SEJARAH ISLAM DI MINANGKABAU. 2
AJARAN TARIKAT DI MINANGKABAU
Pada awal perkembangan Islam lahir suatu kelompok persaudaraan (tarikat)
sebagai suatu cara mendekatkan diri kepada Allah. Tarikat adalah cabang
ilmu agama yang disampaikan filosof Islam. Penganutnya yang taat
disebut sufi. Seorang sufi menuntut ilmu agama bertahun-tahun yang
diajarkan seorang guru. Pada masa itu, tarikat dan surau dapat menyesuaikan diri dengan lembaga
yang ada di Minangkabau, tanpa menimbulkan pertentangan. Pesantren
(surau) lahir dan diterima seluruh masyarakat sebagai tambahan lembaga
kehidupan di desa. Kelompok tarikat mahir menanggapi situasi dan lebih
menekan ajaran pada usaha ketentraman batin sebagai hamba Allah. Latihan
kejiwaan dan zikir diselenggarakan untuk mengingat Allah sehingga
terpelihara kesinambungan kehidupan di desa.
Pada abad ke-18, di Minangkabau terdapat tiga kelompok tarikat:
Naqsyabandiyah, Syattariyah dan Kadiriyah. Ciri ketiga kelompok itu
sama, yaitu kepatuhan sepenuhnya yang dituntut dari seorang murid kepada
gurunya. Di tempat belajar, mereka mengenal ajaran Islam, disiplin dan latihan yang diterapkan masing-masing guru. Guru dan guru tuo (guru pembantu) mengajar membaca Qur’an, tafsir dan
kaedah agama serta praktek lainnya untuk mencari keridhaan Allah dengan
tertib. Pada sore hari para santri berkumpul sambil melaksanakan zikir
dengan menyebut asma Allah. Organisasi sekelompok surau, kadang-kadang terdiri dari 20 bangunan yang
ditempati santri dari berbagai daerah. Setiap surau berada di bawah
pengawasan seorang guru tuo. Murid-murid harus ikut membantu guru
bekerja di kebun atau sawahnya. Pada masa sibuk bertani, belajar sering
terganggu. Di samping itu, murid menanam pisang atau buah-buahan di
sekitar surau mereka. Kehidupan mereka tergantung dari hasil pertanian
yang dijual ke pasar setiap minggu. Surau-surau besar, biasanya berdiri
di desa-desa pusat perbelanjaan, yang disebut pakan. Seorang murid harus berpegang teguh pada kepatuhan diri kepada guru.
Kepatuhan ini merupakan dasar sebelum melangkah mempelajari ajaran
Islam. Pengajaran dasar bagi seorang muslim ialah membaca Al Qur’an yang lebih
menekankan pada tajwid, bunyi (fonem) yang benar menurut tata bahasa
Arab. Sebelum memperdalam kitab suci Al Qur’an, mereka harus pula
mempelajari nahu sharaf, tata bahasa Arab. Bagi yang mendapat kesulitan mempelajarinya, dapat beralih mempelajari hukum Islam, syariat. Kajian syariat disebut fikih.
Buku fikih yang dipakai di semua surau tarikat umumnya sama yaitu
mengajarkan tiang Islam, arkanul khamsah, yang digolongkan ke dalam
ibadah sebagai dasar kewajiban seorang muslim. Kemudian diikuti dengan
bimbingan berperilaku yang benar. Lanjutannya ialah mempelajari hukum
yang berkaitan dengan pengendalian hubungan sesama manusia, seperti
hukum warisan, dan lain-lain. Surau-surau yang memperdalam kajian pokok tentang hukum tersebut umumnya
menjadi surau yang mempunyai nama baik di Minangkabau. Surau-surau
Naksyah-bandiyah umumnya terletak di desa-desa persimpangan jalan
perniagaan atau desa-desa pertanian yang makmur.
Guru-guru tarikat bekerja sebagai petani untuk nafkahnya sehari-hari. Sebagai guru, ia harus pula menyiapkan suatu buku fikih dan doa-doa upacara dalam bahasa Melayu berdasarkan sumber-sumber dari bahasa arab. Tarikat Syattariyah lebih banyak dikenal pada akhir abad ke-18, yang diperkenalkan di Sumatera oleh Abdur Rauf dari Singkil, Aceh (1605-1693). Salah seorang muridnya bergelar Syekh Burhanuddin, membawanya ke Ulakan pada bagian ke dua abad ke-17. Dari Ulakan, tarikat itu bersebar melalui jalur perdagangan sampai ke Paninjauan dan Pamansiangan, kemudian ke Koto Tuo, di daerah Agam bagian selatan yang kaya dengan sawah.
Di sebelah barat Koto Tuo berdiri surau-surau tarikat yang banyak
menghasilkan ulama. Daerah ini dikenal dengan nama Ampek Angkek berasal
dari nama empat orang guru yang terpuji kemasyhurannya dalam tarikat
Syattariyah. Murid-murid di surau Syattariyah mempelajari rangkaian pengetahuan
Islam. Salah satu buku yang pedoman dalam kajian Syattariyah adalah
karya Abdul Rauf. Surau- surau lain di pedalaman Minangkabau memperdalam suatu cabang ilmu
agama tertentu, sehingga terdapat spesialisasi pengajaran.
Tuanku di Kamang tempat memperdalam ilmu alat, nahu shraf, tata bahasa
Arab; Koto Gadang dan Rao (Pasaman) dalam ilmu mantik maani, ilmu logika
Islam; Tuanku di Koto Tuo dalam ilmu tafsir Qur’an, tarbiyah,
pendidikan; Tuanku di Sumanik dalam ilmu hadith, tafsir dan faraidh
(ilmu warisan); Tuanku di Talang (Solok) dalam ilmu sharaf, dan Tuanku
Salayo dalam badi’, maani dan bayan.
Seorang santri dapat pula memperdalam ilmu kepada guru lainnya. Dengan
demikian, terjadi mobilitasi sosial yang tinggi di Minangkabau. Pada tahun 1803, terjadi suatu peristiwa yang kelak membawa akibat yang lebih jauh.
HAJI MISKIN ( ± 1860 – 1830)
Haji Miskin berasal dari Batu Tebal, Ampek Angkek, telah ikut serta bersama Tuanku nan Tuo memperbaiki keamanan para pedagang. Ia berangkat menunaikan ibadah haji pada tahun 1803 bersama Haji Sumanik dan Haji Piobang. Pada saat berada di Mekah, ia berkenalan dengan aliran Zahiriyah yang dipelopori Muhammad Abdul Ibnu Wahab ( 1703-1792), sebagai lanjutan dari pemikiran Ibnu Taimiyah (1263- 1308). Gerakan ini dikenal dengan nama Gerakan Wahabi yang dapat mempergunakan pengaruh keluarga Su’ud dari Nejd. Ketiga haji itu menerangkan pengalaman mereka masing-masing selama di Mekah kepada tuanku-tuanku dan alim ulama di Luhak Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh. Pada setiap kesempatan, Haji Miskin menjelaskan aliran Wahabi di Mekah dalam melaksanakan pembaruan agama. Ia menganjurkan kembali ke syariat berdasakan al Quran. Mereka menentang menafsirkan fikih untuk kepentingan dunia. Menentang bid’ah dan khurafat yang dimasukkan ke dalam Islam. Kembali ke ajaran yang murni, menurut ajaran Wahabi, ialah menentang fatwa-fatwa ulama yang mendasarkannya pada Qur an dan Hadis. Di dalam fikih, kaum Wahabi menentang segala macam qiyas. Di dalam kehidupan sehari-hari, mereka menentang pemujaan orang keramat. Hukumnya disamakan dengan menyembah berhala. Mereka menentang minum khamar, memakai pakaian dari sutra dan memakai perhiasan emas. Sekembali dari Mekah, Haji Miskin melengkapi gagasan-gagasan pembaruan untuk mesyarakat Minangkabau dengan ajaran-ajaran Al Quran sebagai sumber hukumnya. Ia pindah ke daerah IV Koto yang berbatasan dengan Agam bagian selatan, suatu desa makmur di lereng Gunung Singgalang. Ia menerapkan tuntunan hidup berlandaskan kaidah agama dalam setiap sikap hidup. Haji Miskin meninggalkan Pandai Sikek dan pindah ke Koto Laweh, suatu desa yang bersih, di lereng Gunung Singgalang( 1805). Di desa ini tinggal Fakih Saghir. Bersama Haji Miskin, Fakih Saghir menerapkan hukum syariat pendamping adat Minangkabau.
Dari Koto Laweh, Haji Miskin datang ke Bukit Kamang. Kemudian ia tinggal bersama Tuanku Nan Renceh di Surau Bansa (1807).
Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh mulai mengatur rencana pembaruan
secara menyeluruh untuk menerapkan hukum perdagangan Islam dalam
melengkapi hukum adat Minangkabau. Para pedagang dapat menerimanya, baik yang tinggal di Kamang atau maupun
yang datang ke sana. Mereka berjanji saling membantu dalam transaksi
antar pedagang.
Selama berada di Surau Bansa, Kamang, Datuk Bandaro dan Malin Mudo dari
Alahan Panjang mendengar langsung ide pembaruan dari pencetusnya, Haji
Miskin. Tidak lama kemudian Malin Mudo kelak dilantik menjadi Tuanku
Imam Bonjol* (1807).
Daerah Tuanku Nan Salapan dibentuk bersama Tuanku nan Renceh terdiri
dari Kamang, Candung, Ampek Angkek, Kubu Sanang, Banuhampu, Sungai Puar,
dan Padang Laweh. Di daerah ini memancarkan kesejahteraan penduduknya.
Kekerasan dan perkelahian yang terjadi akibat pengembangan pembaruan
untuk mengembalikan desa-desa melaksanakan syariat Islam. Kemudian Haji Miskin berunding dengan Tuanku Nan Salapan. Mereka sepakat
menunjuk Tuanku Nan Renceh sebagai pemimpin Gerakan Pembaruan, dan
mencari seorang yang berpengaruh untuk melindungi usaha pembaruan.
Pilihan jatuh kepada guru mereka, Tuanku Nan Tuo .
Tuanku Nan Tuo menyetujui maksud mereka, tetapi tidak menyetujui kekerasan yang dilakukan dalam pelaksanaannya. Kalau pekerjaan mulia dilakukan dengan kekerasan, akan menimbulkan kekacauan. Cara ini dianggap menyimpang dari roh Muhammad yang bijaksana. Inilah ajaran yang tertera dalam ‘Taufah mursala ila ruhun nabi.’ Sedangkan Tuanku Nan Renceh ingin menerapkan gagasan-gagasan pembaruan yang berbeda dengan cara yang dilakukannya dahulu bersama Tuanku Nan Tuo.
Haji Miskin melanjutkan usaha pembaruan di Luhak Lima Puluh. Pada tahun
1811, ia berangkat ke ranah ini untuk menggugah ulama muda, Malin Putih
di Air Tabik, untuk melakukan pembaruan. Ia berhasil baik. AiaTabit,
suatu daerah subur di kaki Gunung Sago. Fakih Saghir datang kedaerah ini
membantu Malin Putih yang kemudian bergelar Tuanku Nan Pahit. Mereka
mendirikan sebuah benteng Bukit Kawi. Haji. Miskin pindah ke Mesjid
Sungai Lundi di nagari aia Tabik. khutbahnya berhasil menjadi sebab lahirnya rencana perubahan. Pembaruan yang dilancarkan Haji Miskin di Aia Tabik bergema ke Halaban.
Seorang ulama yang mengikuti ajaran baru ini ialah Tuanku Luak di
Halaban. Haji Miskin penyebar cita-cita dan ide pembaruan masyarakat Minangkabau
yang terhunjam kuat dalam hati setiap tuanku- tuanku atau ulama Muda di
Tanah Minangkabau. Dalam suasana ribut Haji Miskin mati terbunuh dan dikuburkan di atas Bukit Kawi. (1830).
TUANKU
Dalam tradisi adat yang diadatkan di Minangkabau, gelar Tuanku adalah,
gelar pemimpin agama yang diberikan kepada seorang ulama terkemuka, yang
telah menguasai ilmu agama (Islam) paripurna. Lazimnya dibelakang gelar
itu diikuti dengan surau tempat ia mengajar. Gelar tuanku sebagai
pemimpin surau diresmikan dalam suatu upacara. Sedangkan gelar Syekh* sebagai gelar tertinggi seorang ulama di
Minangkabau, merupakan “guru gadang” yang masih langka pada awal Gerakan
Kembali ke Syariat. Gelar syekh diberikan oleh guru kepada muridnya
secara beranting sebagai kepercayaan telah diakui mempunyai ilmu agama
paripurna, seperti halnya Pono diberi gelar Syekh Burhanuddin Ulakan
oleh gurunya, Abdurauf al Singkli. Penobatannya dilakukan dengan
memberikan pakaian (jubah) pemberian guru Abdurrauf di Mekah. Dengan
demikian secara berantai terjadi hubungan guru-murid yang tidak
putus-putusnya. Setingkat di bawah Tuanku ialah gelar Peto dan Labai*, bila seseorang
yang telah menguasai fikih, tarikat dan ilmu hakekat. Gelar ini berasal
dari Turki. Seorang labai atau peto hanya diberi hak memimpin jamaahnya,
dan belum berhak memimpin surau sendiri. Tingkat ketiga, Malin, gelar seorang guru bantu (guru tuo) yang
dipercaya tuanku memberikan bimbingan kepada murid-murid pada suatu
surau. Seorang malin (maulana atau mu’allim)* telah memiliki pengetahuan
agama yang lebih luas dari murid-murid lainnya. Setelah bertahun-tahun belajar pada seorang ulama (surau), seorang murid
yang telah menguasai ilmu fikih dan sanggup membaca do’a-doa, lalu
diberi gelar Pakih. Sedangkan yang sanggup membaca Al Qur’an, diberi
gelar Kari.
TUANKU NAN TUO1750 – l830)
Tuanku Nan Tuo adalah seorang ulama pembaru Islam di pedalaman Minangkabau yang memimpin surau di Koto Tuo*, Ampek Angkek pada pertengahan a bad ke-18. Murid-Murid yang belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari adalah karya Abdurrauf yang memperlihatkan penghargaan yang tertinggi terhadap “syariat”. Ajaran ini dibawa Syekh Burhanuddin Ulakan sekembalinya belajar pada Syekh Abdurrauf al Singkli di Aceh. Beberapa surau Syattariyah mempelajari cabang ilmu agama, sehingga terjadi spesialisasi pengajaran agama Islam di Minangkabau. Masing-masing surau itu memperdalam salah satu cabang ilmu agama, seperti: Surau Kamang dalam ilmu alat (nahu sharaf dan tata bahasa Arab), Koto Gadang dalam mantik ma’ani, Koto Tuo dalam ilmu tafsir Quran, tarbiyah dan hadith), Surau Sumanik dalam ilmu faraidh (pewarisan) hadis; Surau di Talang dalam badi’, maani dan bayan (tata bahasa Arab ), Tuanku di Sumanik dalam ilmu hadis, tafsir dan faraidh, Tuanku di Talang dalam ilmu sharaf, sedangkan Tuanku di Salayo dalam ilmu nahu nan tiga (badi’, maani dan bayan. Kedua ulama terakhir mencapai derajat yang tinggi sebagai ulamiyah.
Dalam hal ini Tuanku Nan Tuo mempelajari ilmu-ilmu itu dari
tuanku-tuanku itu, akhirnya lebih dikenal sebagai ulama yang kisyaf yang
mempunyai pengetahuan yang luas dalam mantik, maani, hadis, tafsir,
tarbiyah, danu agama lainnya. Pada akhir abad ke-18, surau Koto Tuo memperkenalkan pembaruan
berdasarkan hukum Islam kepada masyarakat luas. Murid surau Koto Tuo
kira-kira seribu orang berasal dari pelosok Minangkabau dan daerah
rantau. Ajaran Syattariah yang diperkenalkan mengenai ilmu hakekat, ilmu
pengetahuan tentang tauhid dalam ‘mencari Tuhan’. Murid dan guru
melibatkan diri dalam perdagangan yang berasal dari langganan luar
negeri, seperti Amerika, Inggeris, Tamil dan Gujarat. Tuanku Nan Tuo berfatwa tentang perlindungan terhadap pedagang dan
menguraikan syariat Islam yang berhubungan dengan keamanan pedagang.
Fatwa ini dikenal dengan nama gerakan kembali ke syariat. Ia mengajarkan
murid-muridnya cara menggalang persatuan bagi masyarakat Minangkabau
menurut perintah Tuhan. Inti ajarannya ialah ketaatan pada ajaran-ajaran
Al Quran dalam mengatur harta warisan, penceraian dan jual beli barang.
Semenjak itu Tuanku
Nan Tuo terkenal sebagai pelindung pedagang. Tuanku Nan Tuo bersama Haji Miskin, sebelum menunaikan ibadah haji ke Mekah, mencari jawaban tentang pembagian harta warisan menurut fikih. Menurut Tuanku Nan Tuo harta dibagi atas harta pusaka dan harta pencaharian. Harta pusaka diwariskan menurut hukum adat Minangkabau. Harta pencaharian jatuh ke tangan anak, dengan perbandingan antara anak laki dengan anak perempuan 2: 1. Tuanku Nan Tuo melihat banyak hal yang sesuai antara adat dengan syariat menurut mazhab Syafei, terutama yang berhubungan dengan harta pusaka. Semenjak tahun 1784, hukum Islam menjadi kajian yang penting dari surau Koto Tuo. Murid-murid Tuanku Nan Tuo yang terbaik ditugaskan melaksanakan dakwah ke luar Ampek Angkek, terutama desa yang menghalangi usaha perdagangan. Semenjak itu Tuanku Nan Tuo dikenal sebagai pelindung pedagang di Minangkabau.
Jalaluddin gelar Fakih Saghir yang kemudian mendirikan surau di Koto
Laweh, gerbang jalan ke Pariaman melalui Mudik Padang; Tuanku Bandaro
dari Alahan Panjang meneruskan pembaruan di Bonjol bersama Tuanku Imam
Bonjol; Pakih Muhammad bergelar Tuanku Rao di Rao Mandahiling, Saidi
Muning bergelar Tuanku Pasaman kemudian bergelar Tuanku Lintau di
Lintau. Pendidikan lainnya di surau Tuanku Nan Tuo ialah ilmu bela
diri, silat dan pencak sehingga setiap murid siaga serempak menjadi
pemuda trampil dan mampu menggunakan senjata di medan laga.
. Menjelang tahun 1790 daerah Ampek Angkek mengalami kemajuan besar atas
usaha Tuanku Nan Tuo. Pedagang lebih senang membawa barang dagangannya
melalui Agam terus ke Koto Laweh, kemudian meneruskan perjalanannya
melalui bukit antara Gunung Singgalang dan Gunung Tandikek menuju Mudik
Padang dan terus ke Pariaman. Mereka dapat bergerak dengan leluasa, yang
belum pernah dialami sebelumnya. Pembaruan Islam dilaksanakan di surau-surau yang memajukan pendidikan surau dan memajukan perdagangan.
Pusat-pusat perdagangan di pedalaman Minangkabau dikuasai oleh surau-surau, seperti Tuanku Damansiang di Pandai Sikek, Jalaluddin di Koto Laweh, Tuanku Nan Renceh di Kamang;Tuanku Nan Tuo di Ampek Angkek, dan kemudian Tuanku Bandaro dan Tuanku Imam Bonjol di lembah Alahan Panjang Panjang, Tuanku Rao di Rao, Tuanku Barumun di Kota Pinang dan Barumun.. Telah terjadi pratagoni di daerah Islam berkembang dengan pembaruan dan perbaikan moral masyarakatnya yang memancarkan kemakmuran.. Pemerasan yang sering terjadi terhadap pedagang dan pemungutan pajak pengawasan pada jalan dagang tradisional dari Jaho Tambangan ke Bukit Punggung Jawi terus ke Kayu Tanam dan Lubuk Alung yang diawasi dubalang Tuanku Gadang dari Batipuh. Dengan adanya perubahan itu di pedalaman Minangkabau berlaku pertanian pola rakyat, menggantikan pola raja yang dikuasai kerajaan Pagaruyung. Belanda memasuki Minangkabau pada tahun 1821 dan ingin menguasai pusat perdagangan di pedalaman Minangkabau. Kemudian Belanda mendirikan benteng Gedung Batu di Koto Tuo. Selama enam tahun hulubalang Tuanku Mudo, pangka tuo (pemimpin ) hulubalang Tuanku Imam Bonjol tinggal di daerah Ampek Angkek. Peperangan tak terelakkan antara pro golongan pembaruan dengan pengikut Tuanku Nan Tuo. Tuanku Nan Tuo meninggal dunia pada tahun 1830 berlumuran darah di surau yang dibangunnya dengan Qur an tetap dipegangnya.
TUANKU LINTAU ( ± 1770 -1832 )
Tuanku Lintau seorang ulama di Tanah Datar. Ia anak seorang penghulu bergelar Datuk Sinaro. Nama kecilnya Saidi Muning dan belajar di surau Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, melanjutkan pelajarannya di Natal dan Pasaman. Kemudian memimpin suraunya yang terletak di pantai di Pasaman. Semenjak itu ia dipanggil orang Tuanku Pasaman. Pada tahun 1813, Tuanku Pasaman kembali ke kampung halamannya di Lintau, di lembah Sinamar. Ia berpendapat, misinya harus diarahkan pada pembaruan tingkah laku masyarakat di sekitar kerajaan Pagaruyung. Ia sangat terkesan dengan pembaruan yang dilakukan Tuanku Nan Renceh, di Kamang. Muningsyah, Raja Pagaruyung, tidak menentang gerakan pembaruan yang dilakukan Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Pasaman di Lintau untuk perbaikan moral masyarakat Tanah Datar. Tetapi, kerajaan Pagaruyung dan beberapa desa-desa sekitarnya, acuh tak acuh terhadap kehidupan masyarakat. Mereka bahkan menunjukkan permusuhan, sehingga timbul pertentangan di tengah masyarakat.
Kerusuhan menjalar ke desa-desa sebelah timur Tanah Datar.
Tuanku Pasaman memutuskan mengakhiri sifat otonomi desa yang berlaku
selama ini. Raja Pagaruyung tidak mempunyai niat untuk melakukan
pembaruan. Sesungguhnya Pagaruyung telah lumpuh. Tuanku Pasaman
berkesimpulan, prasyarat berhasilnya pelaksanaan idenya, ialah dengan
jalan melaksanakan administrasi pemerintahan yang seragam di Tanah
Datar. Tindakan yang akan dilakukannya ialah menyingkirkan keluarga
kerajaan, dan menyerang desa-desa yang paling erat dengan kerajaan
Pagaruyung. Ia yakin bahwa sistem kerajaan Pagaruyung menjadi penghalang
cita-citanya.
Pada tahun 1815, ia mengajak Raja Alam beserta keluarga kerajaan lainnya
untuk bermusyawarah di Koto Tangah, antara Barulak dengan Saruaso. Pada
pertemuan itu tiba-tiba Tuanku Pasaman menuduh Raja Alam kurop dan
tidak beragama. Ia memerintahkan menyerang raja. Banyak anggota keluarga
Pagaruyung mati terbunuh dalam peristiwa itu, termasuk dua orang anak
Raja Alam Pagaruyung. Raja Muningsyah bersama cucunya dapat meloloskan
diri ke Lubuk Jambi. setelah terjadi Peristiwa Koto Tangah itu.
Tuanku Pasaman menyerang Lubuk Jambi pada tahun 1823 untuk dapat
menguasai kota dagang di pantai timur melalui Sinamar. Tuanku Pasaman
berusaha memperkuat kedudukannya di mata penduduk pusat kerajaan. Ia
mengawini anak Raja Ibadat terakhir yang meninggal pada tahun 1817. Kemudian ia memindahkan kedudukannya dari Sumpur Kudus ke Lintau dan
menyatakan dirinya sebagai pemegang waris Raja Adat dan Raja Ibadat.
Semenjak itu pula ia lebih dikenal dengan gelar Tuanku Lintau. Tuanku Lintau dapat meluaskan sistem administrasi Padri di daerahnya
dengan dukungan hulubalang yang berpakaian merah untuk membedakannya
dengan dubalang yang berwarna hitam. Di daerah bukit sebelah timur
Lintau, sistem Padri diterima dengan baik. Penduduk Buo dan Kumanis
menganut ajaran Padri. Di sebelah utara Lintau, di lereng Gunung Sago,
berada di bawah hulubalang Tuanku Lintau yang bernama Tuanku Halaban.
Sehubungan dengan serangan itu, dasar-dasar ekonomi dan politik Kerajaan
Pagaruyung lumpuh. Keluarga kerajaan berusaha menyelamatkan diri dari
kehancuran dengan kembali kepada sekutu lama, Belanda. Semua nagari yang
terletak pada jalur Koto Piliang ke pantai barat ikut menandatangani
perjanjian dengan Belanda pada tahun 1819. Nagari-nagari ini diwakili
dua beradik Sultan Saruaso dan Raja Alam Bagagarsyah dari Pagaruyung dan
Nagari Duo Puluh Koto dan Batipuh. Mulai saat itu Gerakan Pembaruan
Padri berhadapan dengan Belanda yang kemudian berubah menjadi Perang
Padri. Kawasan Lintau dipisahkan dengan pusat Tanah Datar oleh punggung bukit
barisan dengan lembah-lembah yang dalam. Bukit pemisah ini ialah Bukit
Marapalam dipergunakan sebagai benteng perlindungan yang sulit ditembus
dari arah Tanah Datar. Punggung bukit di sekitar Lintau ditanam dengan
kopi. Kawasan ini merupakan pertemuan bukit yang membentuk lereng-lereng yang
mendaki. Di sela-sela bukit ini mengalir mata air yang dapat
dimanfaatkan untuk mengairi sawah-sawah yang terletak di tengah kebun
kopi, dikelilingi oleh sawah yang subur, yang mendatangkan kesejahteraan
penduduknya.
Halaban dan Lintau semenjak lama mempunyai hubungan dagang dengan pantai timur, di hulu Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Pada tahun 1813, ia membenahi desanya, Lintau. Semenjak tahun 1820 melakukan upaya mengawasi lalu lintas perdagangan jalur Indragiri. Sejak itu pula ia terkenal sebagai Tuanku Lintau. Penduduk Lintau melakukan penukaran kopi dengan barang-barang katun dan garam. Terbukti bahwa terdapat hubungan antara kemakmuran dengan diterimanya asas pembaruan Islam (Protagoni). Kedatangan serdadu Belanda ke Tanah Datar dilaporkan kepada Tuanku Imam Bonjol oleh Tuanku Kacik. Utusan itu menyatakan bahwa pasukan Belanda dengan sekutunya akan menyerang Lintau. Pasukan Belanda menyerang Bukit Marapalam, bergerak dari Pagaruyung dengan kekuatan 8 pucuk meriam. Pasukan ini dapat dipukul mundur sampai ke desa Tanjung. Empat pucuk meriam dapat dirampas hulubalang Lintau. Empat hari kemudian, Belanda kembali mencoba menyerang Bukit Marapalam dari arah desa Tanjung. Peristiwa ini terjadi pada 13 April 1823.
Pasukan hulubalang Bonjol di bawah pimpinan Tuanku Mudo yang sedang
berada di Ampek Angkek, mendengar serangan Belanda ke Bukit Marapalam
itu, segera bergerak ke lembah Bukit Marapalam. Pasukan Bonjol menyerang
dari arah utara sehingga hulubalang Lintau dapat menguasai medan
pertempuran. Pasukan Lintau dan hulubalang Bonjol dapat menguasai
lapangan pertempuran. Kekalahan ketiga kalinya bagi pasukan Belanda terjadi pada tanggal 16
April 1823 yang dikenal sebagai Hari Keprajuritan Perlawanan Lintau.
Peristiwa serangan Belanda dan perlawanan hulubalang Lintau tercantum
pada relief Museum Perjuangan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Pada
serangan itu Belanda mendapat kekalahan tiga orang perwira, 45 serdadu
Belanda mati, 9 perwira luka dan 178 prajurit menderita luka. Empat buah
meriam Belanda dapat dirampas. Pertahanan Tuanku Lintau (1813-1830) baru ditembus pasukan Belanda
melalui pengkhianatan yang dilakukan dalam malam pekat ketika hujan
turun dengan deras.
TUANKU NAN RENCEH ( ± 1780 – 1832)
Seorang ulama yang cerdas, murid Tuanku Nan Tuo. Setelah menyelesaikan
pendidikan di Koto Tuo, ia kembali ke kampung halamannya, di Bansa,
Kamang. Tuanku Nan Renceh mengundangkan jihad dari Surau Bansa, Kamang.
Walau sebagai seorang petani, ia mampu memberikan pelajaran dengan
semangat perjuangan di suraunya. Ia melakukan penyerangan terhadap
nagari sekitarnya, seperti Kamang, Tilatang, Padang Tarok, Ujung Guguk,
Candung, kemudian Matur dan Lima Puluh. Dengan tubuhnya yang kurus
tinggi dan pandangan mata yang menyala ia memberi contoh bagaimana
ajaran agama ditegakkan tanpa ditawar-tawar. Masyarakat ingin ditegakkan adalah masyarakat muslim yang tidak mengenal
menyabung ayam, minuman keras, menghisap candu, makan sirih dan tidak
meminta doa ke kuburan dan melarang laki-laki memakai sutra dan
perhiasan emas. Siapa yang tidak taat dihukumnya.. Ia ingin menegakkan
agama di tengah masyarakat, dan tampak pengaruh Wahabi dalam
tindakannya.
Tuanku nan Renceh dapat menundukkan seluruh daerah Kamang. Kemudian Magek, Salo,
Koto Baru. Di nagari yang mengakuinya disusun pemerintahan menurut
Islam dikepalai oleh seorang imam dibantu oleh seorang kadhi. Berangsur-angsur Tuanku Nan Renceh menaklukkan nagari yang keras
menantangnya. Nagari itu dibakar dan dibinasakan. Pembaruan yang
dicanangkan itu akhirnya disetujui surau-surau di Agam, antaranya tuanku
nan salapan. Haji Miskin kemudian berunding dengan Tuanku Nan Renceh dari Surau Bansa
(1807). Tuanku Nan Renceh bersama Haji Miskin mulai mengatur rencana
pembaruan secara menyeluruh. Mereka menghapuskan kebiasaan buruk yang
dilarang agama Islam.
Gagasan kedua orang pembaru ini untuk menerapkan hukum perdagangan Islam
melengkapi hukum adat Minangkabau yang diterima baik oleh pedagang,
baik yang tinggal di kamang, maupun yang datang ke Kamang Musyawarah dengan tuanku nan salapan, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Kalung,
Tuanku Ladang Laweh, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambalau, dan
Tuanku Lubuk Aur, menghasilkan kesepakatan menunjuk Tuanku Nan Renceh
sebagai pemimpin geralan pembaruan dan mencari seorang yang berpengaruh
untuk melindungi usaha pembaruan yang akan dilakukan. Pilihan jatuh
kepada guru mereka, Tuanku Nan Tuo.
Perbedaan pendapat antara Tuanku nan Renceh dengan Tuanku nan Tuo, tidak
dapat dielakkan. Tindakan Tuanku Nan Renceh tidak disetujui Tuanku nan
Tuo Tuanku Nan Tuo melarang Tuanku Nan Renceh dengan beribu-ribu orang
Kamang yang ingin menyerang Kurai.
Akhirnya Tuanku Nan Tuo memanggil Tuanku Nan Renceh musyawarah
menghentikan pembakaran dan pembunuhan sesama orang Islam. Tuanku Nan
Renceh mengemukakan jihad berdasarkan fikih. Orang yang tidak
menjalankan perintah agama dapat dirampas harta dan jiwanya.
Tuanku Nan Tuo mendasarkan pikirannya pada tarikat, Tindakan kekerasan
hanya boleh dilakukan terhadap orang yang terang terangan menentang
ajaran Islam. Akhirnya perbedaan pendapat diselesaikan dengan sumpah
disaksikan Quran.
Di beberapa nagari, seorang ulama ditempatkan dalam pemerintahan adat.
Wadah lain hasil perjuangannya jabatan Imam, yang pada mulanya pemimpin
sembahyang berjamaah, dan kemudian ikut memimpin pertahanan nagari, dan
Tuan Kadi, mengatur akad nikah, talak rujuk dan pengawasan hukum dalam
nagari. Perjuangan para ulama dikoordinasi ke dalam Tuanku nan Salapan yang terdiri dari :
1. Tuanku nan Renceh dari Kamang
2. Tuanku Kubu Sanang
3. Tuanku Ladang Laweh di Banuhampu
4. Tuanku Padang Luar
5. Tuanku Galung di Sungai Puar
6. Tuanku Koto Ambalau
7. Tuanku Lubuk Aur
8. Tuanku Pamansiangan nan Mudo di Mansiangan
Munculnya kelompok militan bukan ide pembaruan yang dikembangkan.
Tatkala kelompok ini ingin melaksanakan aksinya, mereka menghadap orang
arif di Koto Tuo lebih dahulu. Pengaruhnya atas masyarakat luas
merupakan faktor penentu. Apalagi sebagian besar para ulama itu pernah
menjadi murid ulama besar ini. Pada awal gerakan pembaruan ini dibina
atas hubungan pemimpin kharismatik dengan pengikutnya. Inilah yang
disebut hubungan guru murid. Usulan Tuanku Nan Renceh beserta kelompoknya untuk melaksanakan aksi
gerakan dengan kekerasan tidak dapat diterima Tuanku nan Tuo. Beliau
sependapat dengan gagasan untuk terus menegakkan prinsip-prinsip ajaran
Islam yang murni.
Dalam segala hal, Tuanku nan Tuo menyediakan diri dan mencurahkan tenaganya guna pembaruan, seperti telah dilaksanakannya jauh sebelumnya. Tetapi ia berbeda pendapat mengenai cara mencapai tujuan. Maka dinasehatkannya agar mereka menempuh jalan yang lebih lunak untuk menghindarkan kerugian yang tidak diperlukan. Dalam pengambilan keputusan mereka menemukan jalan bersimpang dua. Tuanku nan Tuo beserta murid-muridnya yang setia, tetap melaksanakan pembaruan dengan cara lunak. Sedangkan Tuanku nan Renceh dengan kelompoknya mengambil jalan kekerasan. Ternyata, Tuanku nan Renceh pula yang memikul beban langkah pertama untuk melaksanakan perubahan itu. Ia memulai gerakan di kampung halamannya. Pergolakan-pergolakan umum segera menyebar ke nagari-nagari di seluruh Minangkabau. Tuanku nan Renceh mengemukakan jihad berdasarkan fikih. Orang yang tidak menjalankan perintah agama dapat dirampas jiwa dan hartanya. Tuanku nan Tuo mendasarkan fikirannya menurut ajaran tarikat. Tindakan kekerasan hanya boleh dilakukan terhadap orang yang terang terangan menentang ajaran Islam. Akhirnya perbedaan pendapat diselesaikan dengan sumpah disaksikan Quran. Namun demikian kelompok Tuanku nan Renceh meminta Tuanku Pamansiangan nan Mudo sebagai penasihat mereka. Serangan Belanda, untuk menguasai perdagangan kopi dan kulit manis dari Kamang, di Koto Baru dan Kapau mendapat perlawanan yang gigih dari hulubalang Tuanku nan Renceh.
Banyak korban yang berjatuhan di pihak Belanda sehingga dipaksa mundur
ke Bukittinggi. Beberapa pucuk meriam Belanda dapat direbut di Kapau.
Serangan-serangan Belanda merupakan pengalaman baru rakyat Minangkabau
berhadapan dengan penguasa bangsa asing. Perlawanan semesta dengan
menggunakan parit dan rintangan alam seperti bukit, lembah dan gunung.
Sentot, seorang bekas pemimpin pasukan Diponegoro yang dikirim Belanda
ke Minangkabau bersama 300 orang pasukannya.(1829). Pasukan Raden Noto
Prawiro dan T. Prawiro Sabiro menyerang kedudukan Tuanku Nan Renceh.
Dalam pertempuran itu, Tuanku nan Renceh menghembuskan nafas penghabisan
(Juni 1832). Namun Raden Noto Prawiro dan Sabiro melihat masyarakat Kamang yang
Islami dan keberanian hulubalang Tuanku nan Renceh di Kamang berjuang
seperti dilakukannya bersama Diponegoro dulunya.
Tuanku Imam Bonjol (1772 – 1854)
Seorang tokoh gerakan pembaru Islam, dan seorang pemimpin Padri yang
berhasil mengembangkan perdagangan di pantai barat, pantai timur sampai
ke Tapanuli Selatan. Ia juga seorang ahli benteng yang terkenal dengan
nama Bonjol di Minangkabau. Nama kecilnya Muhammad Syahab. Keluarganya
berasal dari batas Rimbang, Agam. Sebagai pendatang di Tanjung Bungo, Alahan Panjang, dua orang
bersaudara, Syekh Usman dan Hamatun diterima sebagai anak kemenakan
dengan “mengisi adat” pada salah seorang Rajo Ampek Selo Alahan Panjang,
Datuk Sati, di Ganggo Hilir.
Kaumnya diizinkan pula mengangkat Syekh Usman sebagai penghulu kaum
Koto, bergelar Datuk Sajatinyo. Hamatun, adiknya dikawinkan dengan
Khatib Bayanuddin, seorang guru agama berasal dari Kampung Batas
Rimbang, Palupuh Kabupaten Agam. Mereka menetap di Tanjung Bungo.
Dari perkawinannya, mereka dikaruniai tiga orang putri, Sinik, Santun
dan Halimatun dan seorang anak laki-laki bernama Muhammad Sahab, yang
kemudian terkenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Muhammad Sahab
dilahirkan di kampung Tanjung Bungo pada tahun 1772. Pada usia 7 tahun, ia belajar mengaji al Quran di Kampung bakonya di
Batas Rimbang, Luhak Agam. Pada tahun 1792 -1800, belajar pengetahuan
agama di Surau Tuanku Bandaro di Padang Laweh. Tuanku Bandaro adalah
seorang murid Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampek Angkek. Semenjak tahun
1802, Muhammad Syahab menjadi guru tuo (pembantu) di surau gurunya
dengan bergelar Malin Basa.
Pada tahun 1805, selama tiga bulan, Tuanku Datuk Bandaro bersama Malin
Basa belajar ke Surau Bansa di Kamang. Mereka mengenal langsung
pembaruan agama Islam yang dicetuskan oleh Tuanku Nan Renceh bersama
Tuanku Haji Miskin. Dari Tuanku Nan Renceh, ia mendapat pengetahuan memajukan kesejahteraan
masyarakat dengan melindungi pedagang dan mempergunakan bedil yang
diperdapatnya dari Tuanku Sumanik. Dari Tuanku Haji Miskin, mereka mendapat dasar pengetahuan fikih tentang hak warisan dan hukum perdagangan. Sebagai salah seorang murid Tuanku Nan Tuo, Datuk Bandaro bersama Malin
Basa memperkenalkan pembaruan berdasarkan hukum Islam yang mengatur hak
masyarakat dalam perdagangan dan warisan. Datuk Bandaro mempergunakan
wibawanya mengumpulkan seluruh rakyatnya untuk melaksanakan pembaruan
itu. Semenjak itu, Malin Basa bergelar Peto Syarif.
Pada tahun 1807, Peto Syarif dan pengikutnya pindah dan mendirikan Koto
di bawah Bukik Tajadi yang kemudian bernama Bonjol (1807). Ia diangkat
oleh Nyiak Angku menjadi Tuanku Imam. Bonjol dipimpin oleh Tuanku nan
Barampek yangdipimpin oleh Tuanku Imam dan diresmikan oleh sebagai
pemimpin pembaruan Islam oleh rombongan dari Kamang (1808). Tuanku Nan Gapuk dan Tuanku Nan Hitam ditugaskan belajar silat ke Tuanku
Andaleh di Palembayan. Keduanya menjadi pelatih hulubalang Bonjol.
Tuanku Nan Hitam sebagai Tuanku Kadi memimpin hukum Islam. Hulubalang
dipimpin pangka tuo, di bawah pimpinan Tuanku Mudo. Tuanku Imam Bonjol berusaha mengamankan jalan perdagangan di pantai
barat dan pantai timur Sumatra dengan bantuan hulubalang. Pembaruan
sejalan dengan perlindungan pedagang dari Kumpulan terus ke Sasak dan
Tiagan.
Peto Magek, mantu Yang Dipertuan Parik Batu, seorang pedagang kaya,
memasok keperluan Bonjol dengan meriam Inggeris. Pembaruan Islam
berlanjut ke Suliki, Mahek, terus ke Kuok, Bangkinang dan Salo. Di tiap-tiap nagari-nagari ditanam imam khatib dan kadi. Tuanku Imam
meresmikan Pakih Muhammad menjadi Imam Besar bergelar *Tuanku Rao
berkedudukan di Padang Mattinggi, Rao.
Bersama Tuanku Mudo, Tuanku Rao mengamankan jalan dagang menuju Sosa dan
Barumun di pantai timur, dan mengangkat menantu Tuanku Rao sebagai
Tuanku Barumun. Tuanku Gadubang dari Huta Na Godang menyebarkan
pembaruan Islam di Tapanuli Selatan. Bonjol menjadi pusat pembaruan Islam dan perdagangan di Minangkabau.
Banyak harta rampasan dibawa ke Bonjol dan perilaku hulubalang banyak
yang tidak dsenangi masyarakat. Tuanku Imam Bonjol berundang dengan
Tuanku Rao, Tuanku Barumum dan Tuanku Kadi untuk mencari hukum ke sumber
asli, di Mekah dan di Madinah. Mereka sepakat mengirim anak kemenakan
dipimpin oleh Tuanku Barumun.(1811).
Kembali dari Mekah, Tuanku Imam Bonjol mengakui kesalahan dengan
menyatakan bahwa kesalahan harus diperbaiki. Penyelesaian adat
dikembalikan kepada Basa dan penghulu, dan urusan agama diselesaikan
oleh alim ulama. Semenjak itu berlaku adat basandi syarak (1813) dan
berlaku di Minangkabau, Agam, Tanah Datar dan Negeri Danau. Segala harta
rampasan (ghanimah) dikembalikan kepada pemiliknya. Selama 25 tahun, Imam Bonjol menjadi basis gerakan pembaruan berdasarkan
ajaran adat dan syarak. Selama itu pula perdagangan Minangkabau
berjalan dengan baik. Amerika dan Inggeris menjadi langganan komoditi
pertanian Minangkabau, seperti kopi, lada, dan kulit manis.
Pada tahun 1820, Tuanku Nan Renceh meninggal dunia dan kepemimpinan pindah kepada Tuanku Imam Bonjol. Pengaruh kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol makin terasa di seluruh Minangkabau sampai ke Tapanuli.
Ketika Belanda memasuki pedalaman Minangkabau pada tahun 1821
berkali-kali hulubalang Bonjol dibantu hulubalang Rao-Mandahiling
menyerang kedudukan Belanda di Agam dan Tanah Datar. Pandai Sikek direbut kembali (1825) dan Tuanku Pamansiangan kembali dari
Bonjol. Kurai dibakar karena Belanda mendirikan Fort de Kock. Ampek Angkek diduduki karena Belanda mendirikan benteng di Gedung Batu,
di Koto Tuo Ampek. Serangan ke Lintau dapat dipatahkan atas bantuan
hulubalang Bonjol di bawah pimpinan Tuanku Mudo (16 April 1823). Tuanku Imam Bonjol mengungsi ke Lubuk Sikaping, karena Rajo Ampek Selo,
Datuk Bandaro dengan Datuk Sati tidak sependapat atas permintaan Belanda
untuk menyerahkan Bonjol (1832).
Alangkah tercengangnya Tuanku Imam Bonjol, ketika Tuanku Nan Cadiak dari
Nareh menjadi juru bicara perdamaian Belanda dengan Tuanku Imam Bonjol.
Kepemimpinan Bonjol diserahkannya kepada Tuanku Mudo atas permintaan
Elout.
Serangan serentak atas kedudukan Belanda (11 Januari 1833) di Minangkaau
terjadi karena Sikap Tuanku Imam yang mencintai persatuan dan
musyawarah, meyakinkan pemimpin-pemimpin Minangkabau, seperti Sultan
Bagagarsyah, Sentot Prawirodirjo, Tuanku Nan Cadiak dari Naras dan
masyarakat Minangkabau. Serangan balik Belanda dapat ditahan atas
kepercayaan Tuanku Imam, bahwa setiap nagari mempertahankan nagarinya
masing-masing. Kepercaayaan itu masih tetap dipertahankan oleh Tuanku Imam di saat
perang mati-matian di lembah Alahan Panjang (1835 -1837). Berbagai
bantuan mengalir dari seluruh Minangkabau, seperti mensiu, bahan kain,
dan tenaga perang. Dengan dorongan agar teruskan melawan Belanda.
Di tengah perang itulah datang surat Residen Francis agar Tuanku Imam
menyerah. Surat itu dibicarakan dengan seluruh penghulu di Alahan
Panjang. Semua penghulu menolak dan bertekad membantu Tuanku Imam.
Tuanku Imam bersama keluarganya diantarkan penghuku ke pengungsiannya di
Koto Marapak dan Bukit Gadang. Atas musyawarah penghulu, Sultan Caniago
dan *Bagindo Tan Labih diutus sebagai wakil Tuanku Imam berunding
dengan Residen Belanda, Arbacht, ke Bukit Tinggi. Setelah berjuang
selama 15 tahun, Tuanku Imam ditangkap 28 Oktober 1837,Tuanku Imam
dengan alasan diajak berunding. Ia diasingkan semula ke Cianjur (20 Januari 1938) bersama Bagindo Tan
Labih, semenda dan dubalang, Sutan Saidi anaknya dari Padang Laweh, dan
si Gelek, tukang meriam Sentot yang setia padanya. Ia dipindahkan ke
Manado, Koka, dan terakhir di Lota Pineleng, 9 km dari Manado.
Imam Bonjol meninggalkan dunia pada 17 November 1854 di Lotak, dan baru disiarkan 10 tahun kemudian, sehingga kematiannya tercatat pada tahun 1864. Sebelum meninggal dunia, ia membeli sebidang tanah di Koka dari seorang Bwlanda bernama Agisir. Tanah itu diberikan untuk mahar perkawinan Bagindo Tan Labih dengan Watok Pantaow. Sampai sekarang, tanah kalekeran menjadi simbol pemersatu keluarga Baginda di Sulawesi. Tuanku Imam Bonjol diakui sebagai pahalawan dalam perjuangan pembaruan masyarakat berdasarkan syariat Islam dan menentang kolonialisme Belanda. Namanya terkenal sebagai ahli pembangunan benteng dan strategi perang rakyat semesta. Ia diangkat sebagai pahlawan nasional dengan Surat keputusan Presiden No. 087/TK, 6 Novembember 1973.
Tuanku Rao ( ……- 1830)
Murid Tuanku Imam yang terkenal bergelar Fakih Muhammad, seorang pemuda
yang berasal dari Padang Mattinggi, Rao (Naskah Tuanku Imam Bonjol,
tulisan Naali Sutan Caniago ). Ayahnya berasal dari Huta na Godang. Dalam tradisi Batak, Tuanku Rao adalah kemenakan dari Singamaraja X yang
menguasai daerah Bangkara Toba. Nama kecilnya Pongki na Ngolngolan Ia
belajar di Koto Tuo sampai mencapai gelar Fakih Muhammad. Kemudian ia
belajar di Bonjol dengan Tuanku Imam. Setelah menyelesaikan pengajiannya di Bonjol, Fakih Muhammad diiringkan
oleh Tuanku Nan Barampek berangkat ke Rao. Kedatangan rombongan mulanya
disambut dengan perang. Kemudian orang Rao dapat dikejar sampai ke
Langsek Kodok. Dalam peperangan ini Rajo Dubalang Rao kena tembak,
sehingga mereka berdamai.
Yang Pituan Padang Unang berjanji akan menjalankan hukum syarak di
nagari Rao dan akan menanam imam dan khatib. Tuanku nan Barampek
dijemput Datuk Manjunjung Alam dari Padang Mattinggi untuk meresmikan
Pakih Muhammad menjadi Imam Besar di nagari Rao dan bergelar Tuanku Rao
yang disetujui Yang Dipertuan Padang Nunang dan penghulu Nan Lima Belas.
Semenjak itu Fakih Muhammad lebih dikenal sebagai Tuanku Rao. Ia dibantu
kemenakannya, Bagindo Suman, sebagai kepala hulubalang. Selama Perang Agama (1807 -1812) di Bonjol, Tuanku Rao ikut membantu
Tuanku Imam Bonjol bersama Tuanku Mudo dan hulubalang meluaskan
pembaruan ke daerah sekitarnya Rao sampai ke Rambah Kapanuhan dan ke
Rokan, sehingga jalan dagang terbuka melalui Barumum.
Gerakan pembaruan ke kawasan Mandahiling Julu dan Mandahiling Godang
semenjak tahun 1820 dapat diawasi Tuanku Rao dibantu oleh Raja Alam
Pakantan dan Tuanku Natal. Daerah ini menghasilkan emas dan penduduknya
berdagang melalui pelabuhan Natal. Gerakan pembaruan ke timur menuju Rokan dilanjutkan sampai ke Barumun,
Rambah Kapanuhan, Kota Pinang dan Tanah Tumbuh. oleh Tuanku Tambusai,
menantu Tuanku Rao, sehingga kawasan Batang Barumun dan Sosa, daerah
penghasil emas dan jalur perdagang ke Kota Pinang dan Pedir dapat
diawasi oleh Tuanku Tambusai. Tuanku Rao bersama hulubalang Tuanku Imam meluaskan pembaruan ke negeri
Mahek, Kuok, Bangkinang sampai Salo dan Air Tiris. Di tempat itu disusun
pemerintahan agama seperti menanam imam, khatib dan kadhi. Dua orang utusan Tuanku Natal, Tuanku Di Danau Air dan Tuanku Diukur
melaporkannya kepada Tuanku Imam Bonjol. Untuk menghadapinya, Tuanku
Imam menugaskan Tuanku Rao dan Bagindo Suman membantu Tuanku Natal
menyerang kedudukan Belanda. Pertempuran ini mendapat bantuan
kapal-kapal Trumon dari Aceh. Pelabuhan Natal dikepung 10.000 orang pasukan Rao Mandahiling selama 12
hari. Pasukan Rao dipimpinan Bagindo Suman menarik diri setelah perahu
Saidi Marah kena tembakan kapal Nakhoda Langkap, sekutu Belanda. Ketika serangan ke Air Bangis, Tuanku Rao meninggal dunia (1830).
TUANKU NAN CADIAK (…..-1851)
Semenjak dahulu, Naras merupakan jalan niaga dan jalan agama tradisional
dalam pengembangan surau di Minangkabau.. Tuanku Nan Cadiak, Kampuang
Dalam, dikenal sebagai Bagindo Maganti. Tuanku Nan Cadiak sangat
disenangi karena selalu melindungi rakyat yang membuat garam di daerah
pantai. Di Kampung Dalam, di daerah Naras ia dikenal bergelar Bagindo Maganti.
Setelah memimpin surau di Kampung Dalam, ia dipanggil muridnya Tuanku
Nan Cadiak. Di kalangan rakyat Naras dan Tujuh Koto, ia seorang ulama
yang disegani, karena selalu menjadi pelindung rakyat yang membuat garam
di daerah pantai di daerahnya.. Berkali-kali Belanda menyerang rakyat
Naras dan melarang membuat garam, selalu dipertahankan Tuanku Nan Cadiak
sebagai pelindung pedagang di daerah pantai..
Pada tahun 1814, Raja Dihulu atau Rajo Nando, mamak Tuanku Nan Cadiak,
meninggal dunia. Rajo Nando tidak mempunyai anak laki-laki yang akan
menggantikannya. Tuanku Dihilir di Pariaman, Amar Bangso Dirajo, lebih
senang apabila Bagindo Molek diangkat menjadi Raja manggung, daerah yang
berbatasan dengan Pariaman. Rakyat Naras dan penduduk Agam yang membawa barang melalui Malalak terus
ke Agam dan Pandai Sikek dan Koto Laweh. Ia juga menjadi pelindung
fakih dan malin yang belajar di derah pantai, seperti Ampalu Tinggi dan
Ulakan. Naras semenjak dahulu merupakan jalan niaga dan jalan agama
tradisional dalam pengembangan surau di Minangkabau.. Tuanku Nan Cadiak
adalah orang yang cerdas dan berhasil mengembalikan daerah Manggung
menjadi pusat perdagangan dan pembaruan agama di daerah pantai, sekitar
Pariaman..
Elout, Residen Belanda untuk Sumatra’s Westkust, mengirim surat kepada
Tuanku Nan Cadiak, Tuanku Limo Koto Kampung Dalam dan Tuanku Tujuh Koto,
menganjurkan mereka menyerah kepada Belanda, dengan perantaraan In’t
Veld, seorang saudagar di Pariaman. Dikatakannya, segala ‘kesalahan’yang
dilakukan selama ini, akan dimaafkan. Tuanku Nan Cadiak membalas surat Elout itu yang bunyinya, dengan senang
hati ia membaca surat itu dan minta maaf ia tak bisa datang ke Pariaman,
karena terlalu sibuk mengerjakan benteng. Tuanku Nan Cadiak mengundang In”t Velt dan akan menerima Veld di Naras
sambil melihat-lihat pertahanan kampung yang telah diperkuat parit dan
pertahanan meriam. Surat yang sama yang dikirim kepada Tuanku Limo Koto.
Tuanku Limo Koto menjawab, bahwa ia akan menyerah, bila Tuanku Nan
Cadiak telah menyerah diri.
Jawaban yang keras datang dari Tuanku Tujuh Koto menyatakan tidak akan
datang kepada Anda, tetapi apabila orang Eropah mau datang, akan kami
nanti karena kami merasa puas dengan pemerintah dan pemimpin kami. Sawah
kami subur dan hasilnya mencukupi untuk keperluan kami.
Sejak semula Belanda ingin menguasai komoditi perdagangan dari Minangkabau. Untuk itu, Belanda berusaha menguasai pelabuhan-pelabuhan di pantai barat, seperti Naras, Tiagan dan Air Bangis. Dengan menguasai ketiga pelabuhan itu, Belanda beranggapan akan dapat menguasai komoditi Sumatera Barat yang sangat menguntungkannya. Usaha itu terlihat dari beberapa kegiatan pasukan Belanda untuk menguasai pelabuhan Naras, kunci jalan dagang dari Agam melalui Malalak. Tiagan dan Sasak di utara Tiku, suatu pelabuhan yang dilindungi bukit-bukit sebagai saluran komoditi dari daerah Kinali dan Bonjol. Demikian juga halnya dengan Air Bangis, pintu perdagangan dari Rao dan sekitarnya yang kaya dengan komoditi emas. Pasukan Bonjol bergerak ke pantai untuk memutuskan hubungan antara pedalaman dengan daerah pantai. Dua buah meriam yang direbut di Air Bangis, diserahkan kepada Tuanku Nan Cadiak. Bantuan itu menambah semangat Tuanku Nan Cadiak menentang kekuasaan Belanda.
Pertarungan hebat terjadi antara pasukan Belanda yang menyerang kubu
pertahanan Tuanku Nan Cadiak yang terjadi selama bulan Desember 1830.
Pasukan Bonjol membantu Tuanku Nan Cadiak setelah mengundurkan diri ke
Manggopoh. Pada tahun 1831, pasukan Belanda mencoba menyerang Naras dan Tujuh Koto
di bawah pimpinan Jendral Michiels. Naras, sebuah kampung yang bagus
terbakar oleh serangan meriam Belanda. Tuanku Nan Cadiak dan pengikutnya
ingin mengungsi ke Bonjol melalui Danau Maninjau. Pada waktu pasukan
Belanda mengejarnya rombongan Tuanku Nan Cadiak. Ibu, isteri dan putri
Tuanku Nan Cadiak mati terbunuh. Kepala isterinya dipancung dan
dipertontonkan kepada rakyat di Pariaman. Belanda mengumumkan akan
memberi hadiah kepada orang yang dapat menangkap Tuanku Nan Cadiak. Dua
orang putri Tuanku Nan Cadiak disandra Elout sehingga memaksanya
menyerah kepada Belanda.
Setelah menyerah kepada Belanda, Tuanku Nan Cadiak datang ke Bonjol
sebagai juru bicara Belanda pada tahun 1832. Tuanku Imam sangat kecewa
ketika Tuanku Nan Cadiak datang sebagai juru bicara Belanda.. Beberapa bulan setelah Tuanku Imam Bonjol menyerah pada akhir tahun
1832, Tuanku Imam Bonjol berhasil mengadakan Kesepakatan Tandikek, hanya
beberapa ratus meter dari pasukan Belanda di Bonjol. Pertemuan itu merundingan untuk melakukan serangan serentak kepada
setiap pos Belanda di seluruh Minangkabau. Tuanku Rao, Tuanku Tambusai,
Tuanku Pamansiangan dan penghulu Lawang Tanah Duo Baleh (Palembayan),
negeri Danau (Maninjau), Lubuk Sikaping dan Sipisang sepakat dengan
orang Alahan Panjang melancarkan serangan serentak terhadap setiap pos
Belanda pada tanggal 11 Januari 1833.
Tuanku Imam dapat pula mempertemukan kedua pemimpin, Bagarsyah, raja
Pagaruyung dan Sentot Ali Basyah. Tuanku Imam mengharapkan Sentot
bersedia menjadi Sultan di Minangkabau. Pada saat lebaran Sentot bersama
isterinya datang ke Pagaruyung. Sebagai seorang Islam, dia ingin
berlebaran dan membayarkan zakat fitrahnya di Pagaruyung.
Di saat lewat pada penjagaan pos Belanda di benteng Fot van der
Cappelen. Sentot Prawirodirjo yang dipanggil masyarakat Minangkabau
dengan Sentot Alibasya mwenegur mereka dengan sindiran, Bagagarsyah dan
semua penghulu di Pagaruyung berjanji di bawah sumpah setia (bai’at)
pada Sentot bahwa mereka akan mempertahankan agama dan negeri dari
serangan Belanda. Elout sebagai Residen Sumatra’s West kust melapor kepada atasannya
Gubernur Jendral di Batavia, bahwa Minangkabau telah aman dan siap untuk
melakukan tanaman paksa kopi.
Ternyata seluruh Minangkabau melakukan serangan serentak, sehingga
Elout, Residen Belanda, merasa dikhianati oleh Sentot. Belanda menangkap
para penghulu dan pejuang di Guguk Sigandang. Kemudian Sentot Ali
Basyah dan membuangnya ke Benghulu, Bagagarsyah Yang Dipertuan Kerajaan
Pagaruyung dibuang ke Betawi dan meninggal dunia pada tahun 18… dan
dikuburkan di Mangga Dua.
Tuanku Nan Cadiak dari Naras dikirim ke Batavia kemudian disekap dalam
penjara di bawah tanah di Taman Fatahilah. Kemudian dibuang ke Cerebon
dan meninggal dunia pada tahun 1851.
Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956)
Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), pada
masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek
Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari
Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor
kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo.
Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al
Minangkabawy, karena ibunya adik beradik. Syekh Taher Djalaluddin,
berangkat ke Mekah 1880, dan menuntut ilmu selama 15 tahun, kemudian
meneruskan ke Al Azhar, di Mesir (1895-1898), dan kembali ke Mekah
mengajar sampai tahun 1900. Beliau sangat ahli di bidang ilmu falak, dan tempat berguru Syekh
Muhammad Djamil Djambek. Mulai tahun 1900 itu, Syekh Taher Djalaluddin
menetap di Malaya, pernah diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak. Eratnya
hubungan Syekh Taher Djalaluddin dengan perguruan tinggi Al-Azhar di
Kairo, dia tambahkan al-Azhari di belakang namanya.
Syekh Taher Djalaluddin merupakan seorang tertua sebagai pelopor dari ajaran Ahmad Khatib di Minangkabau dan tanah Melayu. Bahkan ia juga dianggap sebagai guru oleh kalangan pembaru di Minangkabau. Pengaruh Syekh Taher Djalaluddin tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah ini bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, yang menjadi model Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908.
Majalah Bulanan Al-Imam memuat artikel tentang pengetahuan popular,
komentar kejadian penting di dunia, terutama dunia Islam, dan
masalah-masalah agama, bahkan mendorong umat Islam betapa pentingnya
memiliki sebuah Negara yang merdeka dan tidak dijajah. Majalah ini mendorong agar umat Islam mencapai kemajuan dan berkompetisi
dengan dunia barat. Al-Iman sering mengutip pendapat dari Mohammad
Abduh yang dikemukakan majalah Al-Mannar di Mesir. Majalah ini memakai
bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan Jawi, dan
disebarkan di Indonesia meliputi tanah Jawa (Betawi, Jakarta, Cianjur,
Semarang, dan Surabaya), Kalimantan (di Pontianak dan Sambas), Sulawesi
(di Makassar). Di Padang, Haji Abdullah Ahmad mencontoh bentuk dan moto Al-Iman pada
majalah yang diterbitkannya di Padang bernama Al-Munir. Banyak masalah
yang dibicarakan pada Al-Iman mendapat tempat pada Al-Munir.
Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan tahun 1927, namun ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda selama enam bulan, dituduh memfitnah dan menentang penjajahan melalui artikel-artikelnya di dalam majalah Al Iman itu. Setelah bebas Syekh Taher meninggalkan kampung halamannya dan tidak pernah kembali lagi ke daerah asalnya. Syekh Taher Djalaluddin meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar, Perak, Malaya. Gerakan pembaruaan di awal abad ini dapat disebut sebagai gerakan pembaruan para ulama zuama, yang sesungguhnya telah diwarisi sambung bersambung dalam rantai sejarah yang berkelanjutan semenjak dari dua gerakan Paderi sebelumnya. Dapat pula dinyatakan bahwa gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad 20 di Minangkabau menjadi mata rantai dari gerakan Paderi periode ketiga. Gerakan Paderi periode pertama, di awal abad kedelapan belas, dimulai pulangnya tiga serangkai ulama Minang (1802), terdiri dari Haji Miskin di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur Rahman, di Piobang, Luhak Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak nan Tuo, Tanah Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau, berawal dengan penyadaran semangat beragama Islam di dalam kehidupan beradat di Minangkabau.
Gerakan Paderi perode kedua dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan
Renceh, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur,
Tuanku di Ladang Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan
perlawaanan terhadap penjajahan Belanda (1821-1837), dan lahirnya piagam
Marapalam yang menyepakati adaik basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah di ranah Minangkabau. Gerakan Kembali ke Syariat yang dilaksanakan di bawah bimbingan Tuanku
Nan Tuo, yang kemudian berlanjut kepada Gerakan Padri di bawah pimpinan
Tuanku Nan Renceh, yang kemudian sambung bersambung di bawah pimpinan
Tuanku Imam Bonjol, sesungguhnya tidak menentang hukum waris berdasarkan
garis ibu.
Gerakan pembaharuan yang dilaksanakan sejak Tuanku nan Tuo, Tuanku nan
Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol, lebih menguatkan harta pusaka, yang
dimaksud adalah pusaka tinggi itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan
kaum, dan oleh karena itu, harta pusaka dimaksud diturunkan kepada
kemenakan, dan ditempatkan pada pengawasan garis perempuan. Namun
mengenai harta pencaharian, kedua gerakan itu sependapat harus
diwariskan kepada anak.
Tuanku Imam Bonjol, sadar bahwa setelah utusan anak kemenakannya
mempelajari hukum Islam ke tanah Mekah, menyatakan pembagian tugas yang
nyata antara adat dan syarak atau agama. Bahwa masalah adat dikembalikan
kepada Basa dan Penghulu, sedangkan masalah agama diserahkan kepada
Tuanku atau malin.
Inilah doktrin ajaran adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad ke 20 di ranah Minangkabau
ini, berawal dengan kepulangan para penuntut ilmu dari Makkah el
Mukarramah, yang umumnya adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al
Minangkabawiy, telah ikut memberikan sumbangan bagi pencerahan pemahaman
dan pengamalan syari’at Islam, dan mendorong bagi munculnya
perdebatan-perdebatan umum yang diikuti para ulama, kaum terpelajar, dan
ahli-ahli adat, dan ikut pula membukakan kesempatan bagi lahirnya
berbagai jenis perkumpulan yang bertujuan memperdalam ilmu agama dan
adat istiadat, serta mendorong tumbuhnya pendidikan Islam,
madrasah-madrasah samapai ke nagari-nagari, dan berdiri pula berjenis
organisasi pergerakan, seperti Tarbiyah Islamiyah, Adabiyyah,
Muhammadiyah, dan meluas sampai ke semenanjung Malaya, dibawa oleh Syekh
Taher Jalaluddin yang lebih banyak melaksanakan dakwahnya di tanah
semenjanjung itu.
Tak kurang penting timbulnya pergolakan-pergolakan kecil di beberapa
tempat, biasanya membayangkan dinamika masyarakat adat dan agama di
dalam membangun masyarakat di Minangkabau yang sedang mengalami
perubahan, menumbuhkan keinginan baru untuk melakukan proses pemeriksaan
kembali terhadap nilai-nilai kultur yang dipunyai. Ketika arah
pembangunan dan perobahan sosial sedang terjadi, menuju suasana merebut
kemerdekaan dan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,
setelah berakhirnya penindasan panjang 350 tahun dijajah Belanda, dan
beralihnya kekuasaan kepada Dai Nippon, maka merebut kemerdekaan menjadi
wajib. Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan pemikiran
Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, sejak empat puluh tahun
sebelumnya juga telah digerakkan oleh para ulama zuama dengan basis ilmu
pengetahuan agama dan adat istiadat, serta bahasan-bahasan perkembangan
politik di Mesir dan Turki masa itu, ikut mendorong kepada pencarian
model yang sesuai dengan yang haq, dan menuntut sikap beragama yang
rasional, serta menumbuh kembangkan semangat kemerdekaan dalam berbangsa
dan bernegara.
Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan serta
pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar
Islam yang berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Sementara itu usaha-usaha pembaruan yang praktis, baik dalam bentuk
sekolah dan madrasah-madrasah atau pun kerajinan desa, mulai
bermunculan. Kaum pembaru pemikiran Islam berusaha mengembalikan ajaran
dasar agama Islam dengan menghilangkan segala macam tambahan yang datang
kemudian dalam din, agama, dan dengan melepaskan penganut Islam dari
jumud, kebekuan dalam masalah dunia.
Mereka berusaha memecahkan tembok tambahan dan jumud itu, agar dapat
menemu kembali isi dan inti ajaran Islam yang sesungguhnya, yang menurut
keyakinannya menjadi cahaya yang dapat menyinari alam ini.
Kaum pembaru berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, masih tetap terbuka;
mereka menolak taqlid. Ijtihad membawa kaum pembaru untuk lebih
memperhatikan pendapat. Keinginan untuk keluar dari situasi yang
dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan yang ideal menghadapkan
Minangkabau pada pilihan-pilihan yang kadang-kadang saling bertentangan.
Model barat mungkin baik, tetapi dapat berarti ancaman pada dasar-dasar
agama dan adat. Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks,
memang merupakan pemecahan.
Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang telah mendarah daging
dalam kehidupan masyarakat Minangkabau? Dan, apa pula contoh yang bisa
diikuti? Tetapi parameter adat sangat terbatas dan bias menutup jalan ke
dunia maju dan mungkin pula menghadapkan diri pada masalah dosa dan
tidak berdosa, soal batil dan haq.
Syekh Muhammad Djamil Djambek
(1860 – 1947)
Syekh Muhammad Djamil Djambek adalah ulama pelopor pembaruan Islam dari
Sumatra Barat awal abad ke-20, dilahirkan pada tahun 1860 di
Bukittinggi, terkenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh
Muhammad Djamil Djambek lebih dikenal dengan sebutan Inyik Syekh
Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek, dilahirkan dari keluarga
bangsawan. Dia juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh
Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari
Sunda.
Masa kecilnya tidak banyak sumber yang menceritakan. Namun, yang jelas
Muhammad Djamil mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang
khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru (Kweekschool).
Sampai umur 22 tahun ia berada dalam kehidupan parewa,
satu golongan orang muda-muda yang tidak mau mengganggu kehidupan
keluarga, pergaulan luas di antara kaum parewa berlainan kampung dan
saling harga menghargai, walau ketika itu kehidupan parewa masih senang
berjudi, menyabung ayam, namun mereka ahli dalam pencak dan silat. Semenjak berumur 22 tahun, Mohammad Djamil mulai tertarik pada pelajaran
agama dan bahasa Arab. Ia belajar pada surau di Koto Mambang, Pariaman
dan di Batipuh Baruh. Ayahnya membawanya ke Mekah pada tahun 1896 dan bermukim di sana selama 9
tahun lamanya mempelajari soal-soal agama. Guru-gurunya di Mekah,
antara lain,adalah Taher Djalaluddin, Syekh Bafaddhal, Syekh Serawak dan
Syekh Ahmad Khatib. Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib
Minangkabau. Semula Muhammad Djamil tertarik untuk mempelajari ilmu
sihir kepada seorang guru dari Maroko, tapi dia disadarkan oleh gurunya.
Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan.
Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat
serta memasuki suluk di Jabal abu Qubais.
Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Djamil menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Djamil Djambek dihormati sebagai Syekh Tarekat. Dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak, dan belajar dengan Syekh Taher Djalaluddin. Di akhir masa studinya di Makkah, beliau sempat mengajarkan ilmu falak, yang menjadi bidang spesialisasi beliau, kepada masyarakat Sumatera dan Jawi yang bermukim di Mekah. Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Djamil Djambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Sekembalinya dari Mekah,
Mohammad Djamil mulai memberikan pelajaran agama secara tradisional
Karena beliau memelihara dengan rapi dan teratur jambang dan jenggotnya,
maka muridnya mulai menyebutnya dengan Syekh Muhammad Djamil Djambek,
atau Inyik Djambek. Murid-muridnya kebanyakan terdiri dari para kalipah tarekat. Setelah
beberapa lama, Syekh Muhammad Djambek berpikir melakukan kegiatan
alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan
pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia
begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Kemudian ia meninggalkan Bukittinggi dan kembali menjalani kehidupan
parewa di Kamang, sebuah nagari pusat pembaruan Islam di bawah Tuanku
nan Renceh pada abad ke-19. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah
surau, yakni Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang. Keduanya dikenal
sebagai Surau tempat mengaji dengan Inyik Djambek. Di Kamang pula ia mulai menyebarkan pengetahuan agama untuk meningkatkan iman.
Akhirnya, ia sampai pada pemikiran, bahwa sebagian besar anak nagari
tidak melaksanakan ajaran agama dengan sempurna bukan karena kurang
keimanan dan ketaqwaannya, tetapi karena pengetahuan mereka kurang
tentang ajaran Islam itu sendiri. Ia mengecam masyarakat yang masih gandrung pada ajaran tarekat. Ia
mendekati ninik mamak dan membicarakan berbagai masalah masyarakat.
Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam juga berarti kemajuan, agama Islam tidak menghambat usaha mencari
ilmu pengetahuan, perkembangan kehidupan dunia, dan menghormati
kedudukan perempuan. Islam adalah agama universal, yang dasar ajarannya telah diungkapkan
oleh para nabi, yang diutus kepada semua bangsa (QS. 10;47;2: 164;
35:24; 40:78). Tugas mereka diselesaikan oleh Nabi Muhammad saw, rasul
utusan terakhir untuk seluruh umat manusia.
Cita-cita pikiran untuk memajukan umat dengan agama Islam yang demikian,
hanya dapat dicapai melalui pengamalan syariat, yang terbagi kepada
tauhid dan ibadat. Dalam ibadah, semuanya terlarang, kecuali yang
disuruh. Jadi cara-cara beribadah telah diperintahkan. Di
tradisi-tradisi baru yang tidak ada perintahnya, maka tidak dapat
diterima sebagai ibadah, dan disebut bid’ah. Di dalam kegiatan pemurnian agama, kaum pembaru menentang berbagai
bid’ah yang dibedakan atas dua jenis, yaitu bid’ah menurut hukum
(syar’iyah) dan dalam pemakaian bahasa (lughawiyah). Bid’ah syar’iyah tidak dapat dibiarkan berlaku, karena itu perlu
diteliti dalam segala hal, apakah yang lazim dilakukan sehari-hari di
bidang agama, dengan menggunakan akal dan berpegang kepada salah satu
tiang hukum (Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas). Di samping itu ada pula
bid’ah dalam soal kepercayaan (bid’ah pada I’tikad), sebagaimana ada
pula bid’ah pada amalan, seperti mengucapkan niyah.
Di dalam bid’ah lughawiyah dimasukkan, misalnya, mempelajari tatabahasa,
mendirikan sekolah-sekolah agama, pembangunan-pembangunan menara,
karena semuanya dipandang sebagai alat bantu yang disesuaikan dengan
zaman untuk memenuhui perintah nabi, seperti ‘carilah ilmu’.
Islam pada masa kemajuan tidak harus berkembang sejajar dengan
perkembangan inteletual, sebab ada hal yang dilarang dan disuruh, dalam
batas halal dan haram, serta amat ma’ruf dan nahyun ‘anil munkar,
sebagai sifat asli dari agama Islam. Agama juga mengatur hal yang
bersangkutan dengan dunia. Masalah ini ada yang mengandung ciri
‘ubudiyah, dalam arti berdasarkan perintah dan bagian dari din Allah,
sedangkan cara mengamalkannya bersifat duniawi. Umpamanya perintah
memelihara anak yatim, menghormati orang tua, membersihkan gigi, yang
pelaksanaannya sebagian besar terletak pada pilihan individu.
Kemudian sampai pula kepada persoalan yang lebih sensitif- sampai
dimanakah kebebasan yang dimiliki memilih alternatif? Persoalan politik
dan kemudian menyebarkan nasionalisme anti kolonial menuju Indonesia Raya tidak terlepas dari pergolakan intelektual ini. Tidak saja masalah fikh, tetapi juga masalah tauhid harus dihadapi
dengan pikiran yang terbuka. Perbedaan yang fundamental antara inovasi
yang menyalahi hukum hakiki, yang bersumber Quran dan Hadits, dan
pembaruan sebagai akibat dari peralihan zaman, harus dibedakan dengan
tegas. Para pelopor pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau berasal dari
segala bidang profesi, di antaranya kalangan ulama (Haji Rasul),
kalangan pedagang (H. Abdullah Ahmad), dan pada umumnya berhasil melepas
dirinya dari tradisi yang ada, seperti Syekh Djamil Djambek, Haji
Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan Ibrahim Musa Parabek, di masa hidupnya
dipandang sebagai ulama besar, tempat memulangkan segala persoalan agama
dan kemasyarakatan pada umumnya.
Gerakan pembaruan pemikiran di bidang agama yang paling banyak terdengar
di Sumatra Barat. Adakalanya mereka dinamakan kaum modernist atau
disebut juga kaum muda.
Salah seorang di antara kaum pembaru itu adalah H.Abdullah Ahmad
berkali-kali berkata, bahwa di setiap bidang boleh mempergunakan akal,
yang sebenarnya adalah kurnia Tuhan, kecuali bidang agama. Jika kepercayaan tetap merupakan penerimaan saja atas wibawa guru- atau taqlid, maka kepercayaan itu tidak ada gunanya. Orang berakal harus pujaannya Allah dan untuk itu dipelajarinya
akar-akar hukum (ushul al-fiqh). Untuk mengenalkan semua inti ajaran
agama Islam ini kepada masyarakat luas diperlukan gerakan penyampaian
berbentuk tabligh. Inyik Djambek memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada
masyarakat, dan mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji dengan
cara bertabligh, di Surau Tangah Sawah Bukittinggi, dan menjadi Surau
Inyik Djambek, sampai sekarang.
Syekh Muhammad Djamil Djambek berkesimpulan bahwa ajaran agama Islam itu
sebaiknya disampaikan melalui tabligh dan ceramah-ceramah (wirid-wirid) yang dihadiri oleh masyarakat banyak. Perhatiannya ditujukan untuk meningkatkan iman seseorang. Ia mendapat
simpati dari tokoh-tokoh ninik mamak dan kalangan guru Kweekschool.
Bahkan ia mengadakan dialog dengan orang non Islam dan orang Cina. Sifatnya yang populer ialah ia bersahabat dengan orang yang tidak
menyetujui fahamnya, sehingga pada tahun 1908 ia mendirikan pusat
kegiatan keagamaan untuk mempelajari agama yang dikenal dengan nama
Surau inyiak Djambek di Tengah Sawah, Bukttinggi. Suraunya merupakan tempat pertemuan bagi organisasi-organisasi Islam. Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di
Sumatra Barat. Mengutip Ensiklopedi Islam, Syekh Muhammad Djambek juga
dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di
muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya
dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW,
digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad
dalam bahasa Melayu. Demikian pula kebiasaan membaca riwayat Isra Mi’raj
Nabi Muhammad dari kitab berbahasa Arab, digantinya dengan tablig yang
menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti
oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab,
digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari, dalam satu
tradisi ilmu.
Semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah, yang kemudian diikuti oleh para pembaru lainnya di ranah Minangkabau. Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah, dan Syekh Muhammad Djambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia “berhadapan” dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat. Syekh Mohammad Djamil Djambek kemudian menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syekh Muhammad Djambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.
Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat
dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan
tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat
istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Djambek mendirikan
organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk
memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat. Djamil Djambek tidak banyak menulis dalam majalah Al-Munir. Djamil
Djambek mempunyai pengetahuan tentang ilmu falak, yang memungkinkannya
menyusun jadwal waktu sembahyang serta untuk keperluan berpuasa di dalam
bulan Ramadhan. Jadwal ini diterbitkan tiap tahun atas namanya mulai
tahun 1911, dan karena Inyik Djambek dikenal sebagai Bapak Ilmu Falak,
beliau menerbitkan Natijah Durriyyah untuk masa 100 tahun. Walaupun
masalah ini sangat dipertikaikan dengan kaum tradisionalis.
Di samping kegiatan Inyik Djambek mengajar dan menulis, beliaupun aktif dalam kegiatan organisasi masyarakat. Pada tahun 1913, ia mendirikan organisasi bersifat sosial di Bukittinggi yang bernama Tsamaratul Ichwan yang menerbitkan buku-buku kecil dan brosur tentang pelajaran agama tanpa mencari keuntungan. Beberapa tahun ia bergerak di dalam organisasi ini sampai menjadi perusahaan yang bersifat komersial. Ketika itu, ia tidak turut lagi dalam perusahaan itu. Syekh Djamil Djambek secara formal tidak mengikat dirinya pada suatu organisasi tertentu, seperti Muhammadiyah dan Thawalib. Tetapi ia memberikan dorongan pada pembaruan pemikiran Islam dengan membantu organisasi-organisi tersebut. Beliau tercatat sebagai pendiri dari Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), yang didirikan pada 1919 di Padang, Sumbar.
Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar
dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri
kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun
1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa
pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Djambek mendirikan Majelis Islam
Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi. Pada 30 Desember 1947 (18 Shafar 1366 H), Inyik Djambek wafat,
meninggalkan pusaka besar, wirid tsulasa (setiap hari Selasa), yang
tetap hidup sampai sekarang. Beliau di makamkan di samping Surau Inyik Djambek di Tengah Sawah Bukittinggi, dalam usia 87 tahun. Beberapa bulan setelah itu, 26 Januari 1948 (14 Rabi’ul awal 1366 H),
teman akrab Inyik Djambek dalam berdakwah, yakni Inyik Syekh Daud
Rasyidy (terkenal dengan sebutan Inyik Daud, ayah Buya Datuk Palimo
Kayo), meninggal dunia pula di Surau Inyik Djambek di Tangah Sawah ini,
ketika mengimami shalat maghrib, dan besoknya dikuburkan di samping
makamnya Inyik Djambek. Itulah sebabnya sampai sekarang ini, kita dapati
makam kembar di samping surau Inyik Djambek ini.
SURAU INYIK DJAMBEK WARISAN GERAKAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM MATA RANTAI GERAKAN PADERI DI MINANGKABAU
Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang penuh pergolakan sosial dan intelektual. Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu mulai banyak diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan dalam adat sesuI panduan syarak, agama Islam sangat ramai dibicarakan. Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855). Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim golongan Padri yang “benar-benar” anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai.
Limbak Urai adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras,
Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah,
Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib
Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari
Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi. Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak
terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama
dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari
Ampek Koto dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad
Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena
sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga
tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih
Saghir dan Tuanku nan Tuo.
Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya. Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir.
Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di
Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat
Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus
menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at
Islam ditentangnya. Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy ini,
kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui
tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan
surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti
madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke
nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan
merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih
mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka.
Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada
kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta
rampasan. Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan
pemikiran Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti
terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang
adakalanya disebut kaum tua. Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin
Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang jang menerbitkan
beberapa tulisan tentang itu. Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang
Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris
matrilineal dengan hukum agama.
Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian
Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran
itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak
menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah
melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran
untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk
meninggalkan keterbelakangan. Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari
Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam,
dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya
Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke
Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di
daerah asalnya masing-masing.
Ulama zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran,
manakala Islam bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi
suatu pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia,
melahirkan pembaruan pemikiran agama yang bertujuan memperbaiki pola
penghidupan umatnya. Cita-cita itu ditemukan kembali dalam agama. Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan,
bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara
berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam.
Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut
kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan
rasionalisme.
Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada
muridnya, selalu menghindari sikap taqlid. Salah seorang dari muridnya,
yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah seorang di antara
para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri
Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan
Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama
Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya
melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para
muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah.
Jika kepercayaan hanya tumbuh semata-mata karena penerimaan atas wibawa guru semata, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu. Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947) , Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945) , dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933) .
Haji Abdul Karim Amarullah .
Haji Abdul Karim Amarullah lebih dikenal dengan nama Haji Rasul. Haji
Rasul dilahirkan di Sungai Batang Maninjau pada tahun 1879, anak seorang
ulama bernama Syekh Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Ia mendapat
pendidikan pada beberapa tempat di Minangkabau. Pada tahun 1894, ia
pergi ke Mekah untuk belajar selama 7 tahun. Sekembalinya dari Mekah, ia
diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo, sebagai pengakuan atas ilmunya.
Kemudian ia kembali ke Mekah untuk beberapa tahun sampai tahun 1906.
Selama bermukim kedua di Mekah ini, ia mulai memberi pelajaran.
Murid-muridnya termasuk Ibrahim Musa dari Parabek, Bukittinggi yang
kemudian menjadi salah seorang pendukung yang terpenting dari pembaruan
pemikiran Islam, di Minangkabau. Ia meninggal di jakarta pada 2 Juni
1945
Haji Rasul mulai mengajar di kampungnya, Sugai Batang Maninjau, kemudian
mengunjungi Padang Panjang, Matur dan Padang. Tablighnya bersifat
keras, yang ditandai dengan serangan terhadap perbuatan yang tidak
disetujuinya sampai soal-soal kecil sekali pun, seperti ia mengecam baju
kebaya dan terbukanya rambut seorang perempuan di hadapan bukan
muhrimnya. Ketika ayahnya meninggal pada tahun 1907, ia melarang
diadakan kenduri yang menyebabkan kekecewaan pada anggota keluarganya.
Sikapnya bermusuhan terhadap adat dan kepada ninik mamak yang
membedakannya dari sahabatnya kaum pembaru lainnya seperti Syekh Djamil
Djambek dan Haji Abdullah Ahmad yang ibu mereka berasal dari luar
Minangakabau. Haji Rasul mengadakan perjalanan ke luar daerah Minangkabau. Pada tahun
1915, ia bepergian ke Malaya dan ke Jawa. Di Malaya, Haji Rasul tidak
disenangi oleh Sultan-Sultan serta guru agama di Malaya, karena
keterikatan guru-guru agama dengan kebiasaan-kebiasaan tradisional. Di
Jawa, ia berhubungan dengan pemimpin-pemimpin Sarekat Islam dan
Muhamma-diyah.
Haji Rasul sangat aktif dalam gerakan pembaruan pemikiran Islam di
Minangkabau. Dialah yang memperkenalkan Muhammadiyah di Minangkabau pada
tahun 1925. Suraunya di Padang Panjang tumbuh menjadi Sumatra Thawalib
yang kemudian melahirkan Persatuan Muslimin Indonesia, suatu partai
politik pada permulaaan tahun 1930. Ia menjadi penasehat Persatuan Guru
Agama Islam (PGAI) pada tahun 1920, dan memberikan bantuan mendirikan
Sekolah Normal Islam di Padang pada tahun 1931. Ia menentang ajaran komunis dengan sangat gigih pada tahun 1920-an dan
menyerang ‘’Ordonansi Guru” pada tahun 1928 serta ‘’Ordonansi Sekolah
Liar ‘ tahun 1932. Dari tahun 1929 sampai tahun 1939, ia sering bepergian ke seluruh daerah
di Sumatra untuk menyampaikan buah pikiran dan ajaran-ajarannya. Pada
tahun 1941, ia ditahan Pemerintah Belanda dan dibuang ke Sukabumi dengan
alasan bahwa kewibawaan dan kekuasaan pemerintah serta peraturan adat
tidak berfunghsi selama ia bertempat tinggal di daerahnya. Haji Rasul
meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 2 Juni 1945.
Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933)
Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878 sebagai anak
dari Haji Ahmad yang dikenal sebagai ulama dan juga seorang pedagang
kecil. Ibunya berasal dari Bengkulu. Setelah menyelesaikan pendidikan
dasarnya pada sebuah sekolah pemerintah, dan mendapat pendidikan agama
di rumah dengan ayahnya. Pada tahun 1895, Abdullah Ahmad pergi ke Mekah
dan kembali ke Indonesia pada tahun 1899. Sekembalinya dari Mekah, ia segera mengajar di kota Padang Panjang.
Tindakannya yang pertama dilakukannya adalah memberantas bid’ah dan
tarekat. Ia tertarik pula untuk menyebarkan pemikiran pembaruan melalui
publikasi dengan jalan menjadi agen dari berbagai majalah pembaruan,
seperti Al-Imam di Singapuran dan Al-Ittihad dari Cairo.
Pada tahun 1906 Haji Abdullah Ahmad pindah ke Padang untuk menggantikan
pamannya yang meninggal dunia sebagai guru. Dio Padang, ia mengadakan
tabligh-tabligh dan pertemuan-pertemuan tentang masalah agama dan
mendirikan Jamaah Adabiyah beberapa tahun kemudian. Pada mulanya jamaah
ini hanaya delapan orang yang menghadiri cermahnya. Di samping itu ia
memberikan ceramah-ceraman pada orang dewasa. Pengajiannya dilakukan dua
kali seminggu secara bergantian dari rumah ke rumah. Kenyataannya tidak semua anak-anak pedagang di Padang mendapat
pendidikan yang sistematis. Hal ini menyebabkan Haji Abdullah Ahmad
membuka Sekolah Adabiyah pada tahun 1909, dengan bantuan para pedagang
ini setelah ia mengunjungi sekolah Iqbal di Singapura. Haji Abdullah Ahmad sangat aktif menulis, malahan ia menjadi ketua
persatuan wartawan di Padang pada tahun 1914. Ia mempunyai hubungan yang
erat dengan pelajar-pelajar sekolah menengah di Padang dan Sekolah
Dokter di Jakarta dan memberikan bantuan dalam kegiatan Jong Sumatranen
Bond. Ia menjadi pendiri majalah Al-Munir yang terbit di Padang tahunn
1911 sampai tahun 1916, majalah berita Al-Akhbar tahun 1913, dan menjadi
redaktur dalam bidang agama dari majalah Al-Islam tahun 1916 yang
diterbitkan Sarekat Islam di Surabaya. Majalah A l-Islam yang dicetak
dengan tulisan Arab Melayu (Jawi). Pananggungjawab Al-Islam adalah Oemar
Said Cokroaminoto.
Pengetahuannya tentang agama sangat mendalam, yang diakui ulama-ulama Timur Tengah pada suatu konperensi khilafat di Kairo pada tahun 1926. Pengakuan itu dibuktikan dengan pemberian gelar kehormatan dalam bidang agama sebagai doktor fid- din. Haji Abdullah Ahmad meninggal dunia di Padang pada tahun 1933.
Syekh Ibrahim Musa (1882 – 19.. )
Dua orang di antara murid bekas ulama-ulama tersebut kemudian menjadi
pelopor pembaruan pemikiran Islam pula. Di antaranya Syekh Ibrahim Musa
dan Zainuddin Labai al-Yunusi. Mereka menyebarkan peranannya dalam
mendirikan lembaga pendidikan Islam yang bersifat modern. Setelah belajar pada beberapa perguruan, pada umur 18 tahun ia berangkat
ke Mekah dan belajar di negeri itu selama 8 tahun. Ia kembali ke
Minangkabau pada tahun 1909 dan mulai mengajar pada tahun 1912. kemudian
ia berangkat lagi ke Mekah pada tahun berikutnya dan kembali pada tahun
1915. Saat itu ia telah mendapat gelar Syekh Ibrahim Musa atau Inyiak
Parabek sebagai pengakuan tentang agama. Syekh Ibrahim Musa tetap diterima oleh golongan tradisi, walaupun ia
membantu gerakan pembaruan. Ia menjadi anggota dua organisasi Kaum Muda
dan kaum Tua, yaitu Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) dan Ittihadul
Ulama. Zainuddin Labai al-Yunusi (1890- 1934). Zainuddin Labai adalah seorang auto-didact, yang mempelajari ilmu dan
agama dengan tenaga sendiri. Ia tidak pernah menamatkan pelajaran pada
sekolah formal. Pengetahuannya banyak diperolehnya dengan membaca
sendiri dan kemampuannya dalam bahasa-bahasa Ingegeri, Belanda dan Arab
sangat membantunya. Koleksi bukunya meliputi buku-buku bermacam bidang
seperti aljabar, ilmu bumi, kimia dan agama.
Enam tahun lamanya ia membantu Syekh Haji Abbas, seorang ulama di Padang
Japang, Payakumbuh dalam bidang kegiatan praktis. Dalam tahun 1913,
Zainuddin memilih Padang Panjang sebagai tempat tinggalnya. Ia memulai
mengajar di Surau Jembatan Besi, bersama Rasul dan Haji Abdullah Ahmad.
Zainuddin Labai banyak menulis artikel dalam majalah Al-Munir. Ia lebih
tertarik pada kehidupan dan kegiatan tokoh kebangsaan seperti Mustafa
Kamil, pendiri partai Hizb al Wathan di Mesir, Muhammad Abduh dan Rashid
Redha yang lebih banyak memperhatikan sal-soal agama. Zainuddin Labai
termasuk seorang yang mula-mula mempergunakan sistem kelas dengan
kurikulum teratur yang mencakup pengetahun umum seperti bahasa,
matematika, sejarah, ilmu bumi di samping pelajaran agama. Ia pun
mengorganisir sebuah klub musik untuk murid-muridnya, yang pada saat itu
kurang diminati oleh kalangan kaum agama. Ia seorang yang produktif
dalam menulis buku teks tentang fikh dan tatabahasa Arab untuk
sekolahnya. Terjemahan Autobiografi Mustafa Kamil diterbitkannya dalam
bentuk serial artikel pada majalah Al-Munir di Padang Panjang. Zainuddin
Labai adalah seorang termuda di antara tokoh pembaru pemikiran Islam di
Minangkabau dan mempunyai harapan besar untuk perkembangan selanjutnya.
Ia termasuk seorang anggota pengurus Thawalib dan mendirikan pula
perkumpulan Diniyah pada tahun 1922 dengan tujuan bersama-sama membina
kemajuan sekolah itu.
Rupanya Allah cepat memanggilnya,. Ia meninggal pada tahun 1934 dan
kegiatannya dilanjutkan oleh adiknya yang bernama Rahmah al Yunusiyah,
sebagai salah seorang pendidik kaum wanita di Minangkabau. Lembaga dan organisasi kaum pembaru Tanggal 19 Agustus 1928, dihadiri lebih kurang 800 orang ulama dan wakil
115 organisasi. Rapat ini terjadi karena mereka risau benar-benar,
bahwa kemerdekaan beragama yang telah tertanam dalam hati nuraninya akan
terganggu oleh peraturan Pemerintah Belanda. Aapalagi mereka berhadapan
dengan wakil pemerintah yang mempunyai jabatan tinggi.
Pada umumnya para pembicara mengemukakan pendapat disertai kata-kata
kasar terhadap maksud pemerintah Belanda untuk memberlakukan peraturan
di daerah mereka .
Syekh Adam BB (1889 1953)
Pandeka yang Jadi Ulama
Syekh Adam BB, atas izin Allah, menghirup udara dunia 1889 di Nagari
Balai balai Padangpanjang. Tanggal dan bulan kelahirannya persis sama
dengan kelahiran Wihelmina, ratu Negeri Belanda yang tiap ulang tahunnya
dirayakan dengan pesta rakyat di tanah jaja¬han Hindia Belanda. Selesai sekolah desa, Adam masuk Gouvernement dan lulus dengan angka
angka tinggi. Bagi Adam muda, itu saja cukuplah. Anak ke¬luarga
terpandang ini kemudian memilih mendalami silat. Dasar dasar ilmu bela
diri tradisional itu memang sangat diminatinya sejak kecil ketika di
surau, di mana dulu ia tidur, belajar membaca al Quran dan ilmu agama.
Adam sebenarnya memperoleh kesempatan pendidikan lebih tinggi daripada
kebanyakan bumiputera. Karena dialah putra Sami’un Datuk Bagindo,
penghulu pucuk yang disegani dan pemutus kata pada tiap perundingan
ninik mamak. Tapi Adam menampik masuk Sekolah Raja Bukittinggi. Tidak
jelas benar alasannya. Yang terucap pada ayahnya hanyalah: “Saya takkan
masuk Sekolah Raja, saya tak suka pakai pentalon.”
Sepanjang sepuluh tahun masa belianya, hingga usia menjelang 25 tahun,
Adam berguru pada puluhan pandeka kenamaan dari berbagai aliran dan
sasaran silat. Itulah pilihan jiwa muda dan jati dirinya. Dan puncaknya,
Adam mematahkan perlawanan harimau dalam suatu perkelahian mencekam di
tepi bukit kawasan Agam. Sejak itu tampillah Adam yang bertubuh tinggi kekar sebagai parewa
gadang. Tempramennnya tinggi. Wataknya keras dan pantang kelangkahan.
Pemuda yang sehari hari berbaju gunting cina “cap kelapa” serta sarung
melilit bahu ini mencuat sebagai rajo cakak. Kegemarannya main sepakbola
dan musik.
Mandor Orang Rantai Setelah merasa dewasa, ia pergi mencari untung ke Sawahlunto. Di sana ia langsung diterima bekerja di Tambang Batubara sebagai mandor “orang rantai” sebutan untuk buruh tambang yang ditang¬kap kembali setelah melarikan diri. Beberapa bulan bekerja di tambang, Adam pulang membawa segepok uang untuk diserahkan pada ibunda tercinta. “Bukan ini yang kuharapkan darimu!,” sergah sang ibu sambil mencampakkan uang pemberian anaknya. Inilah anti klimaks keparewaan seorang Adam. Sebuah kenyataan yang memaksanya mengartikan kembali perjalanan hidupnya. Bahwa menjadi orang bagak dan bapitih bukanlah segalanya; tidak suatu kebanggaan bagi ibu, orangtua dan masyarakat pribumi yang menger¬ti pahitnya hidup dijajah.
Kesadaran ini mencuat kembali dalam diri Adam. Masa kecil di surau;
mengaji dan belajar silat agar menjadi orang pandai dan berilmu adalah
untuk melawan kemungkaran, membela kebenaran, orang lemah dan tertindas.
Ini merupakan kesadaran kolektif masyarakat di mana Adam hidup dan
dibesarkan. Kesadaran itulah yang membuat hardikan ibunya menjadi cambuk
yang menyebabkan Adam luluh. Kembali ke Surau Tapi perasaannya tak menentu. Ia pergi meninggalkan Padangpan¬jang.
Semula ia tetap bermaksud ke Sawahlunto untuk bekerja lagi. Hatinya
berontak, tapi hardikan ibunya terngiang ngiang mengirin¬gi langkah
gontainya menyusuri danau Singkarak. Penat berjalan, Adam terduduk di
surau kecil tepi danau di kam¬pung Sumpur. Di surau itu seorang anak
surau sedang membaca kitab. “Kenapa tulisan Arab tak berbaris itu bisa
kau baca?, Adam ber¬tanya. “Itulah gunanya mengaji,” jawab anak itu
lugas.
Adam tercenung. Lalu berlari, kembali ke Padangpanjang. Ia ingin mengaji
lagi, di Surau Jembatan Besi, surau yang merupakan basis ulama
Minangkabau awal abad ke 20. Adam diterima menjadi murid Syekh Abdul
Karim Amrullah. Murid tertua dan bertubuh paling gedang ini sering jadi bahan cemooh
teman temannya. Inyiak Rasul, panggilan populer Syekh Abdul Karim
Amrullah, juga tak kasih ampun. Bila Adam tak cepat menangkap kaji ia
didamprat: “Segaek ini lambat juga mengerti….” Adam terlecut. ‘Jangan
panggil aku Adam kalau tak dapat kaji,’ tekadnya. Dan memang, lepas
mengaji di Surau Jemba¬tan Besi, Adam berguru pada Inyiak Daud. Syekh
Daud Rasjidi baru saja pulang dari Mekah dan membuka surau di
kampungnya, Balingka. Tapi tabiat parewa Adam masih sering terlongsong walau telah mengaji dan
tinggal di Balingka. Salah salah banyak orang kena kakinya. Menghadapi
perangai muridnya, Inyiak Daud yang juga pandeka tahu persis. Di depan
orang banyak guru yang arif itu justru membela Adam walaupun bersalah.
Beberapa kali peristiwa pembelaan serupa itu membuat Adam malu dan ragu.
Akhirnya ia menghadap gurunya. Ia akui bahwa dialah yang menyebabkan
cakak. Pakk! Inyiak Daud menampar muridnya. “Tahu bersalah kok tak mengaku sejak awal,” katanya berang. Pendekatan yang diambil Inyiak Daud dalam mendidik muridnya menimbulkan
hubungan guru murid yang akrab, dan kecintaan murid yang dalam terhadap
gurun¬ya.
Surau Pasar Baru
Tahun 1914 Adam diantar Inyiak Daud kembali ke Padangpanjang untuk
belajar ke Surau Inyiak Jaho, karena musibah galodo mempor¬ak porandakan
surau Balingka hingga semua murid pulang ke kampung masing masing.
Adamlah yang tetap setia menemani gurunya.
Tidak sampai setahun belajar pada Syekh Muhammad Jamil Jaho, Adam mulai
merasa cukup mantap untuk membuka surau sendiri. Tahun 1916 Adam mulai
merintis sebuah halaqah sederhana di Kampung Pasar Baru Padangpanjang.
Di bawah pengawasan Syekh Daud Rasjidi, 1920 halaqah itu kemudian
diresmikan menjadi sebuah surau, populer disebut SPB singkatan: Surau
Pasar Baru. SPB tidak lain dari obsesi keulamaan dan dan kependekaran
Adam. Orientasi Pendidi¬kannya ditekankan pada penanaman aqidah yang
didukung dengan ilmu ilmu agama, pembinaan fisik dan mental melalui
latihan silat, dilengkapi pula dengan pelajaran kesenian dan
ketrampilan. Lulusan ideal surau yang diinginkan Syekh Adam BB ialah
kombinasi ulama, pandeka dan jiwa seni yang mandiri dan terampil,
seperti¬tergambar pada profil dirinya.
Tahun 1929 setelah masuknya sistem pendidikan moderen, SPB dikembangkan
menjadi sistem klasikal, yang kemudian dinamakan Madrasah Irsyadin Naas
(MIN). MIN, yang hingga kini tetap eksis, pada paruh awal abad ke 20
merupakan satu dari empat madrasah terkemuka di Padangpanjang.
Berdampingan dengan perguruan Diniyah Puteri, Thawalib dan perguruan
Muhammadiyah.
Dakwah Ulama yang Pandeka
Semangat anti penjajah yang tertanam kuat dalam diri Syekh Adam BB
mempengaruhi perjalanan madrasah yang dipimpinnya. Ketika pemberlakuan
Wilde Scholen Ordonantie oleh Kolonial, guru MIN diintimidasi dan
sebagian ditangkap. Sewaktu Jepang masuk, Syekh Adam BB langsung masuk
daftar hitam. Beliau dikejar kejar tentara Jepang, hingga beliau
terpaksa tinggal di sebuah bukit kawasan Agam. Ketika Agresi Belanda,
Syekh Adam BB menjadikan gedung MIN sebagai dapur umum dan markas
perlawanan. Di sana diatur taktik untuk menghancurkan konvoi musuh.
Cara yang ditempuh Syekh Adam BB mengajak orang ke jalan Islam
menggambarkan sifatnya yang konsisten, keras tapi lugas dan sederhana.
Suatu kali beliau menegur seorang pemuda bagak. “Kenapa tidak shalat?,”
tanyanya tajam.
“Tidak punya kain sarung, Mak Adam,” jawab sang pemuda. “Ini sarung, shalatlah!,” tukas Syekh Adam BB sembari menyerahkan sarung yang melilit bahunya. Suatu kali beliau diberitahu Bung Hatta, proklamator RI, bahwa banyak
anak anak dhuafa di Mentawai yang dipengaruhi Missionaris. Syekh Adam BB
langsung berangkat ke kepulauan masyarakat terbela¬kang itu, mengambil
dan membawa 18 orang anak ke Padangpanjang untuk dijadikan anak asuh.
Mereka bergabung dengan anak anak yatim dan miskin yang telah beliau
tampung sebelumnya. “Anak anak itu diberi makan oleh Allah,” tukas Syekh
Adam BB, setiap kali orang bertanya bagaimana ia memelihara anak anak
itu. Syekh Adam BB memperlakukan anak anak asuhnya sebagaimana anak
kandung sendiri. Sama makan, tempat tinggal, jatah pakaian dan keperluan
lainnya.
Pada kali lain, merebak perjudian di Padangpanjang. Syekh Adam BB minta
bertemu gubernur. “Tuan seorang gubernur, kenapa orang berjudi saja Tuan
tak bisa melarang?!” tanyanya. Besoknya segala bentuk perjudian di
Padangpanjang digrebek atas perintah guber¬nur. Pribadi yang Mandiri Sebagai seorang ototidak, di samping terus menambah wawasan pengetahuan,
Syek Adam BB rajin mempelajari dan memratekkan macam macam kerajinan
industri kecil. Itu adalah di antara cara hidup mandiri yang telah
mempribadi pada dirinya. Malah sampai usia lanjut, beliau tetap
produktif; berusaha tidak meminta pada orang lain untuk menghidupi diri,
anak dan istri, serta anak anak asuh yang ditampungnya, bahkan untuk
mengayuh jalannnya madrasah. Sampai akhir hayatnya, keberadaan Syek Adam BB begitu berarti bagi
masyarakat Padangpanjang khususnya, dan Minangkabau umumnya. Jiwa
pendekarnya selaku ulama ternyata sangat diperlukan dalam masyarakat
zamannya. Pada zaman penjajahan dan awal kemerdekaan, di mana banyak
orang melarat sebanyak orang menindas, sebanyak perjuangan menegakkan
kebenaran sebanyak itu pula kemungkaran. Jejak jejak Syekh Adam BB hingga kini masih membekas jelas di Padangpanjang.
HMD DT.PALIMO KAYO (1905 – 1985)
Buya Datuk, Profil Tokoh Ulama dan Adat
Dalam kesejukan pagi, pada tanggal 17 Shafar 1321 H, bertepatan dengan
tanggal 10 Maret 1905 di Pahambatan, Balingka, Kecamatan IV Koto
(Kabupaten Agam) lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama
Mansur. Orang tua berbahagia yang menyambut kelahir¬an putranya kala itu
adalah Syekh Daud Rasyidi dan Siti Rajab. Sebagai kepala keluarga,
Syekh Daud Rasyidi sudah mengarahkan anaknya supaya taat beragama.
Selain itu Syekh senantiasa beru¬paya agar semua anak anaknya antara
lain; Anah, Mansur, Miramah, Sa’diah, Makmur dan Afifah agar giat
belajar.
Salah seorang putranya yaitu: Mansur Daud kemudian tumbuh dalam kerangka
kemungkinan yang diberikan oleh latar belakang budaya serta lingkungan
keluarga di sekitarnya.
Cikal Bakal Seorang Pemimpin Muslim
Pembentuk pribadi muslim yang pengaruhnya langsung terhadap Mansur Daud
sudah diberikan oleh ayahnya, yang pekerjaannya memang memberikan
pengajian dan ceramah ceramah agama. Besarnya perhatian dalam keluarga
terhadap pendidikan ini memacu semangat Mansur Daud untuk terus menekuni
Islam. Walaupun waktunya juga dibagi untuk kegiatan keseharian yang lainnya,
tetapi, cikal bakal dirinya sebagai seorang pemimpin Muslim sudah mulai
terlihat.
Usia tujuh tahun memasuki sekolah Desa di Balingka pada tahun 1912.
Pendidikan ini hanya diikuti selama satu tahun. Selanjutn¬ya, beliau
pindah ke Lubuk Sikaping dan melanjutkan ke Gouvern¬ment School sampai
tahun 1915.
Mansur Daud meninggalkan Lubuk Sikaping, kemudian mempelajari agama
Islam secara khusus di perguruan Sumatera Thawalib pada tahun 1917.
Beliau langsung mendapat pendidikan dari ulama besar Haji Abdul Karim
Amrullah (HAKA), sementara tetap mempelajari mata pelajaran agama pada
Perguruan Islam Madrasah Diniyah di bawah asuhan Zainuddin Labay El
Yunusi. Hampir seluruh waktunya diisi dengan mempelajari pendidikan
agama Islam.
Ke Mekah dan Mengembara Semasa Muda Usia Mansur Daud masih begitu muda ketika naik haji pada tahun 1923.
Dalam usia yang belum cukup dua puluh tahun, beliau sudah menginjak kota
suci Mekah serta langsung belajar agama Islam dengan Syekh Abdul Kadir
Al Mandily. Salah seorang Imam Masjidil Haram itulah yang mendidik
Mansur Daud selama lebih kurang satu tahun. Tetapi, lantaran adanya
perang saudara di Mekah kala itu, Mansur Daud terpaksa kembali pulang ke
Indonesia.
Kepulangan itu mengantarkannya kembali menuntut ilmu di perguruan Islam Sumatera Thawalib, Parabek Bukittinggi.
Selama tahun 1924, Mansur Daud mendalami agama di perguruan Islam yang
diasuh oleh Ibrahim Musa Parabek. Suasana politik yang tak menentu,
yakni menyebarnya pengaruh komunis ke dalam perguruan Sumatera Thawalib,
membuat Mansur Daud memutuskan untuk menghin¬darinya.
Tahun 1925, Mansur Daud berangkat ke mancanegara, menuju India. Langkah
ini ditempuhnya guna menghindari pengaruh komunis kala itu. Di Negeri
itu Mansur Daud kembali pada dunia yang dihadapin¬ya selama ini. Beliau
belajar agama di Perguruan Islam Tinggi (Jamiah Islamiyah), Locknow,
India. Abdul Kalam Azad sebagai Pemimpin perguruan tersebut langsung
jadi pengasuh sekaligus pengajarnya.
Selanjutnya, H. Mansur Daud melanjutkan belajar agama pada Isla¬mic
College di Heydrabad, India. Dua bersaudara yang memimpin perguruan itu;
Maulana Syaukat Ali dan Maulana Muhammad Ali cukup dikenal, sehingga
mereka dijuluki Two Brother oleh masyara¬kat. Serupa namanya, perguruan
tinggi agama Islam yang mereka pimpin juga cukup dikenal oleh
masyarakat, terbukti banyak murid yang datang dari luar India. H. Mansur
Daud adalah salah seorang diantaranya. Selama lebih kurang 5 (lima) tahun, H. Mansur Daud mengembara, menuntut
ilmu di India. Pengembaraanya buat sementara ke mancane¬gara usai.
Beliau pulang dan sempat singgah di Malaysia. Beliau langsung ke pulau
Jawa. Periode Aktifitas Organisasi Setiba di Jawa Haji Mansur Daud bertemu dengan sejumlah tokoh pimpinan
organisasi dan politik antara lain: H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim,
K.H. Ahmad Dahlan, dan K.H. Fakhruddin. Sejak bergabung dengan beberapa
tokoh itu, beliau terpacu untuk berki¬prah dalam organisasi.
Aktifitas organisasi yang telah dimulainya sekembali dari India sejak
tahun 1930 diwujudkan dalam suatu kongres di Sumatera Thawalib,
Bukittinggi.
Kongres di Sumatera Thawalib itu mewujudkan Persatuan Muslim Indonesia
(PMI). Peranan H. Mansur Daud dapat dikatakan penting. Terbukti dari
Jabatan Sekretaris umum yang dipegangnya pada PMI sejak didirikan tahun
1930. H. Mansur Daud kemudian berperan dalam membentuk partai politik
Indonesia yaitu Persatuan Muslim Indonesia (PERMI).
Periode penjajahan Jepang memperlihatkan kemajuan aktifitas H. Mansur
Daud. Salah satu upayanya adalah membentuk badan koordi¬nasi alim ulama
Minangkabau. Badan itu, Majlis Islam Tinggi (MIT), diketuai pertama kali
oleh Sykeh Sulaiman Ar Rasuli, yang lebih dikenal dengan Inyiak
Canduang.
Penjajahan Jepang membuat rakyat begitu menderita. MIT seolah menjadi tempat mengadu bagi rakyat.
Jepang yang berupaya menghapus organisasi seperti Muhammadiyah dan
Persatuan Tarbiyah Islamiyah, seolah luput mewaspadai Majlis Tinggi
Islam. Tokoh ulama yang duduk dalam MIT sangat berpengar¬uh dalam sepak
terjang pejuang ketika berhadapan dengan pihak Jepang kala itu. Kiprah dalam Agama dan Adat Sejalan dengan kekalahan tentara Jepang, dan keberhasilan Bangsa
Indonesia merebut kemerdekaan membuat segenap warga ingin
menda¬rmabaktikan perjuangannya. H.Mansur Daud menggiatkan kiprahnya di
bidang agama lewat dakwah dan ceramah di mesjid mesjid. Muncul sebagai
mubalig dan seorang tokoh Islam yang memperjuangkan hak hak rakyat
kecil. H. Mansur Daud, tetap eksis,terutama sejak M.I.T difusikan ke Majlis
Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) di Yogyakarta pada bulan Februari
1946. H.Mansur Daud cukup didengar dan dihargai pendapatnya. Didahulu¬kan
selangkah, ditinggikan seranting oleh anak kemenakan. Disera¬hi posisi
penting dalam adat sebagai seorang ninik mamak. Gelar adat yang kemudian
dipangkunya adalah Datuk Palimo Kayo.
Posisinya dalam raad (Dewan) Nagari dimanfaatkannya untuk
memu¬syawarahkan soal harta pusaka bersama ninik mamak pada 2 4 Mei 1953
di Gedung Nasional Bukittinggi. Beliau juga melakukan akti¬fitas lain
dalam usaha meningkatkan dan mensejahterakan masyara¬kat khususnya di
Minangkabau. Upaya yang dilakukannya meliputi; pembangunan masjid,
mushalla maupun sekolah agama. Hal terpenting, beliau sangat memperhatikan soal persatuan khu¬susnya sesama alim ulama.
Semangat dan Pengabdian
Kegiatan di bidang politik semakin membawa HMD Datuk Palimo Kayo menjadi
tokoh teras melalui semangat dan pengabdian yang ia curahkan. Terbukti
ketika dirinya dipercaya sebagai Ketua umum Masyumi wilayah Sumatera
Tengah. Salah satunya karyanya adalah membentuk markas Perjuangan Hizbul¬lah
guna mewaspadai kembalinya penjajah, meskipun Bangsa Indone¬sia telah
memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945. Saat Masyumi mendapat
tempat dengan keikutsertaan pada pemilihan umum pertama pada tahun 1955,
HMD Datuk Palimo Kayo duduk di parlemen selama setahun sampai tahun
1956. Karir politik HMD Datuk Palimo Kayo di tataran negara semakin melesat
ketika pemerintah menunjuknya sebagai Duta Besar (Dubes) Republik
Indonesia (RI) untuk negara Irak sampai tahun 1960.
Sekembali dari Irak, mengakhiri tugas sebagai duta besar, ia menyaksikan
partai politik Islam Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Antara
tahun 1961 1967 HMD Datuk Palimo Kayo aktif berdakwah dan menekankan
peningkatan kemakmuran umat. Dewan Dakwah Islamiyah yang diketuai
Mohammad Natsir juga turut dirancang Buya Datuk sejak didirikan pada
tahun 1968. Tanggal 3 Januari 1968, beliau turut mendirikan Yayasan Rumah Sakit
Islam (YARSI). Upaya yang dilakukan melalui wadah sosial serupa itu
kemudian semakin melengkapi pengabdian HMD Datuk Palimo Kayo dalam
memperhatikan kesejahteraan rakyat. Bidang pendidikan turut jadi perhatian beliau. Bersama sama guru agama
Islam beliau melangsungkan rapat pada 17 Desember 1978. Persatuan Guru
guru Agama Islam (PGAI) berupaya mengembangkan dunia pendidikan yang
selama ini dipandang sangat strategis melahirkan tokoh tokoh besar.
Riwayat hidup HMD Datuk Palimo Kayo yang begitu sarat dengan segala
bentuk aktifitas memang layak mendapat perhatian secara ilmiah. Sejumlah
kalangan yang dekat, baik dari keluarga maupun sesama ulama sangat
menghargai keberadannya. Kalangan akademik kemudian menjadikan sosoknya
sebagai sumber tulisan ilmiah seka¬ligus
mencermati kiprahnya sepanjang hayatnya. Pihak pihak lain yang
memberikan semacam kerangka penilaian tentang eksistensinya. Mengutip
Sastrawan sekaligus Budayawan AA Navis dalam tulisan Marthias D. Pandoe
tentang Buya HMD Datuk Palimo Kayo, “sebagai seorang ulama yang
konsekuen dengan pendiriannya walau apapun dihadangnya. Imannya kuat,
tidak dapat dibeli dengan kedudukan maupun uang. Mungkin riwayat
hidupnya yang penuh pengalaman itu menjadikannya tangguh”, (Kompas, 26
Juli 1981).
Kelangkaan akan keberadaan ulama sekaliber HMD Datuk Palimo Kayo kiranya
jadi titik tolak untuk mengenang tokoh ulama ini. Sungguh layak riwayat
hidup beliau ditulis di tingkat perguruan tinggi seperti yang telah ada
berupa “Biografi”, yang disusun Linda Fauzia dalam tugas akhirnya untuk
meraih sarjana, dengan anali¬sisnya; “Buya Haji Daud Datuk Palimo Kayo:
Profil Seorang Ulama dan Penghulu di Minangkabau.” (Fakultas Sastra
Universitas Anda¬las Padang, 1993). Hingga akhir hayatnya, Buya HMD Datuk Palimo Kayo senantiasa teguh dalam
sikap telitinya, meskipun terhadap hal sekecil seka¬lipun. Kenyataan
tersebut diungkapkan oleh seorang mubalig yang giat mensyiarkan Islam H.
Mas’oed Abidin. Tokoh ulama besar ini telah meninggalkan kita buat
selama lamanya pada tahun 1988. Namun selama hayatnya beliau tetap
memacu semangat dan militansi Islam yang tak kunjung padam.
Syekh Haji Zainuddin Hamidy (1907 1957)
Ulama Diplomat Anti Kekerasan
Syekh Haji Zainuddin Hamidy lahir pada 8 Februari 1907 di