar warga keturunan India, tidak bisa berbahasa India. Ilyas diantaranya, meski hingga akhir hayatnya, ayahnya dalam keseharian masih menggunakan India Tamil sebagai bahasa kesehariannya. Namun Ilyas sendiri tidak fasih berba hasa India, karena sedari kecil hidup dan bergaul dengan warga Pariaman. “Tidak hanya saya, sebagian besar warga keturunan India di Kota Pariaman, tidak bisa menggunakan bahasa India. Paling hanya yang tua-tua saja, seperti ibu saya,” ujarnya.
Hal ini karena sebagian besar warga keturunan India, telah hidup menyatu dengan warga asli Pariaman, sehingga dari kecil yang mereka kenal hanya bahasa minangkabau. Kondisi ini juga warga keturunan India juga banyak yang menikah dengan warga Pariaman. Pembatasan menikah dengan sesama warga keturunan India, hanya bertahan hingga tahun 1970 an.
Menyatunya warga keturunan India dan Pariaman juga karena mereka beragama Islam, sehingga rasa persaudaraan menjadi lebih kuat. Warga Pariaman juga sering beribadah di masjid dibangun oleh warga keturunan India.
“Tidak salah juga keturunan kami lebih paham budaya dan bahasa Pariaman dibanding budaya leluhurnya,” ujar Gani,75, yang merupakan paman dari Ilyas. Gani bercerita, dahulunya budaya serak gulo yang biasa dilakukan pada saat peringatan Maulud Nabi juga dilakukan di Pariaman. Namun karena kehidupan perekonomian warga keturunan India di Pariaman, pas-pasan, makanya budaya tersebut hilang begitu saja.
Sebagian besar warga keturunan India. Jika mereka rindu menyaksikan budaya leluhurnya tersebut, mereka pergi ke Padang untuk merayakannya di Masjid Muhammadan di Pondok Padang. Dahulu juga, warga keturunan India, sangat piawai memainkan music ghazzal. Music khas India, yang dimainkan dengan alat armunium dan gendang yang dimainkan di atas kasur pada saat pernikahan.
“Sekarang juga tidak ada yang bisa memainkan ghazzal, seiring perkembangan zaman, orang lebih suka hiburan orgen tunggal,” ujar Gani, mantan pemain ghazzal. Satu-satunya tradisi India yang masih mereka lestarikan saat ini membuat dan menghidangkan makanan khas India, camilan apem kuning, pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Camilan sejenis kue apam dilengkapi saos kari ini, merupakan makanan yang wajib ada pada saat hari-hari besar.
Pengaruh budaya India juga sangat terasa di Pariaman, seperti makanan roti ade, idi apam dan apam bakuah yang terkenal dengan rasa dan aroma rempah, sudah menjadi makanan sehari-hari warga Pariaman. Bahkan banyak warga Pariaman yang juga piawai membuat camilan ini. Tradisi mmenggunakan inai dan mengenakan slayer (memakai gaun putih yang panjang) juga merupakan tradisi India.
Perihal ini diakui oleh Ketua PKK Kelurahan Lohong Zahirma, ia yang sejak kecil di besarkan di kelurahan yang lebih sering di sebut kelurahan kampuang kaliang, merasa warga keturunan India, warga Pariaman pada umumnya. Selain dari bentuk fisik, berhidung mancung dengan postur tubuh tinggi besar, tidak ada yang membedakan warga India dan warga pariaman. Tidak salah warga keturunan India ini menyatu dan bisaditerima oleh warga Pariaman. (boy)
refenisi dari:http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=9899
Pariaman yang terletak di pinggir pantai, mudah dikunjungi pelaut dari berbagai negeri, menyebabkan mudahnya hubungan dengan daerah lain. Sehingga masyarakatnya pun mudah menerima perubahan, baik sosial, politik maupun agama.
Tak heran sebagai wilayah yang berada di pinggir pantai dan di singgahi oleh berbagai pedagang, Pariaman belakangan dihuni tak hanya dari keturunan Minangkabau dari daerah darek. Di Pariaman terdapat pula keturunan keling (kaliang). Mungkin karena warna kulitnya lebih hitam, maka disebut saja kaliang. Sehingga jika ada anggota keluarga rang Pariaman, sering dikatakan kulitnya hitam kaliang. Bahkan sebelum proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945, di Pariaman juga banyak terdapat keturuan Tionghoa (Cina). Bukti peninggalan keturunan Tionghoa yang tidak bisa dibantah adalah kuburan keturunan Tionghoa di Toboh Palabah dan nama daerah Kampungcino. Sedangkan bangsa penjajah (Belanda, Inggris dan Jepang), yang pernah bermukim di Pariaman, hingga kini tak diketemukan lagi buktinya. Penulis hanya pernah mendapatkan informasi di sekitar Kampung Perak ada kuburan Belanda. Namun kini sudah menjadi areal perkantoran, yakni Kantor Kesbang Linmas Kabupaten Padangpariaman. Meski penduduk Pariaman sudah bercampur, tapi tetap memakai adat Minangkabau dalam kesehariannya. Hanya saja, sebagai daerah rantau, di Pariaman tidak diketemukan rumah gadang seperti di daerah darek. Rumah gadangnya tidak bergonjong sebagaimana rumah gadang di daerah darek seperti tanduk kerbau.
Penulis: Bagindo Armaidi Tanjung SUMBER: http://kumpulan-orang-minang.blogspot.com/2011/09/asal-mula-orang-pariaman.html.
Mengenal tradisi Bajapuik di Pariaman :
View Original
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Pernikahan ialah sesuatu yang sangat didambakan. Selain untuk menjalankan perintah dan penyempurna agama, pernikahan juga sebagai lambang atau simbol komitmen antara pria dan wanita untuk menjalin bahtera rumah tangga. Menurut Wikipedia, pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial.
Di Indonesia upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi berdasarkan tradisi suku bangsa, agama, dan budaya maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Bervariasi bentuk atau tradisi pernikahan di Indonesia tentunya menarik jika ditelusuri, untuk mengetahui betapa uniknya dan beragamnya profesi pernikahan diberbagai daerah Indonesia.
Salah satu yang menarik yaitu prosesi budaya pernikahan masyarakat Pariaman, Sumatra Barat. Perihal keunikannya yaitu di Pariaman ada sebuah budaya pernikahan yang dinamakan tradisi “Membeli Pria”. "Membeli Pria" adalah sebuah budaya pernikahan di mana lelaki pada masyarakat pariaman harus “dibeli”, maksudnya adalah pihak wanita memberikan sejumlah uang, emas, atau barang-barang lainnya kepada pihak laki-laki, baru setelah itu dilakukan prosesi pernikahan.
Perlu diketahui terlebih dahulu. Masyarakat Pariaman memiliki beberapa prinsip tentang bagaimana memandang suatu adat, hal ini penting diketahui, agar kita tahu mengapa mereka masih memegang teguh adat istiadat.
Pertama, adat nan sabana adat (adat sebenar adat) adalah falsafah pokok orang minang yang berlaku turun temurun tanpa dipengaruhi oleh tempat dan waktu, istilahnya ialah indak lakang dek paneh, ndak lapuak dek hujan.
Kedua, adat nan ditiadakan (adat yang diadakan) adalah peraturan setempat yang diputuskan secara musyawarah dan mufakat atau aturan yang berlaku disuatu negeri tertentu. Misalnya tata cara atau syarat-syarat pengangkatan penghulu dan tata cara pernikahan.
Ketiga, adat nan taradat (adat yang beradat) adalah falsafah masyarakat minang yang lain, yaitu kebiasaan seorang dalam kehidupan bermasyarakat misalnya, seperti tata cara makan. Jika dahulu orang minang makan dengan tangan maka sekarang orang minang sudah ada yang menggunakan sendok untuk makan. Dapat dilihat bahwasanya masyarakat minang pada umumnya sangat berpegang pada budaya atau tradisi leluhur mereka. Sebagai pedoman untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dalam berbagai aspek, termasuk pernikahan.
Kembali ke pembahasan budaya pernikahan masyarakat Pariaman tadi, membeli pria atau penyebutan dalam bahasa Minang ialah bajapuik/dijemput. Tetapi bukan dalam konotasi negatif karena dalam masyarakat matriliniear posisi suami merupakan orang datang. Oleh karena itu, diwujudkan ke dalam bentuk proses bajapuik dalam pernikahan.
Menilik sedikit sejarah dari tradisi bajapuik ini, dahulu ada seorang saudagar kaya raya yang inigin mencari suami untuk anak perempuannya. Singkat cerita, didapatilah seorang lelaki yang alim, sholeh, dan bagus ilmu agamanya. Namun lelaki tersebut tidak punya harta untuk menjalin kehidupan rumah tangga. Lalu, saudagar tadi memberikan sejumlah emas dan lahan pertanian sebagai modal dan menikahkan anaknya dengan lelaki tersebut.
Menilik secara teori, tradisi bajupuik ini mengandung makna saling menghargai antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki, dihargai dalam bentuk uang japuik atau dinamakan dengan uang jalang. Lalu ada juga pendapat bahwa tujuan pihak wanita membeli pria di Pariaman ini untuk menghargai bahwa wanita punya derajat lebih, terhormat. Sebab, dalam adat minang, perempuan tidak bisa atau tidak akan cukup dibeli dengan uang, maka perempuanlah yang membeli pria dengan uang. Cukup unik dan bisa dikatakan bertentangan dengan logika mainstream. Sebab yang notabene harus dilamar tentu pihak perempuan, yang mana pihak laki-laki melakukan pelamaran.
Memang tradisi bajapuik ini terdengar kurang lazim, namun perlu kita telaah kembali bahwa masyarakat Minang pada umumnya memposisikan budaya atau tradisi di bawah hukum agama, atau istilah dalam bahasa minang “Adat bersandi sarak, sarak bersandi kitabullah.“ Dari pedoman tersebut, bisa dikatakan bahwa masyarakat minang, umumnya akan mengutamakan ajaran agama terlebih dahulu dalam berkehidupan sosial mereka, sehingga seharusnya tidak ada budaya dari masyarakat minang yang bertentangan dengan ajaran agama (Islam).
Problematika tradisi bajapuik yang seiring perkembangan waktu, tradisi ini sedikit diselewengkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, pihak dari keluarga lelaki seolah dengan sengaja menentukan tarif dalam tradisi bajapuik kepada pihak wanita. Sehingga dengan adanya penyelewangan tersebut, bisa mencoreng dari nilai budaya itu sendiri. Yang seyogyanya nilai budaya dari leluhur banyak mengandung nilai-nilai yang postif. Tidak jarang masyarakat lain akan sinis memandang tradisi tersebut.
Dampak lain, mungkin bisa menyebabkan batalnya pernikahan karena uang japuik yang diajukan oleh pihak lelaki terlalu tinggi. Tetapi ada kalanya juga keinginan menikah yang seolah tidak tertahankan, maka ada inisiatif dari sang lelaki memberikan uang kepada wanita sebagai melancarkan prosesi pernikahan.
Sebagai penutup, pernikahan ialah sesuatu yang sakral, tempat dua insan dalam menjalin tali kasih dan komitmen juga sebagai penyempurna agama. Terlebih di negara Indonesia yang kental akan budayanya, pernikahan tidak sesederhana mengucap ijab qabul di KUA, akan ada banyak prosesi adat yang harus dilalui. Untuk itu tidak ada salahnya jika kita tetap mengikuti tradisi budaya kita sebagai cara dalam menjaga buah akal budi leluhur kita, selagi hal tersebut tidak bertentangan dengan nilai agama dan hukum yang berlaku di Indonesia.
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Menilik budaya "Beli" Laki laki di tradisi Perkawinan Ranah Minang: Covesia.com - Sumatera Barat (Sumbar) dikenal dengan berbagai macam budaya. Salah satunya yang unik dan selalu menjadi pertanyaan di masyarakat adalah perempuan "membeli" laki-laki atau disebut dengan istilah "Bajapuik".
Bajapuik adalah tradisi perkawinan yang menjadi ciri khas di daerah Pariaman. Bajapuik dipandang sebagai kewajiban pihak keluarga perempuan memberi sejumlah uang atau benda kepada pihak laki-laki (calon suami) sebelum akad nikah dilangsungkan.
Bajapuik itu untuk menghargai keluarga pihak laki-laki yang telah melahirkan dan membesarkannya, sehingga ketika anak atau keponakan mereka menikah dan meninggalkan rumah, mereka tidak merasa kehilangan.Pasalnya, biasanya seorang anak laki-laki adalah tumpuan harapan dari keluarganya, sementara ketika mereka menikah menjadi tumpuan harapan keluarga perempuan.
Asal mula
Menurut cerita, tradisi bajapuik sudah ada dari sejak dahulu, bermula dari kedatangan Islam ke nusantara. Sumber adat Minangkabau adalah Al-Qur’an. Seperti kata pepatah Minang, “adaik basandi syarak, syarak basandi kitabulloh”. Jadi semua adat Minang berasal dari ajaran Islam.
Orang asli Pariaman, merupakan penduduk pesisir yang bermata pencaharian nelayan, mereka hidup dari hasil melaut di pantai pariaman. Kemudian datang lah orang rantau dari daerah bukit-tinggi Padang Panjang. Mereka merantau dan mulai bertempat tinggal dan berocok tanam sebagai petani di Pariaman.
Kemudian, orang rantau ini ingin mengawinkan putri-putri mereka dengan orang Pariaman. Namun, orang Pariaman dulunya miskin, sehingga untuk mengangkat derajat calon suami mereka tersebut, keluarga wanita pun menjemput dan memberikan sejumlah harta untuk calon suaminya dengan tujuan mengangkat derajat calon suaminya tersebut.
Suami mereka pun akan dihormati di keluarga istrinya, dipanggil dengan gelar mereka, misal sidi, bagindo atau sutan. Setelah menikah, suami tinggal di rumah istrinya, di rumah tersebut, suami mereka dipanggil dengan hormat sesuai dengan gelarnya, tidak boleh dipanggil dengan nama aslinya.
Proses pemberian "Bajapuik"
Bila ada orang Pariaman yang anak gadisnya telah siap menikah, maka orang tuanya akan mulai mencari jodoh untuk anak mereka. Saat mereka menemukan laki-laki yang dirasa cocok, maka keluarga perempuan akan mengunjungi keluarga laki-laki tersebut, dinamakan marantak tanggo (menginjak tangga).
Acara ini sebagai tahap awal bagi seorang wanita mengenal calon suaminya. Bila dirasa cocok, maka keluarga kedua belah pihak akan berunding dan melaksanakan acara mamendekkan hetongan, yaitu keluarga perempuan akan bertandang kembali ke rumah calon mempelai laki-laki (marapulai) dan bermusyawarah.
Sebelum mamendekkan hetongan, orang tua anak daro akan menyampaikan maksud mereka kepada mamak tungganai (paman anak daro dari pihak ibu yang paling tua). Biasanya mamak akan bertanya pada calon anak daro, apakah benar-benar siap akan menikah, karena biaya baralek (pesta) beserta isinya termasuk uang japuik akan disiapkan oleh keluarga wanita.
Bila keluarganya termasuk sederhana, maka keluarga akan mempertimbangkan menjual harta pusako untuk membiayai pernikahan. Kemudian dalam acara mamendekkan hetongan, kedua belah pihak akan dibicarakan tentang besarnya uang japuik dan berbagai persyaratan lainnya.
Acara dilanjutkan dengan batimbang tando (meminang). Pada hari itu keluarga perempuan akan mendatangi rumah laki-laki membawa berbagai macam persyaratan yang telah dibicarakan sebelumnya.
Dalam acara ini calon mempelai laki-laki dan perempuan menerima tanda bahwa mereka akan menikah. Bila acara ini sudah selesai, pembicaraan akan meningkat pada masalah uang japuik, mahar, dan hari pernikahan (baralek).
Kemudian acara dilanjutkan dengan pepatah petitih yang diwakili oleh kapalo mudo anak daro (pengantin perempuan) dan kapalo mudo marapulai (pengantin laki-laki). Kapalo mudo adalah orang-orang yang mengerti tentang pepatah minang. Jalannya acara perkawinan tergantung dari percakapan kapalo mudo ini.
Setelah acara batimbang tando, maka acara dilanjutkan dengan menetapkan uang jemputan dan uang hilang. Jika marapulai merupakan orang keturunan bangsawan atau mempunyai gelar, maka nilai uang japuiknya akan tinggi. Sekarang nilai uang japuik ditentukan oleh tingkat pendidikan, pekerjaan dan jabatan marapulai. Besar uang japuik ditentukan dalam uang rupiah yang nilainya sama dengan 30 ameh (emas), satu ameh setara dengan 2,5 gram emas. Semakin tinggi nilai uang japuik yang diberikan, menunjukkan semakin tinggi status sosial marapulai.
Pada zaman sekarang, nilai uang jemputan bisa diganti dengan uang rupiah biasa, hewan atau kendaraan. Besar uang japuik, bila orang biasa, misal profesinya tukang becak atau orang biasa, dia dijemput dengan uang. Setelah uang japuik diberikan, acara dilanjutkan dengan acara alek randam (persiapan) dan malam bainai. Setelah semua persiapan selesai, maka pada hari yang telah ditentukan maka keluarga anak daro yang terdiri dari mamak, ayah, kakak laki-laki akan menjemput pengantin laki-laki (marapulai) di rumahnya membawa pakaian pengantin serta persyaratan termasuk uang japuik.
Sampai di rumah marapulai, telah menunggu keluarga marapulai, maka mamak anak daro akan membuka percakapan dan diakhiri dengan membawa marapulai, sedangkan uang japuik akan diserahkan kepada ibu marapulai. Marapulai pun dibawa ke tempat akad nikah. Setelah menikah, acara dilanjutkan dengan pesta perkawinan (baralek). Lalu dilanjutkan acara setelah perkawinan, setelah kedua pengantin bersanding di rumah anak daro, maka dengan berpakaian adat lengkap dan diiringi dengan kerabat, membawa makanan adat, mereka mengunjungi rumah mertua (mintuo) anak daro, acara ini disebut manjalang mintuo.
Pada acara ini lah uang japuik akan dikembalikan dalam bentuk perhiasan kepada anak daro yang teradang jumlahnya dilebihkan oleh ibu marapulai.
Sanksi dan makna "Bajapuik"
Bila ada perkawinan yang tak menyertakan uang japuik, maka akan dikenai sanksi, terutama sanksi moral. Keluarga tersebut tentunya akan mendapat cemooh dari sanak keluarga dan teman-temannya, terutama dari mamaknya. Lalu keduanya mungkin bisa tidak jadi menikah, kemudian dicap tidak beradat dan akhirnya diusir dari kampungnya karena dianggap tidak menghargai ninik mamak.
Selama ini orang-orang di luar suku Pariaman dan orang Pariaman yang tak tahu dengan budayanya menganggap bahwa bila ingin menikahi laki-laki pariaman, maka harus menjemputnya dengan sejumlah uang, bahkan ada yang mengatakan dengan bahasa kasar pria tersebut dibeli. Tentu anggapan itu membuat geram sejumlah tokoh adat Pariaman, namun memang anggapan tersebut telah tertanam di benak masyarakat luas yang tak mengerti.
Buku-buku yang menuliskan tradisi bajapuik pun tak ada yang menyanggah pendapat ini, datuk-datuk hanya diam karena kebanyakan mereka diangkat sebagai datuk karena mempunyai uang atau untuk mengangkat namanya saja, tak mengerti benar dengan adat dan tak memenuhi syarat menjadi datuk. Padahal tradisi bajapuik bertujuan mengangkat derajat pria di Pariaman, mereka dijemput untuk menghormati pria tersebut yang akan menjadi anggota baru keluarga besar sang istri (urang sumando).
Budaya "Beli" laki laki di Ranah Minang:
By Kompasiana.com
Riena Armaini kompasiana.com 4 minView Original
Ada yang menggelitik (akhir-akhir ini saya suka sekali menggunakan istilah ini) ketika saya berkenalan dengan seseorang. Kenalan baru saya itu pasti bertanya, Aslinya mana? (pernah saya tulis di KOMPASIANA BLOGSHOP dengan judul ORANG MANA?) dan saya menjawab, saya orang Bandung, tapi keturunan Padang. Lalu kenalan saya tersebut pasti langsung bertanya. Kalau di Padang laki-laki dibeli yah? hmm..
Ketika pertama kali saya mendapat pertanyaan itu adalah saat saya masih SMP kelas satu. Saat itu tentu saya hanya bingung, karena saya tidak mengerti apa maksudnya? Respon saya saat itu adalah bengong. Hahaha.. Pertanyaan yang tadi itu, selalu menyertai saya sampai saat ini, ketika menginjak kuliah, saya coba untuk studi literature di beberapa buku budaya minang diantaranya dengan judul budaya Minangkabau dan tentu saya juga berusaha mengorek keterangan dari ayah dan ibu saya yang asli orang sana.
Dari penelitian yang saya dapatkah ( hehe.. lebay.com)dan juga jawaban ayah dan ibu, istilah adat tersebut bukan disebut membeli tapi namanya uang penjemput. Nah lho…apa sih itu?? Uang penjemput itu maksudnya(menurut penjelasan secara sederhana yang diuraikan oleh ayah dan ibu ) bahwa keluarga perempuan harus menjemput laki-laki dengan semacam bawaan atau uang. Lho… kenapa harus begitu kataku saat itu. Itu untuk menghargai keluarga pihak laki-laki yang telah melahirkan dan membesarkannya, sehingga ketika anak atau kemenakan (Red: keponakan) mereka menikah dan meninggalkan rumah, mereka tidak merasa kehilangan ( Hmm… mungkinkarena alasan itulah, maka ada istilah dibeli, padahal siapa sih yang mau jual anaknya..hahahaha…). Itu uraikan dari ayah dan ibuku.
Nah… saya kemudian membaca beberapa buku. Disana diterangkan bahwa keluarga perempuan harus memberikan semacam oleh-oleh untuk menjemput laki-laki dengan maksud karena biasanya seorang anak laki-laki adalah tumpuan harapan dari keluarganya, sementara ketika mereka menikah menjadi tumpuan harapan keluarga perempuan….bener gak sih???
Budaya ini mungkin pernah anda dengar juga di kebudayaan India, dimana pihak perempuan juga harus memberikan sesuatu kepada pihak laki-laki. Dalam film-film India, malah diceritakan si pihak laki-laki selalu meminta hal yang sangat berlebihan sehingga kadang-kadang pesta pernikahan itu menjadi batal.
Sebetulnya, tidak semua suku minang memberlakukan sistem ba japuik(uang penjempun) ini, hanya di nagari pariaman aja (salah kota di Sumatera Barat). Memang kebetulan ayah dan ibu saya adalah orang pariaman.Ayah dan ibu saya juga terkena adat tersebut hehe. . . . .
Secara akal sederhana, tentu kita protes…kok gitu sih…biasanya juga perempuan yang dikasih. Bukan laki-laki..kok bisabegitu?Berpikir sederhana tentu saja tapi mari kita pelajari maksudnya. Saya pikir budaya seperti itu sangat baik sekali, pendapat tersebut dipikirkan berdasarkan beberapa alasan yakni;
Alasan pertama, karena memang seperti biasanya ketika seorang laki-laki menikah dengan perempuan, maka dia menjadi milik pihak keluarga perempuan disadari atau tanpa tanpa disadari.Dalam kehidupan keluarga,istri memegang peranan yang cukup besar baik dari segi ekonomi maupun dalam segi lainnya. Apa yang dikemukakan,yang dirunding, dan yang diputuskanuntuk urusan pengelolaan rumah tangga itu menjadi urusanpihak istri ( anda boleh protes… tapi begitulah adanya.. hehe)
Biasanya dalam sebuah keluarga, yang menentukan peran dan mengatur segalanya adalah ibu, sementara ayah biasanya hanya mencari nafkah dan membiarkan ibu yang mengatur segalanya.( Hahaha… terus terang saya juga seperti itu, jika anda tidak yaa . .mungkin itu yang dinamakan kekecualian).
Alasan yang kedua, biasanya sebagai perempuan kita harus menunggu disunting orang agar bisa menikah, tapi di Pariaman …hahaha jangan salah…kita lho yang mencari jodoh, ya memang bukan kita pribadi biasanya diwakilkan oleh ninik mamak (paman) kita, nanti dicari laki-laki yang kiranya cocok dengan keluarga kemudian, mereka bertanya pada kita, mau tidak atau jika pilihannya banyak,,, kita bisa memilih lho..hahahah.
Nah… setelah kita memilih, para ninik mamak akan berunding untuk pergi kekeluarga laki-laki tersebut untuk melamar… setelah itu, memang sih pada akhirnya gimana laki-laki tersebut apa mau atau tidak pada kita. Ya sebetulnya sama aja ketika ada laki-laki yg melamar perempuan tentu bisa berjalan kalau perempuannya mau. Nah biasanya sih mereka minta photo kita, dan coba menjajaki. By the way…kita bisa memilih dan jangan takut gak laku…karenakita.. perempuan yang menentukan.
Alasan ketiga, kenapa saya suka dengan adat ini adalah kita bisa memilih laki-laki mana yg kita suka.. wew…keren banget (dgn catatan..tentu kalau laki-lakinya juga suka ama kita. Hehehe. ) gak masalah. Makanya..kalau sekarang ada orang yang bertanya hal tersebut, saya akan langsung mengiyakan dan setuju.
Bagaimana jika laki-laki tersebut mintanya yg macam?...
Biasanya besarnya uang penjemput itu sudah seperti ditentukan oleh mufakat keluarga minang, misalnya kalau petani sekian… kalau dokter sekian..tentu berbeda…tidak mungkin sama. Makanya…jika ingin dijemput mahal harus sekolah dan bekerja yang bagus hehehe…
Saat ini budaya tersebut masih ada karena memang suku minang sangat kuat sekali memegang adat.Kami pun, walaupun hidup diperantauan tidak melupakan adat. Dalam pelaksanaannya, untuk dapat menjalankan adat biasanya bisa dilakukan banyak hal. Misalnya, jika ada pasangan yang sudah mengenal terlebih dahulu, karena sama-sama suka maka mereka berdua yg berkerja sama untuk menyedakan uang penjemputnya atau bahkan laki-laki yang memberikan dulu untuk menjemput dirinya sendiri ( hahaha . . .) Atur-atur sajalah, gampang kok, gak usah ribet, karena biasanya uang penjemput itu tidak dibagikandi keluarga pihak laki-laki tapi digunakan untuk biaya pestadi keluarga laki-lakiatau bahkan dikembalikan pada pasangan tersebut untuk modal mereka berumah tangga /dagang /beli rumah dsb.
Oleh karena itu, kita tidak boleh memandang jelek suatu adat karena mungkin ada hal lain dibalik itu semua. Ini hanya opini saja boleh setuju tidakpun its ok, yang penting peace…..
Tradisi Pernikahan "Membeli Lelaki" di Pariaman
View Original
DATARIAU.COM - Minangkabau merupakan salah satu suku yang ada di Sumatera Barat Indonesia yang memiliki keberagaman adat istiadat. Tidak hanya terkenal karena makanan khasnya yang telah mendunia saja, Minangkabau juga dikenal oleh masyarakat luas karena berbagai tradisi yang dimilikinya. Salah satunya ialah Kota Pariaman, kota dengan sejuta keindahan alam yang dijadikan destinasi wisata dan memiliki berbagai tradisi unik yang menjadi sorotan dari kota ini.
Kota Pariaman berdiri sejak 16 tahun yang lalu berdasarkan Undang Undang Nomor 12 tahun 2002 pada tanggal 10 April 2002 tentang pembentukan Kota Pariaman Provinsi Sumatera Barat yang ditandatangani oleh Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Kemudian Undang Undang tersebut diundangkan ke dalam Lembaran Negara RI dengan nomor urut 25 tahun 2002 oleh Sekretaris Negara RI Bambang Kesowo.
Meskipun merupakan salah satu kota termuda di Sumbar, namun Kota Pariaman telah banyak menorehkan prestasi di berbagai bidang. Salah satunya kota ini telah dinobatkan menjadi Kota Otonom oleh Pemerintahan Republik Indonesia di usianya yang ke-9 tahun. Tidak hanya itu, eksistensi tradisi kebudayaan Pariaman juga sudah banyak dikenal oleh masyarakat luas.
Tradisi merupakan kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun oleh suatu kelompok masyarakat di daerah tertentu. Ada banyak tradisi yang terdapat di Pariaman. Salah satunya tradisi dalam sebuah pernikahan. Budaya Pernikahan adat di Pariaman dengan adat lainnya yang terdapat di Sumbar berbeda loh. Bahkan perbedaannya bisa dikatakan cukup mencolok.
Dalam melaksanakan sebuah pernikahan, pada dasarnya di berbagai budaya daerah yang terdapat di Sumbar tidak memiliki ragam perbedaan yang kontras. Namun ada terdapat satu diantaranya yang merupakan perbedaan yang lumayan mencolok dan kerap menjadi hal yang unik untuk dikulik.
Secara garis besar, rangkaian yang dilaksanakan pada pernikahan di Sumbar hampir melewati tahap-tahap yang mirip. Diawali dengan maresek atau prosesi dimana pihak mempelai wanita datang ke pihak pria untuk mengetahui dan berkenal atau silaturahmi menjelang pernikahan.
Selanjutnya, menimang dan batimbang tando atau bertukar tanda. Yaitu prosesi yang menjadi simbol pengikat antara kedua belah pihak dan biasanya yang ditukarkan ialah benda pusaka seperti keris, kain adat, atau benda lainnya yang memiliki nilai sejarah bagi keluarga. Dalam prosesi ini melibatkan orangtua, ninik mamak, dan para sesepuh dari kedua belah pihak.
Kemudian dilanjutkan dengan Mahanta Siriah atau acara dimana mempelai meminta izin atau memohon doa restu kepada mamak-mamaknya, saudara ayah, kakak yang telah berkeluarga dan sesepuh yang dihormati. Ritual ini memiliki tujuan untuk memohon doa dan memberitahukan rencana pernikahan. Calon mempelai pria pada acara ini akan membawa selapah yang berisi daun nipah dan tembakau. Namun sekarang ini diganti dengan rokok. Sedangkan calon memperlai wanita akan menyertakan sirih lengkap.
Acara selanjutnya yaitu Duduak Tuo dan Babako-babaki dimana mendatangkan para Ninik Mamak untuk merundingkan perihal pernikahan yang akan dilangsungkan. Serta juga melibatkan Bako yaitu pihak keluarga dari ayah calon mempelai wanita, menjelang pernikahan untuk merembukkan serta memberi Bala Bantuan kepada mempelai yang akan melaksanakan pernikahannya. Bantuan disini dapat berupa uang ataupun barang-barang yang nantinya dapat digunakan oleh kedua mempelai misalnya perlengkapan dapur, perlengkapan kamar, dan lainnya tergantung dari kebiasaan daerah-daerah tertentu pula.
Lalu prosesi malam bainai. Malam bainai dilakukan pada malam sebelum akad nikah. Bainai menjadi ritual untuk melekatkan hasil tumbukan daun pacar merah (daun inai) di kuku calon pengantin. Tradisi ini memiliki makna sebagai ungkapan kasih sayang dan doa restu para sesepuh keluarga mempelai wanita. Lalu terdapat juga air yang berisikan keharuman tujuh bunga, daun inai tumbuk, payung kuning, kain jajakan kuning, kain simpai, dan kursi bagi calon pengantin.
Selanjutnya ialah manjapuik marapulai atau menjemput pengantin pria. Dimana acara ini menjadi ritual paling penting dalam tata cara pernikahan adat Minang. Prosesinya bermula dari calon pengantin pria dijemput dan dibawa ke rumah calon pengantin wanita untuk melangsungkan akad nikah. Lalu pada acara ini pun akan dilakukan pemberian gelar pusaka pada calon pengantin pria sebagai simbol kedewasaan.
Kemudian dilanjutkan dengan penyambutan anak daro. Nah pada acara ini akan diiringi dengan musik tradisional khas Minang, yaitu talempong dan gandang tabuk, lalu barisan Gelombang Adat timbal balik. Terdiri dari para pemuda berpakaian silat dan disambut para dara berpakaian adat yang menyuguhkan sirih. Keluarga mempelai wanita akan memayungi calon mempelai pria dan disambut dengan tari Gelombang Adat Timbal Balik. Selanjutnya para sesepuh wanita akan menaburi calon pengantin pria dengan beras kuning. Dan sebelum memasuki pintu rumah, kaki calon pengantin pria akan diperciki air sebagai simbol mensucikan, lalu berjalan menapaki kain putih menuju tempat akad.
Dan selanjutnya tibalah pada acara yang dinanti-nanti yaitu akan nikah. Akad nikah ini akan dilangsungkan sesuai syariat agama Islam. Diawali dengan pembacaan ayat suci, ijab kabul, nasihat perkawinan dan doa. Setelah dilangsungkannya akad nikah, barulah dilaksanakannya baralek atau resepsi yang diadakan di rumah anak daro atau pengantin wanita.
Dari berbagai rangkaian acara yang dilakukan dalam budaya pernikahan di Minangkabau tersebut, secara keseluruhan dapat dikatakan hampir sama. Namun ada beberapa daerah yang menerapkan ritual tambahan, yang mana biasanya hal tersebut sesuai pula dengan daerah tempat ia tinggali. Seperti pepatah minang yang berbunyi "dima bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang" yang artinya "dimana kita hidup atau tinggal maka kita harus mematuhi aturan serta mengikuti kebiasaan-kebiasaan dari daerah tempat kita tinggal tersebut."
Tidak jauh berbeda dengan prosesi pernikahan Budaya Minang pada umumnya, pada dasarnya tradisi Adat Pariaman pun memiliki cara atau ritual yang sama. Hanya saja ada sebuah aspek yang membedakannya dengan ritual di Minang dari biasanya, dan justru prosesi inilah yang menjadikan ciri khas ala Pariaman tersendiri dalam melaksanakan sebuah pernikahan.
Jika biasanya di Bugis ada uang panai yang dijadikan tolak ukur mahar untuk wanita dalam pernikahannya, maka di Ranah Minang juga ada Uang Japuik (uang jemput) yang menjadi tradisi budaya pernikahannya pula. Namun, tradisi uang japuik bukan merupakan tradisi adat di semua daerah yang terdapat di Sumbar. Tradisi uang japuik hanya ada di kebudayaan adat Pariaman saja.
Uang Japuik (uang jemput) merupakan tradisi khas ala adat Pariaman, dimana pihak wanita yang akan menikah memberikan harga berupa uang atau emas kepada lelaki atau mempelai pria. Tradisi adat uang japuik ini merupakan suatu kewajiban yang harus dibayarkan untuk melangsungkan sebuah pernikahan.
Secara kasar, tradisi adat uang japuik budaya Pariaman ini dapat dikatakan dengan ajang "membeli" laki-laki untuk wanita. Uang japuik yang nantinya dibayarkan wanita kepada mempelai pria disebut juga dengan uang hilang. Uang tersebut merupakan hak bagi mempelai pria dan suatu kewajiban bagi mempelai wanita untuk membayarnya.
Ada yang menggelitik (akhir-akhir ini saya suka sekali menggunakan istilah ini) ketika saya berkenalan dengan seseorang. Kenalan baru saya itu pasti bertanya, Aslinya mana? (pernah saya tulis di KOMPASIANA BLOGSHOP dengan judul ORANG MANA?) dan saya menjawab, saya orang Bandung, tapi keturunan Padang. Lalu kenalan saya tersebut pasti langsung bertanya. Kalau di Padang laki-laki dibeli yah? hmm..
Ketika pertama kali saya mendapat pertanyaan itu adalah saat saya masih SMP kelas satu. Saat itu tentu saya hanya bingung, karena saya tidak mengerti apa maksudnya? Respon saya saat itu adalah bengong. Hahaha.. Pertanyaan yang tadi itu, selalu menyertai saya sampai saat ini, ketika menginjak kuliah, saya coba untuk studi literature di beberapa buku budaya minang diantaranya dengan judul budaya Minangkabau dan tentu saya juga berusaha mengorek keterangan dari ayah dan ibu saya yang asli orang sana.
Dari penelitian yang saya dapatkah ( hehe.. lebay.com)dan juga jawaban ayah dan ibu, istilah adat tersebut bukan disebut membeli tapi namanya uang penjemput. Nah lho…apa sih itu?? Uang penjemput itu maksudnya(menurut penjelasan secara sederhana yang diuraikan oleh ayah dan ibu ) bahwa keluarga perempuan harus menjemput laki-laki dengan semacam bawaan atau uang. Lho… kenapa harus begitu kataku saat itu. Itu untuk menghargai keluarga pihak laki-laki yang telah melahirkan dan membesarkannya, sehingga ketika anak atau kemenakan (Red: keponakan) mereka menikah dan meninggalkan rumah, mereka tidak merasa kehilangan ( Hmm… mungkinkarena alasan itulah, maka ada istilah dibeli, padahal siapa sih yang mau jual anaknya..hahahaha…). Itu uraikan dari ayah dan ibuku.
Nah… saya kemudian membaca beberapa buku. Disana diterangkan bahwa keluarga perempuan harus memberikan semacam oleh-oleh untuk menjemput laki-laki dengan maksud karena biasanya seorang anak laki-laki adalah tumpuan harapan dari keluarganya, sementara ketika mereka menikah menjadi tumpuan harapan keluarga perempuan….bener gak sih???
Budaya ini mungkin pernah anda dengar juga di kebudayaan India, dimana pihak perempuan juga harus memberikan sesuatu kepada pihak laki-laki. Dalam film-film India, malah diceritakan si pihak laki-laki selalu meminta hal yang sangat berlebihan sehingga kadang-kadang pesta pernikahan itu menjadi batal.
Sebetulnya, tidak semua suku minang memberlakukan sistem ba japuik(uang penjempun) ini, hanya di nagari pariaman aja (salah kota di Sumatera Barat). Memang kebetulan ayah dan ibu saya adalah orang pariaman.Ayah dan ibu saya juga terkena adat tersebut hehe. . . . .
Secara akal sederhana, tentu kita protes…kok gitu sih…biasanya juga perempuan yang dikasih. Bukan laki-laki..kok bisabegitu?Berpikir sederhana tentu saja tapi mari kita pelajari maksudnya. Saya pikir budaya seperti itu sangat baik sekali, pendapat tersebut dipikirkan berdasarkan beberapa alasan yakni;
Alasan pertama, karena memang seperti biasanya ketika seorang laki-laki menikah dengan perempuan, maka dia menjadi milik pihak keluarga perempuan disadari atau tanpa tanpa disadari.Dalam kehidupan keluarga,istri memegang peranan yang cukup besar baik dari segi ekonomi maupun dalam segi lainnya. Apa yang dikemukakan,yang dirunding, dan yang diputuskanuntuk urusan pengelolaan rumah tangga itu menjadi urusanpihak istri ( anda boleh protes… tapi begitulah adanya.. hehe)
Biasanya dalam sebuah keluarga, yang menentukan peran dan mengatur segalanya adalah ibu, sementara ayah biasanya hanya mencari nafkah dan membiarkan ibu yang mengatur segalanya.( Hahaha… terus terang saya juga seperti itu, jika anda tidak yaa . .mungkin itu yang dinamakan kekecualian).
Alasan yang kedua, biasanya sebagai perempuan kita harus menunggu disunting orang agar bisa menikah, tapi di Pariaman …hahaha jangan salah…kita lho yang mencari jodoh, ya memang bukan kita pribadi biasanya diwakilkan oleh ninik mamak (paman) kita, nanti dicari laki-laki yang kiranya cocok dengan keluarga kemudian, mereka bertanya pada kita, mau tidak atau jika pilihannya banyak,,, kita bisa memilih lho..hahahah.
Nah… setelah kita memilih, para ninik mamak akan berunding untuk pergi kekeluarga laki-laki tersebut untuk melamar… setelah itu, memang sih pada akhirnya gimana laki-laki tersebut apa mau atau tidak pada kita. Ya sebetulnya sama aja ketika ada laki-laki yg melamar perempuan tentu bisa berjalan kalau perempuannya mau. Nah biasanya sih mereka minta photo kita, dan coba menjajaki. By the way…kita bisa memilih dan jangan takut gak laku…karenakita.. perempuan yang menentukan.
Alasan ketiga, kenapa saya suka dengan adat ini adalah kita bisa memilih laki-laki mana yg kita suka.. wew…keren banget (dgn catatan..tentu kalau laki-lakinya juga suka ama kita. Hehehe. ) gak masalah. Makanya..kalau sekarang ada orang yang bertanya hal tersebut, saya akan langsung mengiyakan dan setuju.
Bagaimana jika laki-laki tersebut mintanya yg macam?...
Biasanya besarnya uang penjemput itu sudah seperti ditentukan oleh mufakat keluarga minang, misalnya kalau petani sekian… kalau dokter sekian..tentu berbeda…tidak mungkin sama. Makanya…jika ingin dijemput mahal harus sekolah dan bekerja yang bagus hehehe…
Saat ini budaya tersebut masih ada karena memang suku minang sangat kuat sekali memegang adat.Kami pun, walaupun hidup diperantauan tidak melupakan adat. Dalam pelaksanaannya, untuk dapat menjalankan adat biasanya bisa dilakukan banyak hal. Misalnya, jika ada pasangan yang sudah mengenal terlebih dahulu, karena sama-sama suka maka mereka berdua yg berkerja sama untuk menyedakan uang penjemputnya atau bahkan laki-laki yang memberikan dulu untuk menjemput dirinya sendiri ( hahaha . . .) Atur-atur sajalah, gampang kok, gak usah ribet, karena biasanya uang penjemput itu tidak dibagikandi keluarga pihak laki-laki tapi digunakan untuk biaya pestadi keluarga laki-lakiatau bahkan dikembalikan pada pasangan tersebut untuk modal mereka berumah tangga /dagang /beli rumah dsb.
Oleh karena itu, kita tidak boleh memandang jelek suatu adat karena mungkin ada hal lain dibalik itu semua. Ini hanya opini saja boleh setuju tidakpun its ok, yang penting peace…..
Tradisi Pernikahan "Membeli Lelaki" di Pariaman
View Original
DATARIAU.COM - Minangkabau merupakan salah satu suku yang ada di Sumatera Barat Indonesia yang memiliki keberagaman adat istiadat. Tidak hanya terkenal karena makanan khasnya yang telah mendunia saja, Minangkabau juga dikenal oleh masyarakat luas karena berbagai tradisi yang dimilikinya. Salah satunya ialah Kota Pariaman, kota dengan sejuta keindahan alam yang dijadikan destinasi wisata dan memiliki berbagai tradisi unik yang menjadi sorotan dari kota ini.
Kota Pariaman berdiri sejak 16 tahun yang lalu berdasarkan Undang Undang Nomor 12 tahun 2002 pada tanggal 10 April 2002 tentang pembentukan Kota Pariaman Provinsi Sumatera Barat yang ditandatangani oleh Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Kemudian Undang Undang tersebut diundangkan ke dalam Lembaran Negara RI dengan nomor urut 25 tahun 2002 oleh Sekretaris Negara RI Bambang Kesowo.
Meskipun merupakan salah satu kota termuda di Sumbar, namun Kota Pariaman telah banyak menorehkan prestasi di berbagai bidang. Salah satunya kota ini telah dinobatkan menjadi Kota Otonom oleh Pemerintahan Republik Indonesia di usianya yang ke-9 tahun. Tidak hanya itu, eksistensi tradisi kebudayaan Pariaman juga sudah banyak dikenal oleh masyarakat luas.
Tradisi merupakan kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun oleh suatu kelompok masyarakat di daerah tertentu. Ada banyak tradisi yang terdapat di Pariaman. Salah satunya tradisi dalam sebuah pernikahan. Budaya Pernikahan adat di Pariaman dengan adat lainnya yang terdapat di Sumbar berbeda loh. Bahkan perbedaannya bisa dikatakan cukup mencolok.
Dalam melaksanakan sebuah pernikahan, pada dasarnya di berbagai budaya daerah yang terdapat di Sumbar tidak memiliki ragam perbedaan yang kontras. Namun ada terdapat satu diantaranya yang merupakan perbedaan yang lumayan mencolok dan kerap menjadi hal yang unik untuk dikulik.
Secara garis besar, rangkaian yang dilaksanakan pada pernikahan di Sumbar hampir melewati tahap-tahap yang mirip. Diawali dengan maresek atau prosesi dimana pihak mempelai wanita datang ke pihak pria untuk mengetahui dan berkenal atau silaturahmi menjelang pernikahan.
Selanjutnya, menimang dan batimbang tando atau bertukar tanda. Yaitu prosesi yang menjadi simbol pengikat antara kedua belah pihak dan biasanya yang ditukarkan ialah benda pusaka seperti keris, kain adat, atau benda lainnya yang memiliki nilai sejarah bagi keluarga. Dalam prosesi ini melibatkan orangtua, ninik mamak, dan para sesepuh dari kedua belah pihak.
Kemudian dilanjutkan dengan Mahanta Siriah atau acara dimana mempelai meminta izin atau memohon doa restu kepada mamak-mamaknya, saudara ayah, kakak yang telah berkeluarga dan sesepuh yang dihormati. Ritual ini memiliki tujuan untuk memohon doa dan memberitahukan rencana pernikahan. Calon mempelai pria pada acara ini akan membawa selapah yang berisi daun nipah dan tembakau. Namun sekarang ini diganti dengan rokok. Sedangkan calon memperlai wanita akan menyertakan sirih lengkap.
Acara selanjutnya yaitu Duduak Tuo dan Babako-babaki dimana mendatangkan para Ninik Mamak untuk merundingkan perihal pernikahan yang akan dilangsungkan. Serta juga melibatkan Bako yaitu pihak keluarga dari ayah calon mempelai wanita, menjelang pernikahan untuk merembukkan serta memberi Bala Bantuan kepada mempelai yang akan melaksanakan pernikahannya. Bantuan disini dapat berupa uang ataupun barang-barang yang nantinya dapat digunakan oleh kedua mempelai misalnya perlengkapan dapur, perlengkapan kamar, dan lainnya tergantung dari kebiasaan daerah-daerah tertentu pula.
Lalu prosesi malam bainai. Malam bainai dilakukan pada malam sebelum akad nikah. Bainai menjadi ritual untuk melekatkan hasil tumbukan daun pacar merah (daun inai) di kuku calon pengantin. Tradisi ini memiliki makna sebagai ungkapan kasih sayang dan doa restu para sesepuh keluarga mempelai wanita. Lalu terdapat juga air yang berisikan keharuman tujuh bunga, daun inai tumbuk, payung kuning, kain jajakan kuning, kain simpai, dan kursi bagi calon pengantin.
Selanjutnya ialah manjapuik marapulai atau menjemput pengantin pria. Dimana acara ini menjadi ritual paling penting dalam tata cara pernikahan adat Minang. Prosesinya bermula dari calon pengantin pria dijemput dan dibawa ke rumah calon pengantin wanita untuk melangsungkan akad nikah. Lalu pada acara ini pun akan dilakukan pemberian gelar pusaka pada calon pengantin pria sebagai simbol kedewasaan.
Kemudian dilanjutkan dengan penyambutan anak daro. Nah pada acara ini akan diiringi dengan musik tradisional khas Minang, yaitu talempong dan gandang tabuk, lalu barisan Gelombang Adat timbal balik. Terdiri dari para pemuda berpakaian silat dan disambut para dara berpakaian adat yang menyuguhkan sirih. Keluarga mempelai wanita akan memayungi calon mempelai pria dan disambut dengan tari Gelombang Adat Timbal Balik. Selanjutnya para sesepuh wanita akan menaburi calon pengantin pria dengan beras kuning. Dan sebelum memasuki pintu rumah, kaki calon pengantin pria akan diperciki air sebagai simbol mensucikan, lalu berjalan menapaki kain putih menuju tempat akad.
Dan selanjutnya tibalah pada acara yang dinanti-nanti yaitu akan nikah. Akad nikah ini akan dilangsungkan sesuai syariat agama Islam. Diawali dengan pembacaan ayat suci, ijab kabul, nasihat perkawinan dan doa. Setelah dilangsungkannya akad nikah, barulah dilaksanakannya baralek atau resepsi yang diadakan di rumah anak daro atau pengantin wanita.
Dari berbagai rangkaian acara yang dilakukan dalam budaya pernikahan di Minangkabau tersebut, secara keseluruhan dapat dikatakan hampir sama. Namun ada beberapa daerah yang menerapkan ritual tambahan, yang mana biasanya hal tersebut sesuai pula dengan daerah tempat ia tinggali. Seperti pepatah minang yang berbunyi "dima bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang" yang artinya "dimana kita hidup atau tinggal maka kita harus mematuhi aturan serta mengikuti kebiasaan-kebiasaan dari daerah tempat kita tinggal tersebut."
Tidak jauh berbeda dengan prosesi pernikahan Budaya Minang pada umumnya, pada dasarnya tradisi Adat Pariaman pun memiliki cara atau ritual yang sama. Hanya saja ada sebuah aspek yang membedakannya dengan ritual di Minang dari biasanya, dan justru prosesi inilah yang menjadikan ciri khas ala Pariaman tersendiri dalam melaksanakan sebuah pernikahan.
Jika biasanya di Bugis ada uang panai yang dijadikan tolak ukur mahar untuk wanita dalam pernikahannya, maka di Ranah Minang juga ada Uang Japuik (uang jemput) yang menjadi tradisi budaya pernikahannya pula. Namun, tradisi uang japuik bukan merupakan tradisi adat di semua daerah yang terdapat di Sumbar. Tradisi uang japuik hanya ada di kebudayaan adat Pariaman saja.
Uang Japuik (uang jemput) merupakan tradisi khas ala adat Pariaman, dimana pihak wanita yang akan menikah memberikan harga berupa uang atau emas kepada lelaki atau mempelai pria. Tradisi adat uang japuik ini merupakan suatu kewajiban yang harus dibayarkan untuk melangsungkan sebuah pernikahan.
Secara kasar, tradisi adat uang japuik budaya Pariaman ini dapat dikatakan dengan ajang "membeli" laki-laki untuk wanita. Uang japuik yang nantinya dibayarkan wanita kepada mempelai pria disebut juga dengan uang hilang. Uang tersebut merupakan hak bagi mempelai pria dan suatu kewajiban bagi mempelai wanita untuk membayarnya.
Banyak yang beranggapan tradisi adat Uang Japuik ini bersifat merendahkan harga diri lelaki dan menjunjung tinggi kaum wanita, tak ayal hal ini dikarenakan kehidupan di Ranah Minang menjalankan garis Matrilinal atau mengikuti garis keturunan ibu, yang lebih banyak mengangkat derajat kaum wanita. Namun tetap saja, hal ini sudah menjadi sebuah tradisi adat khas yang tetap harus dijalankan.
Asal mula tradisi adat Uang Japuik pada kebudayaan Pariaman ini ialah ketika pada zaman dahulu, kebanyakan orang Pariaman merupakan orang miskin yang bermata pencarian sebagai seorang nelayan, jadi untuk mengangkat derajat calon suami di Pariaman keluarga wanita pun menjemput dan memberikan sejumlah harta untuk calon suaminya dengan tujuan mengangkat derajat calon suami dan memberikan gelar pada suaminya. Menantu laki-laki di Pariaman nantinya akan mendapat gelar yaitu Sutan, Sumando, dan Sidi.
Sejak awal dilaksankannya tradisi budaya adat Pariaman ini, banyak sekali pandangan orang luar atau orang yang berasal dari daerah luar memandang 'aneh' perihal uang japuik di Pariaman ini. Karena yang biasa kita jumpai di kehidupan pada umumnya, kebanyakan justru mempelai pria yang bertugas memberi dalam sebuah pernikahan. Seperti halnya mahar.
Ada banyak orang diluar sana yang masih bingung perihal pernikahan budaya Pariaman antara uang japuik dan mahar. Ya, pada dasarnya meskipun telah menggunakan syarat wajib menurut adat serta tradisi yaitu dengan membayar uang japuik, dalam pernikahan tersebut tetaplah yang namanya mahar harus dilaksanakan pula, karena termasuk dalam syarat sah pernikahan pada hukum agama. Berbeda dengan uang japuik, mahar atau mas kawain wajib hukumnya dibayarkan oleh mempelai pria untuk mempelai wanita.
Uang japuik di Pariaman dibayarkan tidak asal-asalan pula. Karena terdapat tolak ukur nyata yang menjadi acuan besaran dari uang japuik yang akan dibayarkan. Tolak ukur dari uang japuik itu sendiri dilihat berdasarkan materi dan kasat mata. Biasanya, lelaki yang mempunyai jabatan atau pekerjaan yang tinggi atau 'keren' maka akan semakin tinggi atau mahal pula uang jampuik nya. Ya, hal ini tentu sedikit mengganjal. Namun sudah begitulah adat kebudayaan pernikahan di sana yang berkembang sejak dulunya. (*)
Disusun oleh: Meri Fitri Yrli
Adat Pariaman laki laki di beli ???
View Original
Pariaman merupakan salah satu wilayah bagian Sumatera Barat. Wilayah ini berjarak tempuh 25 km dari Bandara Ini internasional Minangkabau. Ada yang unik setiap kali mengingat kota ini, yaitu adat perkawinannya. Banyak istilah yang kita dengar untuk keunikan ada perkawinannya, salah satunya yaitu
LAKI-LAKI DIBELI OLEH PEREMPUAN.
Kata-kata ini kerap kali kita dengar untuk istilah adat perkawinan tersebut. Saya mengutip penjelasan awam tentang hal tersebut, mereka menjelaskan bahwa, perempuan memiliki kekuasaan yang Lebih dari laki-laki. Jadi istilah beli itu maksudnya jika besok mereka pisah/cerai. Pihak Laki-laki yang harus keluar dari rumah. Ini merupakan penjelasan awam yang kerap saya dengar, namun ada istilah sebenarnya dari adat ini ini yaitu Bajapuik. Bajapuik ini maksudnya yaitu pihak perempuan berkewajiban menyediakan sejumlah uang atau barang sebelum dilangsungkan akad nikah. Hal ini dimaksudkan sebagai penghargaan kepada keluarga laki-laki yang telah melahirkan dan membesarkannya - nya
Asal mula tradisi adat Uang Japuik pada kebudayaan Pariaman ini ialah ketika pada zaman dahulu, kebanyakan orang Pariaman merupakan orang miskin yang bermata pencarian sebagai seorang nelayan, jadi untuk mengangkat derajat calon suami di Pariaman keluarga wanita pun menjemput dan memberikan sejumlah harta untuk calon suaminya dengan tujuan mengangkat derajat calon suami dan memberikan gelar pada suaminya. Menantu laki-laki di Pariaman nantinya akan mendapat gelar yaitu Sutan, Sumando, dan Sidi.
Sejak awal dilaksankannya tradisi budaya adat Pariaman ini, banyak sekali pandangan orang luar atau orang yang berasal dari daerah luar memandang 'aneh' perihal uang japuik di Pariaman ini. Karena yang biasa kita jumpai di kehidupan pada umumnya, kebanyakan justru mempelai pria yang bertugas memberi dalam sebuah pernikahan. Seperti halnya mahar.
Ada banyak orang diluar sana yang masih bingung perihal pernikahan budaya Pariaman antara uang japuik dan mahar. Ya, pada dasarnya meskipun telah menggunakan syarat wajib menurut adat serta tradisi yaitu dengan membayar uang japuik, dalam pernikahan tersebut tetaplah yang namanya mahar harus dilaksanakan pula, karena termasuk dalam syarat sah pernikahan pada hukum agama. Berbeda dengan uang japuik, mahar atau mas kawain wajib hukumnya dibayarkan oleh mempelai pria untuk mempelai wanita.
Uang japuik di Pariaman dibayarkan tidak asal-asalan pula. Karena terdapat tolak ukur nyata yang menjadi acuan besaran dari uang japuik yang akan dibayarkan. Tolak ukur dari uang japuik itu sendiri dilihat berdasarkan materi dan kasat mata. Biasanya, lelaki yang mempunyai jabatan atau pekerjaan yang tinggi atau 'keren' maka akan semakin tinggi atau mahal pula uang jampuik nya. Ya, hal ini tentu sedikit mengganjal. Namun sudah begitulah adat kebudayaan pernikahan di sana yang berkembang sejak dulunya. (*)
Disusun oleh: Meri Fitri Yrli
Adat Pariaman laki laki di beli ???
View Original
Pariaman merupakan salah satu wilayah bagian Sumatera Barat. Wilayah ini berjarak tempuh 25 km dari Bandara Ini internasional Minangkabau. Ada yang unik setiap kali mengingat kota ini, yaitu adat perkawinannya. Banyak istilah yang kita dengar untuk keunikan ada perkawinannya, salah satunya yaitu
LAKI-LAKI DIBELI OLEH PEREMPUAN.
Kata-kata ini kerap kali kita dengar untuk istilah adat perkawinan tersebut. Saya mengutip penjelasan awam tentang hal tersebut, mereka menjelaskan bahwa, perempuan memiliki kekuasaan yang Lebih dari laki-laki. Jadi istilah beli itu maksudnya jika besok mereka pisah/cerai. Pihak Laki-laki yang harus keluar dari rumah. Ini merupakan penjelasan awam yang kerap saya dengar, namun ada istilah sebenarnya dari adat ini ini yaitu Bajapuik. Bajapuik ini maksudnya yaitu pihak perempuan berkewajiban menyediakan sejumlah uang atau barang sebelum dilangsungkan akad nikah. Hal ini dimaksudkan sebagai penghargaan kepada keluarga laki-laki yang telah melahirkan dan membesarkannya - nya