Sawahlunto - Sawahlunto merupakan salah satu destinasi di Sumatera Barat. Ada bekas tambang, panorama hijau yang indah, sampai kisah manusia rantai! Sumatera Barat memiliki destinasi wisata yang tak pernah habis. Selain Ngarai Sianok, Lembah Harau, atau Cubadak, cobalah berkunjung ke Sawahlunto.
Sawahlunto berada di bagian utara Kota Padang. Jaraknya 82 km, bisa ditempuh naik mobil sekitar 2 jam. Sawahlunto punya keunikan sendiri dibanding wilayah lain di Sumatera Barat. Inilah kota tambang pertama di Indonesia!
Sejarahnya tak lepas dari kedatangan penjajah Belanda ke Indonesia di bawah Cornelis de Houtman tahun 1596. Kala itu, Belanda yang datang dengan maksud mencari rempah-rempah menyadari akan kekayaan lain Indonesia yang begitu luar biasa. Ya, kekayaan itu adalah batu-bara dan hasil bumi lainnya. Tahun 1858 di bawah peneliti geologi Belanda Ir C De Groot van Embden, keberadaan batu-bara di aliran Batang Ombilin (Kini Sawahlunto - red) mulai terendus.
Tahun 1862, De Groot yang kala itu menjabat sebagai kepala pertambangan mengajak serta ahli geologi Willem Hendrik De Greve (akrab di sapa De Greve) untuk meneliti kandungan mineral dari Buitenzorg (Bogor) hingga Bangka dan Ombilin.
Barulah pada 26 Mei 1867 di bawah Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu, Pieter Mijer, menunjuk langsung De Greve untuk melakukan penelitian batu-bara lebih jauh di Ombilin. Dari tangannya, De Greve menuliskan sebuah buku bersama WA Henny di tahun 1871 tentang hasil penelitiannya. Sejak saat itu De Greve juga membuka cerita lahirnya Ombilin sebagai Kota Tambang pertama di Indonesia. Namun, ada sejarah kelam dalam perkembangan tambang di Sawahlunto. Sejarah itu bernama Manusia Rantai.
Siapa itu Manusia Rantai?
Manusia Rantai adalah sebutan untuk rakyat pribumi yang menjadi budak-budak Belanda dan dipekerjakan sebagai penambang. Tugas mereka, mengangkat barang-barang tambang dari dalam lubang di kedalaman belasan meter. Kaki mereka pun dirantai, sehingga tidak bisa kabur. Oleh sebab itulah, disebut Manusia Rantai. Manusia Rantai bekerja siang malam tanpa henti. Jika melawan, pecutan dan ragam siksaan lain akan didapat. Karena terlalu keras, tak sedikit dari manusia rantai yang akhirnya jatuh sakit.
Alih-alih dilarikan ke rumah sakit atau posko kesehatan terdekat, mereka malah ditaruh begitu saja di dalam lubang tambang! Lubang tambang tersebut kini disebut sebagai Lubang Mbah Soero. Dibuka sejak tahun 2008, inilah lokasi pertambangan di Sawahlunto sejak zaman penjajahan Belanda. Kabarnya saat lubang ini dipoles sebagai destinasi wisata, masih ditemukan sisa-sisa tulang-belulang yang diyakini bagian jenazah dari Manusia Rantai.
Kisah Manusia Rantai dan beberapa foto-foto dokumentasi nya, bisa dilihat di Museum Goedang Ransoem, Sawahlunto. Sebuah sejarah yang kelam.
Mengulik sejarah di kota tambang Sawahlunto
View Original
Gedung kantor PT Bukit Asam yang dibangun pada 1916 di kota Sawahlunto, Sumater Barat, Rabu |
Pemerintah Kolonial Belanda yang menemukan dan kemudian mengusahakan pertambangan batu bara di Sawahlunto membangun infrastruktur daerah tersebut dengan tenaga kerja paksa atau orang rantai dan tenaga kontrak dari berbagai suku bangsa. Daerah yang berada di area Bukit Barisan itu kemudian tumbuh dan berkembang, dan diresmikan menjadi kota pada 1 Desember 1888. Hingga kini tanggal 1 Desember diperingati sebagai hari lahir kota.
Tambang Ombilin di Sawahlunto sudah beberapa kali berganti pemilik. Tambang yang semula dikuasai oleh Belanda berpindah ke tangan Jepang sejak 1942 sampai 1945. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, tambang di kota berjuluk "Little Dutch" atau Belanda Kecil itu berada di bawah kepemimpinan administratif Indonesia. Semula tambang batu bara Ombilin berada di bawah Direktorat Pertambangan, namun kemudian tanggung jawab pengelolaannya dipegang oleh badan usaha milik negara Bukit Asam.
Kegiatan pertambangan sudah diakhiri beberapa tahun lalu. Sawahlunto kini bertransformasi menjadi kota tua yang menawarkan wisata sejarah dengan berbagai bangunan era kolonial. Kantor PT Bukit Asam yang dibangun pada 1916 serta gedung Museum Gudang Ransum dan Museum Kereta Api Sawahlunto menyuguhkan informasi seputar cikal bakal dan sejarah perkembangan kota pemilik tambang batu bara tertua di Asia Tenggara itu.
Selain itu, ada Lubang Mbah Suro, bekas tambang batu bara Belanda yang namanya diambil dari nama mandor pekerja paksa zaman Belanda yang konon dikenal sebagai Mbah Suro. Sawahlunto juga punya beberapa situs yang memperlihatkan kecanggihan teknologi pertambangan kolonial, termasuk di antaranya silo tempat penyimpanan batu bara yang berada tidak jauh dari Museum Kereta Api Sawahlunto.
Menurut staf Dinas Kebudayaan, Peninggalan Bersejarah, dan Permuseuman Kota Sawahlunto Dedi Yolson, kedekatan antara silo dan museum itu bukan tanpa alasan. Museum itu dulunya adalah stasiun kereta api yang menjadi titik pertama pengangkutan hasil tambang untuk dibawa ke pelabuhan di Kota Padang. "Dari silo itu, di sana nanti keretanya melewati stasiun ini (Sawahlunto) lalu akan menuju ke Muarakalaban lewat terowongan dari situ melewati berbagai stasiun hingga sampai ke Emmahaven," kata Dedi merujuk kepada nama lama dari Pelabuhan Teluk Bayur di Kota Padang.
Model lokomotif Mak Itam di Museum Kereta Api Sawahlunto di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Rabu |
Masyarakat Minangkabau memberikan julukan Mak Itam atau Paman Hitam pada lokomotif keluaran Eropa dengan nomor seri E1060 yang digunakan untuk mengangkut batu bara sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 itu karena badannya berwarna hitam dan mengeluarkan asap pekat. Mak Itam mengangkut batu bara pada era kejayaan produksi batu bara Sawahlunto, yang tahun 1970-an dapat memproduksi sejuta ton batu bara per tahun.
Wisatawan yang tertarik menyusuri perjalanan Mak Itam dapat memulai penyusuran dari Museum Kereta Api Sawahlunto melewati terowongan Lembah Kalam menuju Stasiun Muarakalaban, yang masih masuk dalam wilayah administratif Kota Sawahlunto. Dari sana, setelah melewati Solok wisatawan bisa menyusuri Danau Singkarak yang indah untuk menuju Stasiun Batu Tabal di Kabupaten Tanah Datar lalu melanjutkan perjalanan ke Stasiun Kayu Tanam di Kabupaten Padang Pariaman.
Jembatan kereta api yang masih kokoh berdiri di Kota Padang Panjang dan keindahan alam Lembah Anai bisa dinikmati selama perjalanan. Sesampainya di Teluk Bayur, Kota Padang, ada situs yang menjadi warisan dunia UNESCO karena kaitannya dengan Tambang Ombilin Sawahlunto, yaitu situs Silo Gunung yang berada di dekat Pelabuhan Teluk Bayur. Bekas gudang penampungan batu bara yang bangunannya belum sepenuhnya dipugar itu akan menjadi bagian tak terpisahkan dari wisata sejarah Kota Padang.
Pengendara melintasi jalan dengan latar belakang jembatan kereta api yang melewati Lembah Anai di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, Rabu |
Menyadari keterbatasan itu, Gubernur Sumatera Barat Iwan Prayitno mendorong pemerintah daerah yang terkait dengan Tambang Ombilin Sawahlunto bekerja lebih keras untuk memperbaiki sarana dan prasarana pendukung pariwisata. "Kita manfaatkan, tinggal kita jadikan momentum untuk mendatangkan wisatawan. Itu harus kita siapkan semuanya," kata Iwan ketika menerima sertifikat UNESCO di Auditorium Kantor Gubernur Sumatera Barat di Padang pada 29 Oktober.
Bangga! Sawahlunto Ditetapkan Jadi Situs Warisan Dunia UNESCO
View Original
Sawahlunto - Kabar gembira dari Sawahlunto, Sumatera Barat. Sawahlunto akhirnya ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Bangga! Dalam siaran pers dari Sekretariat Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO yang diterima detikcom, Sabtu (6/7/2019) Sawahlunto ditetapkan UNESCO sebagai World Heritage alias Situs Warisan Dunia. Dengan nama, Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto. Penetapan tersebut diumumkan pada gelaran Sesi ke-43 Pertemuan Komite Warisan Dunia pada tanggal 6 Juli 2019 di Kota Baku, Azerbaijan, pukul 12.20 waktu setempat. Pertemuan komite ini diselenggarakan pada tanggal 30 Juni hingga 10 Juli 2019 dan merupakan acara rutin tahunan Komite Warisan Dunia (World Heritage Committee) yang dimandatkan oleh Konvensi tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia (Convention concerning the Protection of World Cultural and Natural Heritage), atau yang secara singkat disebut sebagai Konvensi Warisan Dunia 1972.
Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto pantas diposisikan sebagai warisan dunia karena konsep tiga serangkai yang dicetuskan oleh Pemerintah Belanda pada masa itu. Tiga serangkai meliputi industri pertambangan batubara di Sawahlunto, yang selanjutnya dibawa keluar Sawahlunto dengan menggunakan transportasi kereta api melalui wilayah Sumatera Barat, dan sistem penyimpanan di Silo Gunung di Pelabuhan Emmahaven, atau Teluk Bayur sekarang.
Kota Sawahlunto dimasukkan ke dalam daftar sementara warisan dunia kategori budaya sejak 2015. Setelah itu, proses pengumpulan data, penyusunan dokumen pendukung dan diskusi panjang para ahli dan akademisi dari dalam dan luar negeri makin intensif dilakukan. Sampai pada akhirnya muncul usulan agar memperluas tema nominasi untuk memperkuat Nilai Universal Luar Biasa (Outstanding Universal Value).
Perluasan tema nominasi ini berimplikasi pada perluasan wilayah nominasi dengan menggabungkan beberapa kota atau kabupaten yaitu Kota Padang, Kota Padang Panjang, Kota Solok, Kabupaten Solok, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kabupaten Tanah Datar di Sumbar ke dalam satu wilayah nominasi yaitu 'Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto'.
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), Prof. DR. Arief Rachman menyatakan bahwa penetapan status warisan dunia bukanlah tujuan utama dari diplomasi budaya. Lebih lanjut dia menjelaskan, bahwa melalui pengakuan internasional ini, Indonesia harus dapat memastikan identifikasi, perlindungan, konservasi dan transmisi nilai-nilai luhur warisan bangsa dapat terjadi dan berkelanjutan dari generasi ke generasi. Selain perlindungan dan edukasi, status warisan dunia sudah seyogyanya juga dapat dimanfaat secara optimal untuk mendatangkan manfaat ekonomi.
"Pada akhirnya, status warisan dunia ini harus bisa meningkatkan harkat hidup dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya," pungkasnya.