Ilham - Call / WA +6281267 45797...........


SEJARAH ISLAM DI MINANGKABAU. 2

 

AJARAN TARIKAT DI MINANGKABAU
Pada awal perkembangan Islam lahir suatu kelompok persaudaraan (tarikat) sebagai suatu cara mendekatkan diri kepada Allah. Tarikat adalah cabang ilmu agama yang disampaikan filosof Islam. Penganutnya yang taat disebut sufi. Seorang sufi menuntut ilmu agama bertahun-tahun yang diajarkan seorang guru. Pada masa itu, tarikat dan surau dapat menyesuaikan diri dengan lembaga yang ada di Minangkabau, tanpa menimbulkan pertentangan. Pesantren (surau) lahir dan diterima seluruh masyarakat sebagai tambahan lembaga kehidupan di desa. Kelompok tarikat mahir menanggapi situasi dan lebih menekan ajaran pada usaha ketentraman batin sebagai hamba Allah. Latihan kejiwaan dan zikir diselenggarakan untuk mengingat Allah sehingga terpelihara kesinambungan kehidupan di desa. 


Pada abad ke-18, di Minangkabau terdapat tiga kelompok tarikat: Naqsyabandiyah, Syattariyah dan Kadiriyah. Ciri ketiga kelompok itu sama, yaitu kepatuhan sepenuhnya yang dituntut dari seorang murid kepada gurunya. Di tempat belajar, mereka mengenal ajaran Islam, disiplin dan latihan yang diterapkan masing-masing guru. Guru dan guru tuo (guru pembantu) mengajar membaca Qur’an, tafsir dan kaedah agama serta praktek lainnya untuk mencari keridhaan Allah dengan tertib. Pada sore hari para santri berkumpul sambil melaksanakan zikir dengan menyebut asma Allah. Organisasi sekelompok surau, kadang-kadang terdiri dari 20 bangunan yang ditempati santri dari berbagai daerah. Setiap surau berada di bawah pengawasan seorang guru tuo. Murid-murid harus ikut membantu guru bekerja di kebun atau sawahnya. Pada masa sibuk bertani, belajar sering terganggu. Di samping itu, murid menanam pisang atau buah-buahan di sekitar surau mereka. Kehidupan mereka tergantung dari hasil pertanian yang dijual ke pasar setiap minggu. Surau-surau besar, biasanya berdiri di desa-desa pusat perbelanjaan, yang disebut pakan. Seorang murid harus berpegang teguh pada kepatuhan diri kepada guru. Kepatuhan ini merupakan dasar sebelum melangkah mempelajari ajaran Islam. Pengajaran dasar bagi seorang muslim ialah membaca Al Qur’an yang lebih menekankan pada tajwid, bunyi (fonem) yang benar menurut tata bahasa Arab. Sebelum memperdalam kitab suci Al Qur’an, mereka harus pula mempelajari nahu sharaf, tata bahasa Arab. Bagi yang mendapat kesulitan mempelajarinya, dapat beralih mempelajari hukum Islam, syariat. Kajian syariat disebut fikih. 

 
Buku fikih yang dipakai di semua surau tarikat umumnya sama yaitu mengajarkan tiang Islam, arkanul khamsah, yang digolongkan ke dalam ibadah sebagai dasar kewajiban seorang muslim. Kemudian diikuti dengan bimbingan berperilaku yang benar. Lanjutannya ialah mempelajari hukum yang berkaitan dengan pengendalian hubungan sesama manusia, seperti hukum warisan, dan lain-lain. Surau-surau yang memperdalam kajian pokok tentang hukum tersebut umumnya menjadi surau yang mempunyai nama baik di Minangkabau. Surau-surau Naksyah-bandiyah umumnya terletak di desa-desa persimpangan jalan perniagaan atau desa-desa pertanian yang makmur. 


Guru-guru tarikat bekerja sebagai petani untuk nafkahnya sehari-hari. Sebagai guru, ia harus pula menyiapkan suatu buku fikih dan doa-doa upacara dalam bahasa Melayu berdasarkan sumber-sumber dari bahasa arab. Tarikat Syattariyah lebih banyak dikenal pada akhir abad ke-18, yang diperkenalkan di Sumatera oleh Abdur Rauf dari Singkil, Aceh (1605-1693). Salah seorang muridnya bergelar Syekh Burhanuddin, membawanya ke Ulakan pada bagian ke dua abad ke-17. Dari Ulakan, tarikat itu bersebar melalui jalur perdagangan sampai ke Paninjauan dan Pamansiangan, kemudian ke Koto Tuo, di daerah Agam bagian selatan yang kaya dengan sawah. 


Di sebelah barat Koto Tuo berdiri surau-surau tarikat yang banyak menghasilkan ulama. Daerah ini dikenal dengan nama Ampek Angkek berasal dari nama empat orang guru yang terpuji kemasyhurannya dalam tarikat Syattariyah. Murid-murid di surau Syattariyah mempelajari rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang pedoman dalam kajian Syattariyah adalah karya Abdul Rauf. Surau- surau lain di pedalaman Minangkabau memperdalam suatu cabang ilmu agama tertentu, sehingga terdapat spesialisasi pengajaran. Tuanku di Kamang tempat memperdalam ilmu alat, nahu shraf, tata bahasa Arab; Koto Gadang dan Rao (Pasaman) dalam ilmu mantik maani, ilmu logika Islam; Tuanku di Koto Tuo dalam ilmu tafsir Qur’an, tarbiyah, pendidikan; Tuanku di Sumanik dalam ilmu hadith, tafsir dan faraidh (ilmu warisan); Tuanku di Talang (Solok) dalam ilmu sharaf, dan Tuanku Salayo dalam badi’, maani dan bayan.


Seorang santri dapat pula memperdalam ilmu kepada guru lainnya. Dengan demikian, terjadi mobilitasi sosial yang tinggi di Minangkabau. Pada tahun 1803, terjadi suatu peristiwa yang kelak membawa akibat yang lebih jauh. 


HAJI MISKIN ( ± 1860 – 1830)

Haji Miskin berasal dari Batu Tebal, Ampek Angkek, telah ikut serta bersama Tuanku nan Tuo memperbaiki keamanan para pedagang. Ia berangkat menunaikan ibadah haji pada tahun 1803 bersama Haji Sumanik dan Haji Piobang. Pada saat berada di Mekah, ia berkenalan dengan aliran Zahiriyah yang dipelopori Muhammad Abdul Ibnu Wahab ( 1703-1792), sebagai lanjutan dari pemikiran Ibnu Taimiyah (1263- 1308). Gerakan ini dikenal dengan nama Gerakan Wahabi yang dapat mempergunakan pengaruh keluarga Su’ud dari Nejd. Ketiga haji itu menerangkan pengalaman mereka masing-masing selama di Mekah kepada tuanku-tuanku dan alim ulama di Luhak Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh. Pada setiap kesempatan, Haji Miskin menjelaskan aliran Wahabi di Mekah dalam melaksanakan pembaruan agama. Ia menganjurkan kembali ke syariat berdasakan al Quran. Mereka menentang menafsirkan fikih untuk kepentingan dunia. Menentang bid’ah dan khurafat yang dimasukkan ke dalam Islam. Kembali ke ajaran yang murni, menurut ajaran Wahabi, ialah menentang fatwa-fatwa ulama yang mendasarkannya pada Qur an dan Hadis. Di dalam fikih, kaum Wahabi menentang segala macam qiyas. Di dalam kehidupan sehari-hari, mereka menentang pemujaan orang keramat. Hukumnya disamakan dengan menyembah berhala. Mereka menentang minum khamar, memakai pakaian dari sutra dan memakai perhiasan emas. Sekembali dari Mekah, Haji Miskin melengkapi gagasan-gagasan pembaruan untuk mesyarakat Minangkabau dengan ajaran-ajaran Al Quran sebagai sumber hukumnya. Ia pindah ke daerah IV Koto yang berbatasan dengan Agam bagian selatan, suatu desa makmur di lereng Gunung Singgalang. Ia menerapkan tuntunan hidup berlandaskan kaidah agama dalam setiap sikap hidup. Haji Miskin meninggalkan Pandai Sikek dan pindah ke Koto Laweh, suatu desa yang bersih, di lereng Gunung Singgalang( 1805). Di desa ini tinggal Fakih Saghir. Bersama Haji Miskin, Fakih Saghir menerapkan hukum syariat pendamping adat Minangkabau. 


Dari Koto Laweh, Haji Miskin datang ke Bukit Kamang. Kemudian ia tinggal bersama Tuanku Nan Renceh di Surau Bansa (1807).
Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh mulai mengatur rencana pembaruan secara menyeluruh untuk menerapkan hukum perdagangan Islam dalam melengkapi hukum adat Minangkabau. Para pedagang dapat menerimanya, baik yang tinggal di Kamang atau maupun yang datang ke sana. Mereka berjanji saling membantu dalam transaksi antar pedagang.
Selama berada di Surau Bansa, Kamang, Datuk Bandaro dan Malin Mudo dari Alahan Panjang mendengar langsung ide pembaruan dari pencetusnya, Haji Miskin. Tidak lama kemudian Malin Mudo kelak dilantik menjadi Tuanku Imam Bonjol* (1807).

 
Daerah Tuanku Nan Salapan dibentuk bersama Tuanku nan Renceh terdiri dari Kamang, Candung, Ampek Angkek, Kubu Sanang, Banuhampu, Sungai Puar, dan Padang Laweh. Di daerah ini memancarkan kesejahteraan penduduknya. Kekerasan dan perkelahian yang terjadi akibat pengembangan pembaruan untuk mengembalikan desa-desa melaksanakan syariat Islam. Kemudian Haji Miskin berunding dengan Tuanku Nan Salapan. Mereka sepakat menunjuk Tuanku Nan Renceh sebagai pemimpin Gerakan Pembaruan, dan mencari seorang yang berpengaruh untuk melindungi usaha pembaruan. Pilihan jatuh kepada guru mereka, Tuanku Nan Tuo .
 

Tuanku Nan Tuo menyetujui maksud mereka, tetapi tidak menyetujui kekerasan yang dilakukan dalam pelaksanaannya. Kalau pekerjaan mulia dilakukan dengan kekerasan, akan menimbulkan kekacauan. Cara ini dianggap menyimpang dari roh Muhammad yang bijaksana. Inilah ajaran yang tertera dalam ‘Taufah mursala ila ruhun nabi.’ Sedangkan Tuanku Nan Renceh ingin menerapkan gagasan-gagasan pembaruan yang berbeda dengan cara yang dilakukannya dahulu bersama Tuanku Nan Tuo. 


Haji Miskin melanjutkan usaha pembaruan di Luhak Lima Puluh. Pada tahun 1811, ia berangkat ke ranah ini untuk menggugah ulama muda, Malin Putih di Air Tabik, untuk melakukan pembaruan. Ia berhasil baik. AiaTabit, suatu daerah subur di kaki Gunung Sago. Fakih Saghir datang kedaerah ini membantu Malin Putih yang kemudian bergelar Tuanku Nan Pahit. Mereka mendirikan sebuah benteng Bukit Kawi. Haji. Miskin pindah ke Mesjid Sungai Lundi di nagari aia Tabik. khutbahnya berhasil menjadi sebab lahirnya rencana perubahan. Pembaruan yang dilancarkan Haji Miskin di Aia Tabik bergema ke Halaban. Seorang ulama yang mengikuti ajaran baru ini ialah Tuanku Luak di Halaban. Haji Miskin penyebar cita-cita dan ide pembaruan masyarakat Minangkabau yang terhunjam kuat dalam hati setiap tuanku- tuanku atau ulama Muda di Tanah Minangkabau. Dalam suasana ribut Haji Miskin mati terbunuh dan dikuburkan di atas Bukit Kawi. (1830).
 

TUANKU
Dalam tradisi adat yang diadatkan di Minangkabau, gelar Tuanku adalah, gelar pemimpin agama yang diberikan kepada seorang ulama terkemuka, yang telah menguasai ilmu agama (Islam) paripurna. Lazimnya dibelakang gelar itu diikuti dengan surau tempat ia mengajar. Gelar tuanku sebagai pemimpin surau diresmikan dalam suatu upacara. Sedangkan gelar Syekh* sebagai gelar tertinggi seorang ulama di Minangkabau, merupakan “guru gadang” yang masih langka pada awal Gerakan Kembali ke Syariat. Gelar syekh diberikan oleh guru kepada muridnya secara beranting sebagai kepercayaan telah diakui mempunyai ilmu agama paripurna, seperti halnya Pono diberi gelar Syekh Burhanuddin Ulakan oleh gurunya, Abdurauf al Singkli. Penobatannya dilakukan dengan memberikan pakaian (jubah) pemberian guru Abdurrauf di Mekah. Dengan demikian secara berantai terjadi hubungan guru-murid yang tidak putus-putusnya. Setingkat di bawah Tuanku ialah gelar Peto dan Labai*, bila seseorang yang telah menguasai fikih, tarikat dan ilmu hakekat. Gelar ini berasal dari Turki. Seorang labai atau peto hanya diberi hak memimpin jamaahnya, dan belum berhak memimpin surau sendiri. Tingkat ketiga, Malin, gelar seorang guru bantu (guru tuo) yang dipercaya tuanku memberikan bimbingan kepada murid-murid pada suatu surau. Seorang malin (maulana atau mu’allim)* telah memiliki pengetahuan agama yang lebih luas dari murid-murid lainnya. Setelah bertahun-tahun belajar pada seorang ulama (surau), seorang murid yang telah menguasai ilmu fikih dan sanggup membaca do’a-doa, lalu diberi gelar Pakih. Sedangkan yang sanggup membaca Al Qur’an, diberi gelar Kari.

 

TUANKU NAN TUO1750 – l830)

Tuanku Nan Tuo adalah seorang ulama pembaru Islam di pedalaman Minangkabau yang memimpin surau di Koto Tuo*, Ampek Angkek pada pertengahan a bad ke-18. Murid-Murid yang belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari adalah karya Abdurrauf yang memperlihatkan penghargaan yang tertinggi terhadap “syariat”. Ajaran ini dibawa Syekh Burhanuddin Ulakan sekembalinya belajar pada Syekh Abdurrauf al Singkli di Aceh. Beberapa surau Syattariyah mempelajari cabang ilmu agama, sehingga terjadi spesialisasi pengajaran agama Islam di Minangkabau. Masing-masing surau itu memperdalam salah satu cabang ilmu agama, seperti: Surau Kamang dalam ilmu alat (nahu sharaf dan tata bahasa Arab), Koto Gadang dalam mantik ma’ani, Koto Tuo dalam ilmu tafsir Quran, tarbiyah dan hadith), Surau Sumanik dalam ilmu faraidh (pewarisan) hadis; Surau di Talang dalam badi’, maani dan bayan (tata bahasa Arab ), Tuanku di Sumanik dalam ilmu hadis, tafsir dan faraidh, Tuanku di Talang dalam ilmu sharaf, sedangkan Tuanku di Salayo dalam ilmu nahu nan tiga (badi’, maani dan bayan. Kedua ulama terakhir mencapai derajat yang tinggi sebagai ulamiyah. 


Dalam hal ini Tuanku Nan Tuo mempelajari ilmu-ilmu itu dari tuanku-tuanku itu, akhirnya lebih dikenal sebagai ulama yang kisyaf yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam mantik, maani, hadis, tafsir, tarbiyah, danu agama lainnya. Pada akhir abad ke-18, surau Koto Tuo memperkenalkan pembaruan berdasarkan hukum Islam kepada masyarakat luas. Murid surau Koto Tuo kira-kira seribu orang berasal dari pelosok Minangkabau dan daerah rantau. Ajaran Syattariah yang diperkenalkan mengenai ilmu hakekat, ilmu pengetahuan tentang tauhid dalam ‘mencari Tuhan’. Murid dan guru melibatkan diri dalam perdagangan yang berasal dari langganan luar negeri, seperti Amerika, Inggeris, Tamil dan Gujarat. Tuanku Nan Tuo berfatwa tentang perlindungan terhadap pedagang dan menguraikan syariat Islam yang berhubungan dengan keamanan pedagang. Fatwa ini dikenal dengan nama gerakan kembali ke syariat. Ia mengajarkan murid-muridnya cara menggalang persatuan bagi masyarakat Minangkabau menurut perintah Tuhan. Inti ajarannya ialah ketaatan pada ajaran-ajaran Al Quran dalam mengatur harta warisan, penceraian dan jual beli barang. Semenjak itu Tuanku 

Nan Tuo terkenal sebagai pelindung pedagang. Tuanku Nan Tuo bersama Haji Miskin, sebelum menunaikan ibadah haji ke Mekah, mencari jawaban tentang pembagian harta warisan menurut fikih. Menurut Tuanku Nan Tuo harta dibagi atas harta pusaka dan harta pencaharian. Harta pusaka diwariskan menurut hukum adat Minangkabau. Harta pencaharian jatuh ke tangan anak, dengan perbandingan antara anak laki dengan anak perempuan 2: 1. Tuanku Nan Tuo melihat banyak hal yang sesuai antara adat dengan syariat menurut mazhab Syafei, terutama yang berhubungan dengan harta pusaka. Semenjak tahun 1784, hukum Islam menjadi kajian yang penting dari surau Koto Tuo. Murid-murid Tuanku Nan Tuo yang terbaik ditugaskan melaksanakan dakwah ke luar Ampek Angkek, terutama desa yang menghalangi usaha perdagangan. Semenjak itu Tuanku Nan Tuo dikenal sebagai pelindung pedagang di Minangkabau. 


Jalaluddin gelar Fakih Saghir yang kemudian mendirikan surau di Koto Laweh, gerbang jalan ke Pariaman melalui Mudik Padang; Tuanku Bandaro dari Alahan Panjang meneruskan pembaruan di Bonjol bersama Tuanku Imam Bonjol; Pakih Muhammad bergelar Tuanku Rao di Rao Mandahiling, Saidi Muning bergelar Tuanku Pasaman kemudian bergelar Tuanku Lintau di Lintau. Pendidikan lainnya di surau Tuanku Nan Tuo ialah ilmu bela diri, silat dan pencak sehingga setiap murid siaga serempak menjadi pemuda trampil dan mampu menggunakan senjata di medan laga. . Menjelang tahun 1790 daerah Ampek Angkek mengalami kemajuan besar atas usaha Tuanku Nan Tuo. Pedagang lebih senang membawa barang dagangannya melalui Agam terus ke Koto Laweh, kemudian meneruskan perjalanannya melalui bukit antara Gunung Singgalang dan Gunung Tandikek menuju Mudik Padang dan terus ke Pariaman. Mereka dapat bergerak dengan leluasa, yang belum pernah dialami sebelumnya. Pembaruan Islam dilaksanakan di surau-surau yang memajukan pendidikan surau dan memajukan perdagangan.
 

Pusat-pusat perdagangan di pedalaman Minangkabau dikuasai oleh surau-surau, seperti Tuanku Damansiang di Pandai Sikek, Jalaluddin di Koto Laweh, Tuanku Nan Renceh di Kamang;Tuanku Nan Tuo di Ampek Angkek, dan kemudian Tuanku Bandaro dan Tuanku Imam Bonjol di lembah Alahan Panjang Panjang, Tuanku Rao di Rao, Tuanku Barumun di Kota Pinang dan Barumun.. Telah terjadi pratagoni di daerah Islam berkembang dengan pembaruan dan perbaikan moral masyarakatnya yang memancarkan kemakmuran.. Pemerasan yang sering terjadi terhadap pedagang dan pemungutan pajak pengawasan pada jalan dagang tradisional dari Jaho Tambangan ke Bukit Punggung Jawi terus ke Kayu Tanam dan Lubuk Alung yang diawasi dubalang Tuanku Gadang dari Batipuh. Dengan adanya perubahan itu di pedalaman Minangkabau berlaku pertanian pola rakyat, menggantikan pola raja yang dikuasai kerajaan Pagaruyung. Belanda memasuki Minangkabau pada tahun 1821 dan ingin menguasai pusat perdagangan di pedalaman Minangkabau. Kemudian Belanda mendirikan benteng Gedung Batu di Koto Tuo. Selama enam tahun hulubalang Tuanku Mudo, pangka tuo (pemimpin ) hulubalang Tuanku Imam Bonjol tinggal di daerah Ampek Angkek. Peperangan tak terelakkan antara pro golongan pembaruan dengan pengikut Tuanku Nan Tuo. Tuanku Nan Tuo meninggal dunia pada tahun 1830 berlumuran darah di surau yang dibangunnya dengan Qur an tetap dipegangnya. 


TUANKU LINTAU ( ± 1770 -1832 )

Tuanku Lintau seorang ulama di Tanah Datar. Ia anak seorang penghulu bergelar Datuk Sinaro. Nama kecilnya Saidi Muning dan belajar di surau Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, melanjutkan pelajarannya di Natal dan Pasaman. Kemudian memimpin suraunya yang terletak di pantai di Pasaman. Semenjak itu ia dipanggil orang Tuanku Pasaman. Pada tahun 1813, Tuanku Pasaman kembali ke kampung halamannya di Lintau, di lembah Sinamar. Ia berpendapat, misinya harus diarahkan pada pembaruan tingkah laku masyarakat di sekitar kerajaan Pagaruyung. Ia sangat terkesan dengan pembaruan yang dilakukan Tuanku Nan Renceh, di Kamang. Muningsyah, Raja Pagaruyung, tidak menentang gerakan pembaruan yang dilakukan Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Pasaman di Lintau untuk perbaikan moral masyarakat Tanah Datar. Tetapi, kerajaan Pagaruyung dan beberapa desa-desa sekitarnya, acuh tak acuh terhadap kehidupan masyarakat. Mereka bahkan menunjukkan permusuhan, sehingga timbul pertentangan di tengah masyarakat. 


Kerusuhan menjalar ke desa-desa sebelah timur Tanah Datar.
Tuanku Pasaman memutuskan mengakhiri sifat otonomi desa yang berlaku selama ini. Raja Pagaruyung tidak mempunyai niat untuk melakukan pembaruan. Sesungguhnya Pagaruyung telah lumpuh. Tuanku Pasaman berkesimpulan, prasyarat berhasilnya pelaksanaan idenya, ialah dengan jalan melaksanakan administrasi pemerintahan yang seragam di Tanah Datar. Tindakan yang akan dilakukannya ialah menyingkirkan keluarga kerajaan, dan menyerang desa-desa yang paling erat dengan kerajaan Pagaruyung. Ia yakin bahwa sistem kerajaan Pagaruyung menjadi penghalang cita-citanya.
Pada tahun 1815, ia mengajak Raja Alam beserta keluarga kerajaan lainnya untuk bermusyawarah di Koto Tangah, antara Barulak dengan Saruaso. Pada pertemuan itu tiba-tiba Tuanku Pasaman menuduh Raja Alam kurop dan tidak beragama. Ia memerintahkan menyerang raja. Banyak anggota keluarga Pagaruyung mati terbunuh dalam peristiwa itu, termasuk dua orang anak Raja Alam Pagaruyung. Raja Muningsyah bersama cucunya dapat meloloskan diri ke Lubuk Jambi. setelah terjadi Peristiwa Koto Tangah itu.
 

Tuanku Pasaman menyerang Lubuk Jambi pada tahun 1823 untuk dapat menguasai kota dagang di pantai timur melalui Sinamar. Tuanku Pasaman berusaha memperkuat kedudukannya di mata penduduk pusat kerajaan. Ia mengawini anak Raja Ibadat terakhir yang meninggal pada tahun 1817. Kemudian ia memindahkan kedudukannya dari Sumpur Kudus ke Lintau dan menyatakan dirinya sebagai pemegang waris Raja Adat dan Raja Ibadat. Semenjak itu pula ia lebih dikenal dengan gelar Tuanku Lintau. Tuanku Lintau dapat meluaskan sistem administrasi Padri di daerahnya dengan dukungan hulubalang yang berpakaian merah untuk membedakannya dengan dubalang yang berwarna hitam. Di daerah bukit sebelah timur Lintau, sistem Padri diterima dengan baik. Penduduk Buo dan Kumanis menganut ajaran Padri. Di sebelah utara Lintau, di lereng Gunung Sago, berada di bawah hulubalang Tuanku Lintau yang bernama Tuanku Halaban.
 

Sehubungan dengan serangan itu, dasar-dasar ekonomi dan politik Kerajaan Pagaruyung lumpuh. Keluarga kerajaan berusaha menyelamatkan diri dari kehancuran dengan kembali kepada sekutu lama, Belanda. Semua nagari yang terletak pada jalur Koto Piliang ke pantai barat ikut menandatangani perjanjian dengan Belanda pada tahun 1819. Nagari-nagari ini diwakili dua beradik Sultan Saruaso dan Raja Alam Bagagarsyah dari Pagaruyung dan Nagari Duo Puluh Koto dan Batipuh. Mulai saat itu Gerakan Pembaruan Padri berhadapan dengan Belanda yang kemudian berubah menjadi Perang Padri. Kawasan Lintau dipisahkan dengan pusat Tanah Datar oleh punggung bukit barisan dengan lembah-lembah yang dalam. Bukit pemisah ini ialah Bukit Marapalam dipergunakan sebagai benteng perlindungan yang sulit ditembus dari arah Tanah Datar. Punggung bukit di sekitar Lintau ditanam dengan kopi. Kawasan ini merupakan pertemuan bukit yang membentuk lereng-lereng yang mendaki. Di sela-sela bukit ini mengalir mata air yang dapat dimanfaatkan untuk mengairi sawah-sawah yang terletak di tengah kebun kopi, dikelilingi oleh sawah yang subur, yang mendatangkan kesejahteraan penduduknya.
 

Halaban dan Lintau semenjak lama mempunyai hubungan dagang dengan pantai timur, di hulu Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Pada tahun 1813, ia membenahi desanya, Lintau. Semenjak tahun 1820 melakukan upaya mengawasi lalu lintas perdagangan jalur Indragiri. Sejak itu pula ia terkenal sebagai Tuanku Lintau. Penduduk Lintau melakukan penukaran kopi dengan barang-barang katun dan garam. Terbukti bahwa terdapat hubungan antara kemakmuran dengan diterimanya asas pembaruan Islam (Protagoni). Kedatangan serdadu Belanda ke Tanah Datar dilaporkan kepada Tuanku Imam Bonjol oleh Tuanku Kacik. Utusan itu menyatakan bahwa pasukan Belanda dengan sekutunya akan menyerang Lintau. Pasukan Belanda menyerang Bukit Marapalam, bergerak dari Pagaruyung dengan kekuatan 8 pucuk meriam. Pasukan ini dapat dipukul mundur sampai ke desa Tanjung. Empat pucuk meriam dapat dirampas hulubalang Lintau. Empat hari kemudian, Belanda kembali mencoba menyerang Bukit Marapalam dari arah desa Tanjung. Peristiwa ini terjadi pada 13 April 1823. 


Pasukan hulubalang Bonjol di bawah pimpinan Tuanku Mudo yang sedang berada di Ampek Angkek, mendengar serangan Belanda ke Bukit Marapalam itu, segera bergerak ke lembah Bukit Marapalam. Pasukan Bonjol menyerang dari arah utara sehingga hulubalang Lintau dapat menguasai medan pertempuran. Pasukan Lintau dan hulubalang Bonjol dapat menguasai lapangan pertempuran. Kekalahan ketiga kalinya bagi pasukan Belanda terjadi pada tanggal 16 April 1823 yang dikenal sebagai Hari Keprajuritan Perlawanan Lintau. Peristiwa serangan Belanda dan perlawanan hulubalang Lintau tercantum pada relief Museum Perjuangan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Pada serangan itu Belanda mendapat kekalahan tiga orang perwira, 45 serdadu Belanda mati, 9 perwira luka dan 178 prajurit menderita luka. Empat buah meriam Belanda dapat dirampas. Pertahanan Tuanku Lintau (1813-1830) baru ditembus pasukan Belanda melalui pengkhianatan yang dilakukan dalam malam pekat ketika hujan turun dengan deras. 


TUANKU NAN RENCEH ( ± 1780 – 1832)
Seorang ulama yang cerdas, murid Tuanku Nan Tuo. Setelah menyelesaikan pendidikan di Koto Tuo, ia kembali ke kampung halamannya, di Bansa, Kamang. Tuanku Nan Renceh mengundangkan jihad dari Surau Bansa, Kamang. Walau sebagai seorang petani, ia mampu memberikan pelajaran dengan semangat perjuangan di suraunya. Ia melakukan penyerangan terhadap nagari sekitarnya, seperti Kamang, Tilatang, Padang Tarok, Ujung Guguk, Candung, kemudian Matur dan Lima Puluh. Dengan tubuhnya yang kurus tinggi dan pandangan mata yang menyala ia memberi contoh bagaimana ajaran agama ditegakkan tanpa ditawar-tawar. Masyarakat ingin ditegakkan adalah masyarakat muslim yang tidak mengenal menyabung ayam, minuman keras, menghisap candu, makan sirih dan tidak meminta doa ke kuburan dan melarang laki-laki memakai sutra dan perhiasan emas. Siapa yang tidak taat dihukumnya.. Ia ingin menegakkan agama di tengah masyarakat, dan tampak pengaruh Wahabi dalam tindakannya.
 

Tuanku nan Renceh dapat menundukkan seluruh daerah Kamang. Kemudian Magek, Salo, Koto Baru. Di nagari yang mengakuinya disusun pemerintahan menurut Islam dikepalai oleh seorang imam dibantu oleh seorang kadhi. Berangsur-angsur Tuanku Nan Renceh menaklukkan nagari yang keras menantangnya. Nagari itu dibakar dan dibinasakan. Pembaruan yang dicanangkan itu akhirnya disetujui surau-surau di Agam, antaranya tuanku nan salapan. Haji Miskin kemudian berunding dengan Tuanku Nan Renceh dari Surau Bansa (1807). Tuanku Nan Renceh bersama Haji Miskin mulai mengatur rencana pembaruan secara menyeluruh. Mereka menghapuskan kebiasaan buruk yang dilarang agama Islam. Gagasan kedua orang pembaru ini untuk menerapkan hukum perdagangan Islam melengkapi hukum adat Minangkabau yang diterima baik oleh pedagang, baik yang tinggal di kamang, maupun yang datang ke Kamang Musyawarah dengan tuanku nan salapan, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Kalung, Tuanku Ladang Laweh, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambalau, dan Tuanku Lubuk Aur, menghasilkan kesepakatan menunjuk Tuanku Nan Renceh sebagai pemimpin geralan pembaruan dan mencari seorang yang berpengaruh untuk melindungi usaha pembaruan yang akan dilakukan. Pilihan jatuh kepada guru mereka, Tuanku Nan Tuo.

 

Perbedaan pendapat antara Tuanku nan Renceh dengan Tuanku nan Tuo, tidak dapat dielakkan. Tindakan Tuanku Nan Renceh tidak disetujui Tuanku nan Tuo Tuanku Nan Tuo melarang Tuanku Nan Renceh dengan beribu-ribu orang Kamang yang ingin menyerang Kurai.
Akhirnya Tuanku Nan Tuo memanggil Tuanku Nan Renceh musyawarah menghentikan pembakaran dan pembunuhan sesama orang Islam. Tuanku Nan Renceh mengemukakan jihad berdasarkan fikih. Orang yang tidak menjalankan perintah agama dapat dirampas harta dan jiwanya.
Tuanku Nan Tuo mendasarkan pikirannya pada tarikat, Tindakan kekerasan hanya boleh dilakukan terhadap orang yang terang terangan menentang ajaran Islam. Akhirnya perbedaan pendapat diselesaikan dengan sumpah disaksikan Quran. 


Di beberapa nagari, seorang ulama ditempatkan dalam pemerintahan adat. Wadah lain hasil perjuangannya jabatan Imam, yang pada mulanya pemimpin sembahyang berjamaah, dan kemudian ikut memimpin pertahanan nagari, dan Tuan Kadi, mengatur akad nikah, talak rujuk dan pengawasan hukum dalam nagari. Perjuangan para ulama dikoordinasi ke dalam Tuanku nan Salapan yang terdiri dari :

1. Tuanku nan Renceh dari Kamang
2. Tuanku Kubu Sanang
3. Tuanku Ladang Laweh di Banuhampu
4. Tuanku Padang Luar
5. Tuanku Galung di Sungai Puar
6. Tuanku Koto Ambalau
7. Tuanku Lubuk Aur
8. Tuanku Pamansiangan nan Mudo di Mansiangan


Munculnya kelompok militan bukan ide pembaruan yang dikembangkan. Tatkala kelompok ini ingin melaksanakan aksinya, mereka menghadap orang arif di Koto Tuo lebih dahulu. Pengaruhnya atas masyarakat luas merupakan faktor penentu. Apalagi sebagian besar para ulama itu pernah menjadi murid ulama besar ini. Pada awal gerakan pembaruan ini dibina atas hubungan pemimpin kharismatik dengan pengikutnya. Inilah yang disebut hubungan guru murid. Usulan Tuanku Nan Renceh beserta kelompoknya untuk melaksanakan aksi gerakan dengan kekerasan tidak dapat diterima Tuanku nan Tuo. Beliau sependapat dengan gagasan untuk terus menegakkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang murni.
 

Dalam segala hal, Tuanku nan Tuo menyediakan diri dan mencurahkan tenaganya guna pembaruan, seperti telah dilaksanakannya jauh sebelumnya. Tetapi ia berbeda pendapat mengenai cara mencapai tujuan. Maka dinasehatkannya agar mereka menempuh jalan yang lebih lunak untuk menghindarkan kerugian yang tidak diperlukan. Dalam pengambilan keputusan mereka menemukan jalan bersimpang dua. Tuanku nan Tuo beserta murid-muridnya yang setia, tetap melaksanakan pembaruan dengan cara lunak. Sedangkan Tuanku nan Renceh dengan kelompoknya mengambil jalan kekerasan. Ternyata, Tuanku nan Renceh pula yang memikul beban langkah pertama untuk melaksanakan perubahan itu. Ia memulai gerakan di kampung halamannya. Pergolakan-pergolakan umum segera menyebar ke nagari-nagari di seluruh Minangkabau. Tuanku nan Renceh mengemukakan jihad berdasarkan fikih. Orang yang tidak menjalankan perintah agama dapat dirampas jiwa dan hartanya. Tuanku nan Tuo mendasarkan fikirannya menurut ajaran tarikat. Tindakan kekerasan hanya boleh dilakukan terhadap orang yang terang terangan menentang ajaran Islam. Akhirnya perbedaan pendapat diselesaikan dengan sumpah disaksikan Quran. Namun demikian kelompok Tuanku nan Renceh meminta Tuanku Pamansiangan nan Mudo sebagai penasihat mereka. Serangan Belanda, untuk menguasai perdagangan kopi dan kulit manis dari Kamang, di Koto Baru dan Kapau mendapat perlawanan yang gigih dari hulubalang Tuanku nan Renceh. 


Banyak korban yang berjatuhan di pihak Belanda sehingga dipaksa mundur ke Bukittinggi. Beberapa pucuk meriam Belanda dapat direbut di Kapau. Serangan-serangan Belanda merupakan pengalaman baru rakyat Minangkabau berhadapan dengan penguasa bangsa asing. Perlawanan semesta dengan menggunakan parit dan rintangan alam seperti bukit, lembah dan gunung. Sentot, seorang bekas pemimpin pasukan Diponegoro yang dikirim Belanda ke Minangkabau bersama 300 orang pasukannya.(1829). Pasukan Raden Noto Prawiro dan T. Prawiro Sabiro menyerang kedudukan Tuanku Nan Renceh. Dalam pertempuran itu, Tuanku nan Renceh menghembuskan nafas penghabisan (Juni 1832). Namun Raden Noto Prawiro dan Sabiro melihat masyarakat Kamang yang Islami dan keberanian hulubalang Tuanku nan Renceh di Kamang berjuang seperti dilakukannya bersama Diponegoro dulunya. 

 

Tuanku Imam Bonjol (1772 – 1854)
Seorang tokoh gerakan pembaru Islam, dan seorang pemimpin Padri yang berhasil mengembangkan perdagangan di pantai barat, pantai timur sampai ke Tapanuli Selatan. Ia juga seorang ahli benteng yang terkenal dengan nama Bonjol di Minangkabau. Nama kecilnya Muhammad Syahab. Keluarganya berasal dari batas Rimbang, Agam. Sebagai pendatang di Tanjung Bungo, Alahan Panjang, dua orang bersaudara, Syekh Usman dan Hamatun diterima sebagai anak kemenakan dengan “mengisi adat” pada salah seorang Rajo Ampek Selo Alahan Panjang, Datuk Sati, di Ganggo Hilir.
Kaumnya diizinkan pula mengangkat Syekh Usman sebagai penghulu kaum Koto, bergelar Datuk Sajatinyo. Hamatun, adiknya dikawinkan dengan Khatib Bayanuddin, seorang guru agama berasal dari Kampung Batas Rimbang, Palupuh Kabupaten Agam. Mereka menetap di Tanjung Bungo. 


Dari perkawinannya, mereka dikaruniai tiga orang putri, Sinik, Santun dan Halimatun dan seorang anak laki-laki bernama Muhammad Sahab, yang kemudian terkenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Muhammad Sahab dilahirkan di kampung Tanjung Bungo pada tahun 1772. Pada usia 7 tahun, ia belajar mengaji al Quran di Kampung bakonya di Batas Rimbang, Luhak Agam. Pada tahun 1792 -1800, belajar pengetahuan agama di Surau Tuanku Bandaro di Padang Laweh. Tuanku Bandaro adalah seorang murid Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampek Angkek. Semenjak tahun 1802, Muhammad Syahab menjadi guru tuo (pembantu) di surau gurunya dengan bergelar Malin Basa. 


Pada tahun 1805, selama tiga bulan, Tuanku Datuk Bandaro bersama Malin Basa belajar ke Surau Bansa di Kamang. Mereka mengenal langsung pembaruan agama Islam yang dicetuskan oleh Tuanku Nan Renceh bersama Tuanku Haji Miskin. Dari Tuanku Nan Renceh, ia mendapat pengetahuan memajukan kesejahteraan masyarakat dengan melindungi pedagang dan mempergunakan bedil yang diperdapatnya dari Tuanku Sumanik. Dari Tuanku Haji Miskin, mereka mendapat dasar pengetahuan fikih tentang hak warisan dan hukum perdagangan. Sebagai salah seorang murid Tuanku Nan Tuo, Datuk Bandaro bersama Malin Basa memperkenalkan pembaruan berdasarkan hukum Islam yang mengatur hak masyarakat dalam perdagangan dan warisan. Datuk Bandaro mempergunakan wibawanya mengumpulkan seluruh rakyatnya untuk melaksanakan pembaruan itu. Semenjak itu, Malin Basa bergelar Peto Syarif. 


Pada tahun 1807, Peto Syarif dan pengikutnya pindah dan mendirikan Koto di bawah Bukik Tajadi yang kemudian bernama Bonjol (1807). Ia diangkat oleh Nyiak Angku menjadi Tuanku Imam. Bonjol dipimpin oleh Tuanku nan Barampek yangdipimpin oleh Tuanku Imam dan diresmikan oleh sebagai pemimpin pembaruan Islam oleh rombongan dari Kamang (1808). Tuanku Nan Gapuk dan Tuanku Nan Hitam ditugaskan belajar silat ke Tuanku Andaleh di Palembayan. Keduanya menjadi pelatih hulubalang Bonjol. Tuanku Nan Hitam sebagai Tuanku Kadi memimpin hukum Islam. Hulubalang dipimpin pangka tuo, di bawah pimpinan Tuanku Mudo. Tuanku Imam Bonjol berusaha mengamankan jalan perdagangan di pantai barat dan pantai timur Sumatra dengan bantuan hulubalang. Pembaruan sejalan dengan perlindungan pedagang dari Kumpulan terus ke Sasak dan Tiagan. 


Peto Magek, mantu Yang Dipertuan Parik Batu, seorang pedagang kaya, memasok keperluan Bonjol dengan meriam Inggeris. Pembaruan Islam berlanjut ke Suliki, Mahek, terus ke Kuok, Bangkinang dan Salo. Di tiap-tiap nagari-nagari ditanam imam khatib dan kadi. Tuanku Imam meresmikan Pakih Muhammad menjadi Imam Besar bergelar *Tuanku Rao berkedudukan di Padang Mattinggi, Rao. Bersama Tuanku Mudo, Tuanku Rao mengamankan jalan dagang menuju Sosa dan Barumun di pantai timur, dan mengangkat menantu Tuanku Rao sebagai Tuanku Barumun. Tuanku Gadubang dari Huta Na Godang menyebarkan pembaruan Islam di Tapanuli Selatan. Bonjol menjadi pusat pembaruan Islam dan perdagangan di Minangkabau. Banyak harta rampasan dibawa ke Bonjol dan perilaku hulubalang banyak yang tidak dsenangi masyarakat. Tuanku Imam Bonjol berundang dengan Tuanku Rao, Tuanku Barumum dan Tuanku Kadi untuk mencari hukum ke sumber asli, di Mekah dan di Madinah. Mereka sepakat mengirim anak kemenakan dipimpin oleh Tuanku Barumun.(1811). 


Kembali dari Mekah, Tuanku Imam Bonjol mengakui kesalahan dengan menyatakan bahwa kesalahan harus diperbaiki. Penyelesaian adat dikembalikan kepada Basa dan penghulu, dan urusan agama diselesaikan oleh alim ulama. Semenjak itu berlaku adat basandi syarak (1813) dan berlaku di Minangkabau, Agam, Tanah Datar dan Negeri Danau. Segala harta rampasan (ghanimah) dikembalikan kepada pemiliknya. Selama 25 tahun, Imam Bonjol menjadi basis gerakan pembaruan berdasarkan ajaran adat dan syarak. Selama itu pula perdagangan Minangkabau berjalan dengan baik. Amerika dan Inggeris menjadi langganan komoditi pertanian Minangkabau, seperti kopi, lada, dan kulit manis. Pada tahun 1820, Tuanku Nan Renceh meninggal dunia dan kepemimpinan pindah kepada Tuanku Imam Bonjol. Pengaruh kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol makin terasa di seluruh Minangkabau sampai ke Tapanuli. 


Ketika Belanda memasuki pedalaman Minangkabau pada tahun 1821 berkali-kali hulubalang Bonjol dibantu hulubalang Rao-Mandahiling menyerang kedudukan Belanda di Agam dan Tanah Datar. Pandai Sikek direbut kembali (1825) dan Tuanku Pamansiangan kembali dari Bonjol. Kurai dibakar karena Belanda mendirikan Fort de Kock. Ampek Angkek diduduki karena Belanda mendirikan benteng di Gedung Batu, di Koto Tuo Ampek. Serangan ke Lintau dapat dipatahkan atas bantuan hulubalang Bonjol di bawah pimpinan Tuanku Mudo (16 April 1823). Tuanku Imam Bonjol mengungsi ke Lubuk Sikaping, karena Rajo Ampek Selo, Datuk Bandaro dengan Datuk Sati tidak sependapat atas permintaan Belanda untuk menyerahkan Bonjol (1832). 


Alangkah tercengangnya Tuanku Imam Bonjol, ketika Tuanku Nan Cadiak dari Nareh menjadi juru bicara perdamaian Belanda dengan Tuanku Imam Bonjol. Kepemimpinan Bonjol diserahkannya kepada Tuanku Mudo atas permintaan Elout.
Serangan serentak atas kedudukan Belanda (11 Januari 1833) di Minangkaau terjadi karena Sikap Tuanku Imam yang mencintai persatuan dan musyawarah, meyakinkan pemimpin-pemimpin Minangkabau, seperti Sultan Bagagarsyah, Sentot Prawirodirjo, Tuanku Nan Cadiak dari Naras dan masyarakat Minangkabau. Serangan balik Belanda dapat ditahan atas kepercayaan Tuanku Imam, bahwa setiap nagari mempertahankan nagarinya masing-masing. Kepercaayaan itu masih tetap dipertahankan oleh Tuanku Imam di saat perang mati-matian di lembah Alahan Panjang (1835 -1837). Berbagai bantuan mengalir dari seluruh Minangkabau, seperti mensiu, bahan kain, dan tenaga perang. Dengan dorongan agar teruskan melawan Belanda. 


Di tengah perang itulah datang surat Residen Francis agar Tuanku Imam menyerah. Surat itu dibicarakan dengan seluruh penghulu di Alahan Panjang. Semua penghulu menolak dan bertekad membantu Tuanku Imam. Tuanku Imam bersama keluarganya diantarkan penghuku ke pengungsiannya di Koto Marapak dan Bukit Gadang. Atas musyawarah penghulu, Sultan Caniago dan *Bagindo Tan Labih diutus sebagai wakil Tuanku Imam berunding dengan Residen Belanda, Arbacht, ke Bukit Tinggi. Setelah berjuang selama 15 tahun, Tuanku Imam ditangkap 28 Oktober 1837,Tuanku Imam dengan alasan diajak berunding. Ia diasingkan semula ke Cianjur (20 Januari 1938) bersama Bagindo Tan Labih, semenda dan dubalang, Sutan Saidi anaknya dari Padang Laweh, dan si Gelek, tukang meriam Sentot yang setia padanya. Ia dipindahkan ke Manado, Koka, dan terakhir di Lota Pineleng, 9 km dari Manado.
 

Imam Bonjol meninggalkan dunia pada 17 November 1854 di Lotak, dan baru disiarkan 10 tahun kemudian, sehingga kematiannya tercatat pada tahun 1864. Sebelum meninggal dunia, ia membeli sebidang tanah di Koka dari seorang Bwlanda bernama Agisir. Tanah itu diberikan untuk mahar perkawinan Bagindo Tan Labih dengan Watok Pantaow. Sampai sekarang, tanah kalekeran menjadi simbol pemersatu keluarga Baginda di Sulawesi. Tuanku Imam Bonjol diakui sebagai pahalawan dalam perjuangan pembaruan masyarakat berdasarkan syariat Islam dan menentang kolonialisme Belanda. Namanya terkenal sebagai ahli pembangunan benteng dan strategi perang rakyat semesta. Ia diangkat sebagai pahlawan nasional dengan Surat keputusan Presiden No. 087/TK, 6 Novembember 1973. 


Tuanku Rao ( ……- 1830)
Murid Tuanku Imam yang terkenal bergelar Fakih Muhammad, seorang pemuda yang berasal dari Padang Mattinggi, Rao (Naskah Tuanku Imam Bonjol, tulisan Naali Sutan Caniago ). Ayahnya berasal dari Huta na Godang. Dalam tradisi Batak, Tuanku Rao adalah kemenakan dari Singamaraja X yang menguasai daerah Bangkara Toba. Nama kecilnya Pongki na Ngolngolan Ia belajar di Koto Tuo sampai mencapai gelar Fakih Muhammad. Kemudian ia belajar di Bonjol dengan Tuanku Imam. Setelah menyelesaikan pengajiannya di Bonjol, Fakih Muhammad diiringkan oleh Tuanku Nan Barampek berangkat ke Rao. Kedatangan rombongan mulanya disambut dengan perang. Kemudian orang Rao dapat dikejar sampai ke Langsek Kodok. Dalam peperangan ini Rajo Dubalang Rao kena tembak, sehingga mereka berdamai.
 

Yang Pituan Padang Unang berjanji akan menjalankan hukum syarak di nagari Rao dan akan menanam imam dan khatib. Tuanku nan Barampek dijemput Datuk Manjunjung Alam dari Padang Mattinggi untuk meresmikan Pakih Muhammad menjadi Imam Besar di nagari Rao dan bergelar Tuanku Rao yang disetujui Yang Dipertuan Padang Nunang dan penghulu Nan Lima Belas. Semenjak itu Fakih Muhammad lebih dikenal sebagai Tuanku Rao. Ia dibantu kemenakannya, Bagindo Suman, sebagai kepala hulubalang. Selama Perang Agama (1807 -1812) di Bonjol, Tuanku Rao ikut membantu Tuanku Imam Bonjol bersama Tuanku Mudo dan hulubalang meluaskan pembaruan ke daerah sekitarnya Rao sampai ke Rambah Kapanuhan dan ke Rokan, sehingga jalan dagang terbuka melalui Barumum.
 

Gerakan pembaruan ke kawasan Mandahiling Julu dan Mandahiling Godang semenjak tahun 1820 dapat diawasi Tuanku Rao dibantu oleh Raja Alam Pakantan dan Tuanku Natal. Daerah ini menghasilkan emas dan penduduknya berdagang melalui pelabuhan Natal. Gerakan pembaruan ke timur menuju Rokan dilanjutkan sampai ke Barumun, Rambah Kapanuhan, Kota Pinang dan Tanah Tumbuh. oleh Tuanku Tambusai, menantu Tuanku Rao, sehingga kawasan Batang Barumun dan Sosa, daerah penghasil emas dan jalur perdagang ke Kota Pinang dan Pedir dapat diawasi oleh Tuanku Tambusai. Tuanku Rao bersama hulubalang Tuanku Imam meluaskan pembaruan ke negeri Mahek, Kuok, Bangkinang sampai Salo dan Air Tiris. Di tempat itu disusun pemerintahan agama seperti menanam imam, khatib dan kadhi. Dua orang utusan Tuanku Natal, Tuanku Di Danau Air dan Tuanku Diukur melaporkannya kepada Tuanku Imam Bonjol. Untuk menghadapinya, Tuanku Imam menugaskan Tuanku Rao dan Bagindo Suman membantu Tuanku Natal menyerang kedudukan Belanda. Pertempuran ini mendapat bantuan kapal-kapal Trumon dari Aceh. Pelabuhan Natal dikepung 10.000 orang pasukan Rao Mandahiling selama 12 hari. Pasukan Rao dipimpinan Bagindo Suman menarik diri setelah perahu Saidi Marah kena tembakan kapal Nakhoda Langkap, sekutu Belanda. Ketika serangan ke Air Bangis, Tuanku Rao meninggal dunia (1830).
 

TUANKU NAN CADIAK (…..-1851)
Semenjak dahulu, Naras merupakan jalan niaga dan jalan agama tradisional dalam pengembangan surau di Minangkabau.. Tuanku Nan Cadiak, Kampuang Dalam, dikenal sebagai Bagindo Maganti. Tuanku Nan Cadiak sangat disenangi karena selalu melindungi rakyat yang membuat garam di daerah pantai. Di Kampung Dalam, di daerah Naras ia dikenal bergelar Bagindo Maganti. Setelah memimpin surau di Kampung Dalam, ia dipanggil muridnya Tuanku Nan Cadiak. Di kalangan rakyat Naras dan Tujuh Koto, ia seorang ulama yang disegani, karena selalu menjadi pelindung rakyat yang membuat garam di daerah pantai di daerahnya.. Berkali-kali Belanda menyerang rakyat Naras dan melarang membuat garam, selalu dipertahankan Tuanku Nan Cadiak sebagai pelindung pedagang di daerah pantai..
 

Pada tahun 1814, Raja Dihulu atau Rajo Nando, mamak Tuanku Nan Cadiak, meninggal dunia. Rajo Nando tidak mempunyai anak laki-laki yang akan menggantikannya. Tuanku Dihilir di Pariaman, Amar Bangso Dirajo, lebih senang apabila Bagindo Molek diangkat menjadi Raja manggung, daerah yang berbatasan dengan Pariaman. Rakyat Naras dan penduduk Agam yang membawa barang melalui Malalak terus ke Agam dan Pandai Sikek dan Koto Laweh. Ia juga menjadi pelindung fakih dan malin yang belajar di derah pantai, seperti Ampalu Tinggi dan Ulakan. Naras semenjak dahulu merupakan jalan niaga dan jalan agama tradisional dalam pengembangan surau di Minangkabau.. Tuanku Nan Cadiak adalah orang yang cerdas dan berhasil mengembalikan daerah Manggung menjadi pusat perdagangan dan pembaruan agama di daerah pantai, sekitar Pariaman..
 

Elout, Residen Belanda untuk Sumatra’s Westkust, mengirim surat kepada Tuanku Nan Cadiak, Tuanku Limo Koto Kampung Dalam dan Tuanku Tujuh Koto, menganjurkan mereka menyerah kepada Belanda, dengan perantaraan In’t Veld, seorang saudagar di Pariaman. Dikatakannya, segala ‘kesalahan’yang dilakukan selama ini, akan dimaafkan. Tuanku Nan Cadiak membalas surat Elout itu yang bunyinya, dengan senang hati ia membaca surat itu dan minta maaf ia tak bisa datang ke Pariaman, karena terlalu sibuk mengerjakan benteng. Tuanku Nan Cadiak mengundang In”t Velt dan akan menerima Veld di Naras sambil melihat-lihat pertahanan kampung yang telah diperkuat parit dan pertahanan meriam. Surat yang sama yang dikirim kepada Tuanku Limo Koto. Tuanku Limo Koto menjawab, bahwa ia akan menyerah, bila Tuanku Nan Cadiak telah menyerah diri.
Jawaban yang keras datang dari Tuanku Tujuh Koto menyatakan tidak akan datang kepada Anda, tetapi apabila orang Eropah mau datang, akan kami nanti karena kami merasa puas dengan pemerintah dan pemimpin kami. Sawah kami subur dan hasilnya mencukupi untuk keperluan kami.
 

Sejak semula Belanda ingin menguasai komoditi perdagangan dari Minangkabau. Untuk itu, Belanda berusaha menguasai pelabuhan-pelabuhan di pantai barat, seperti Naras, Tiagan dan Air Bangis. Dengan menguasai ketiga pelabuhan itu, Belanda beranggapan akan dapat menguasai komoditi Sumatera Barat yang sangat menguntungkannya. Usaha itu terlihat dari beberapa kegiatan pasukan Belanda untuk menguasai pelabuhan Naras, kunci jalan dagang dari Agam melalui Malalak. Tiagan dan Sasak di utara Tiku, suatu pelabuhan yang dilindungi bukit-bukit sebagai saluran komoditi dari daerah Kinali dan Bonjol. Demikian juga halnya dengan Air Bangis, pintu perdagangan dari Rao dan sekitarnya yang kaya dengan komoditi emas. Pasukan Bonjol bergerak ke pantai untuk memutuskan hubungan antara pedalaman dengan daerah pantai. Dua buah meriam yang direbut di Air Bangis, diserahkan kepada Tuanku Nan Cadiak. Bantuan itu menambah semangat Tuanku Nan Cadiak menentang kekuasaan Belanda. 


Pertarungan hebat terjadi antara pasukan Belanda yang menyerang kubu pertahanan Tuanku Nan Cadiak yang terjadi selama bulan Desember 1830. Pasukan Bonjol membantu Tuanku Nan Cadiak setelah mengundurkan diri ke Manggopoh. Pada tahun 1831, pasukan Belanda mencoba menyerang Naras dan Tujuh Koto di bawah pimpinan Jendral Michiels. Naras, sebuah kampung yang bagus terbakar oleh serangan meriam Belanda. Tuanku Nan Cadiak dan pengikutnya ingin mengungsi ke Bonjol melalui Danau Maninjau. Pada waktu pasukan Belanda mengejarnya rombongan Tuanku Nan Cadiak. Ibu, isteri dan putri Tuanku Nan Cadiak mati terbunuh. Kepala isterinya dipancung dan dipertontonkan kepada rakyat di Pariaman. Belanda mengumumkan akan memberi hadiah kepada orang yang dapat menangkap Tuanku Nan Cadiak. Dua orang putri Tuanku Nan Cadiak disandra Elout sehingga memaksanya menyerah kepada Belanda. 


Setelah menyerah kepada Belanda, Tuanku Nan Cadiak datang ke Bonjol sebagai juru bicara Belanda pada tahun 1832. Tuanku Imam sangat kecewa ketika Tuanku Nan Cadiak datang sebagai juru bicara Belanda.. Beberapa bulan setelah Tuanku Imam Bonjol menyerah pada akhir tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol berhasil mengadakan Kesepakatan Tandikek, hanya beberapa ratus meter dari pasukan Belanda di Bonjol. Pertemuan itu merundingan untuk melakukan serangan serentak kepada setiap pos Belanda di seluruh Minangkabau. Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Pamansiangan dan penghulu Lawang Tanah Duo Baleh (Palembayan), negeri Danau (Maninjau), Lubuk Sikaping dan Sipisang sepakat dengan orang Alahan Panjang melancarkan serangan serentak terhadap setiap pos Belanda pada tanggal 11 Januari 1833. 


Tuanku Imam dapat pula mempertemukan kedua pemimpin, Bagarsyah, raja Pagaruyung dan Sentot Ali Basyah. Tuanku Imam mengharapkan Sentot bersedia menjadi Sultan di Minangkabau. Pada saat lebaran Sentot bersama isterinya datang ke Pagaruyung. Sebagai seorang Islam, dia ingin berlebaran dan membayarkan zakat fitrahnya di Pagaruyung. Di saat lewat pada penjagaan pos Belanda di benteng Fot van der Cappelen. Sentot Prawirodirjo yang dipanggil masyarakat Minangkabau dengan Sentot Alibasya mwenegur mereka dengan sindiran, Bagagarsyah dan semua penghulu di Pagaruyung berjanji di bawah sumpah setia (bai’at) pada Sentot bahwa mereka akan mempertahankan agama dan negeri dari serangan Belanda. Elout sebagai Residen Sumatra’s West kust melapor kepada atasannya Gubernur Jendral di Batavia, bahwa Minangkabau telah aman dan siap untuk melakukan tanaman paksa kopi.
 

Ternyata seluruh Minangkabau melakukan serangan serentak, sehingga Elout, Residen Belanda, merasa dikhianati oleh Sentot. Belanda menangkap para penghulu dan pejuang di Guguk Sigandang. Kemudian Sentot Ali Basyah dan membuangnya ke Benghulu, Bagagarsyah Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung dibuang ke Betawi dan meninggal dunia pada tahun 18… dan dikuburkan di Mangga Dua.
Tuanku Nan Cadiak dari Naras dikirim ke Batavia kemudian disekap dalam penjara di bawah tanah di Taman Fatahilah. Kemudian dibuang ke Cerebon dan meninggal dunia pada tahun 1851.  

 

Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956)
Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), pada masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo. Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al Minangkabawy, karena ibunya adik beradik. Syekh Taher Djalaluddin, berangkat ke Mekah 1880, dan menuntut ilmu selama 15 tahun, kemudian meneruskan ke Al Azhar, di Mesir (1895-1898), dan kembali ke Mekah mengajar sampai tahun 1900. Beliau sangat ahli di bidang ilmu falak, dan tempat berguru Syekh Muhammad Djamil Djambek. Mulai tahun 1900 itu, Syekh Taher Djalaluddin menetap di Malaya, pernah diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak. Eratnya hubungan Syekh Taher Djalaluddin dengan perguruan tinggi Al-Azhar di Kairo, dia tambahkan al-Azhari di belakang namanya.

 

Syekh Taher Djalaluddin merupakan seorang tertua sebagai pelopor dari ajaran Ahmad Khatib di Minangkabau dan tanah Melayu. Bahkan ia juga dianggap sebagai guru oleh kalangan pembaru di Minangkabau. Pengaruh Syekh Taher Djalaluddin tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah ini bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, yang menjadi model Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908. 


Majalah Bulanan Al-Imam memuat artikel tentang pengetahuan popular, komentar kejadian penting di dunia, terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama, bahkan mendorong umat Islam betapa pentingnya memiliki sebuah Negara yang merdeka dan tidak dijajah. Majalah ini mendorong agar umat Islam mencapai kemajuan dan berkompetisi dengan dunia barat. Al-Iman sering mengutip pendapat dari Mohammad Abduh yang dikemukakan majalah Al-Mannar di Mesir. Majalah ini memakai bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan Jawi, dan disebarkan di Indonesia meliputi tanah Jawa (Betawi, Jakarta, Cianjur, Semarang, dan Surabaya), Kalimantan (di Pontianak dan Sambas), Sulawesi (di Makassar). Di Padang, Haji Abdullah Ahmad mencontoh bentuk dan moto Al-Iman pada majalah yang diterbitkannya di Padang bernama Al-Munir. Banyak masalah yang dibicarakan pada Al-Iman mendapat tempat pada Al-Munir.
 

Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan tahun 1927, namun ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda selama enam bulan, dituduh memfitnah dan menentang penjajahan melalui artikel-artikelnya di dalam majalah Al Iman itu. Setelah bebas Syekh Taher meninggalkan kampung halamannya dan tidak pernah kembali lagi ke daerah asalnya. Syekh Taher Djalaluddin meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar, Perak, Malaya. Gerakan pembaruaan di awal abad ini dapat disebut sebagai gerakan pembaruan para ulama zuama, yang sesungguhnya telah diwarisi sambung bersambung dalam rantai sejarah yang berkelanjutan semenjak dari dua gerakan Paderi sebelumnya. Dapat pula dinyatakan bahwa gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad 20 di Minangkabau menjadi mata rantai dari gerakan Paderi periode ketiga. Gerakan Paderi periode pertama, di awal abad kedelapan belas, dimulai pulangnya tiga serangkai ulama Minang (1802), terdiri dari Haji Miskin di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur Rahman, di Piobang, Luhak Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak nan Tuo, Tanah Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau, berawal dengan penyadaran semangat beragama Islam di dalam kehidupan beradat di Minangkabau. 


Gerakan Paderi perode kedua dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Ladang Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan perlawaanan terhadap penjajahan Belanda (1821-1837), dan lahirnya piagam Marapalam yang menyepakati adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di ranah Minangkabau. Gerakan Kembali ke Syariat yang dilaksanakan di bawah bimbingan Tuanku Nan Tuo, yang kemudian berlanjut kepada Gerakan Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh, yang kemudian sambung bersambung di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, sesungguhnya tidak menentang hukum waris berdasarkan garis ibu.
 

Gerakan pembaharuan yang dilaksanakan sejak Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol, lebih menguatkan harta pusaka, yang dimaksud adalah pusaka tinggi itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan kaum, dan oleh karena itu, harta pusaka dimaksud diturunkan kepada kemenakan, dan ditempatkan pada pengawasan garis perempuan. Namun mengenai harta pencaharian, kedua gerakan itu sependapat harus diwariskan kepada anak. Tuanku Imam Bonjol, sadar bahwa setelah utusan anak kemenakannya mempelajari hukum Islam ke tanah Mekah, menyatakan pembagian tugas yang nyata antara adat dan syarak atau agama. Bahwa masalah adat dikembalikan kepada Basa dan Penghulu, sedangkan masalah agama diserahkan kepada Tuanku atau malin.
 

Inilah doktrin ajaran adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad ke 20 di ranah Minangkabau ini, berawal dengan kepulangan para penuntut ilmu dari Makkah el Mukarramah, yang umumnya adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawiy, telah ikut memberikan sumbangan bagi pencerahan pemahaman dan pengamalan syari’at Islam, dan mendorong bagi munculnya perdebatan-perdebatan umum yang diikuti para ulama, kaum terpelajar, dan ahli-ahli adat, dan ikut pula membukakan kesempatan bagi lahirnya berbagai jenis perkumpulan yang bertujuan memperdalam ilmu agama dan adat istiadat, serta mendorong tumbuhnya pendidikan Islam, madrasah-madrasah samapai ke nagari-nagari, dan berdiri pula berjenis organisasi pergerakan, seperti Tarbiyah Islamiyah, Adabiyyah, Muhammadiyah, dan meluas sampai ke semenanjung Malaya, dibawa oleh Syekh Taher Jalaluddin yang lebih banyak melaksanakan dakwahnya di tanah semenjanjung itu.
 

Tak kurang penting timbulnya pergolakan-pergolakan kecil di beberapa tempat, biasanya membayangkan dinamika masyarakat adat dan agama di dalam membangun masyarakat di Minangkabau yang sedang mengalami perubahan, menumbuhkan keinginan baru untuk melakukan proses pemeriksaan kembali terhadap nilai-nilai kultur yang dipunyai. Ketika arah pembangunan dan perobahan sosial sedang terjadi, menuju suasana merebut kemerdekaan dan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, setelah berakhirnya penindasan panjang 350 tahun dijajah Belanda, dan beralihnya kekuasaan kepada Dai Nippon, maka merebut kemerdekaan menjadi wajib. Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan pemikiran Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, sejak empat puluh tahun sebelumnya juga telah digerakkan oleh para ulama zuama dengan basis ilmu pengetahuan agama dan adat istiadat, serta bahasan-bahasan perkembangan politik di Mesir dan Turki masa itu, ikut mendorong kepada pencarian model yang sesuai dengan yang haq, dan menuntut sikap beragama yang rasional, serta menumbuh kembangkan semangat kemerdekaan dalam berbangsa dan bernegara.
 

Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan serta pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam yang berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Sementara itu usaha-usaha pembaruan yang praktis, baik dalam bentuk sekolah dan madrasah-madrasah atau pun kerajinan desa, mulai bermunculan. Kaum pembaru pemikiran Islam berusaha mengembalikan ajaran dasar agama Islam dengan menghilangkan segala macam tambahan yang datang kemudian dalam din, agama, dan dengan melepaskan penganut Islam dari jumud, kebekuan dalam masalah dunia. Mereka berusaha memecahkan tembok tambahan dan jumud itu, agar dapat menemu kembali isi dan inti ajaran Islam yang sesungguhnya, yang menurut keyakinannya menjadi cahaya yang dapat menyinari alam ini.
 

Kaum pembaru berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, masih tetap terbuka; mereka menolak taqlid. Ijtihad membawa kaum pembaru untuk lebih memperhatikan pendapat. Keinginan untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan yang ideal menghadapkan Minangkabau pada pilihan-pilihan yang kadang-kadang saling bertentangan.
Model barat mungkin baik, tetapi dapat berarti ancaman pada dasar-dasar agama dan adat. Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks, memang merupakan pemecahan.
Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau? Dan, apa pula contoh yang bisa diikuti? Tetapi parameter adat sangat terbatas dan bias menutup jalan ke dunia maju dan mungkin pula menghadapkan diri pada masalah dosa dan tidak berdosa, soal batil dan haq. 


Syekh Muhammad Djamil Djambek
(1860 – 1947)

Syekh Muhammad Djamil Djambek adalah ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal abad ke-20, dilahirkan pada tahun 1860 di Bukittinggi, terkenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek lebih dikenal dengan sebutan Inyik Syekh Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda. Masa kecilnya tidak banyak sumber yang menceritakan. Namun, yang jelas Muhammad Djamil mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru (Kweekschool).
 

Sampai umur 22 tahun ia berada dalam kehidupan parewa, satu golongan orang muda-muda yang tidak mau mengganggu kehidupan keluarga, pergaulan luas di antara kaum parewa berlainan kampung dan saling harga menghargai, walau ketika itu kehidupan parewa masih senang berjudi, menyabung ayam, namun mereka ahli dalam pencak dan silat. Semenjak berumur 22 tahun, Mohammad Djamil mulai tertarik pada pelajaran agama dan bahasa Arab. Ia belajar pada surau di Koto Mambang, Pariaman dan di Batipuh Baruh. Ayahnya membawanya ke Mekah pada tahun 1896 dan bermukim di sana selama 9 tahun lamanya mempelajari soal-soal agama. Guru-gurunya di Mekah, antara lain,adalah Taher Djalaluddin, Syekh Bafaddhal, Syekh Serawak dan Syekh Ahmad Khatib. Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula Muhammad Djamil tertarik untuk mempelajari ilmu sihir kepada seorang guru dari Maroko, tapi dia disadarkan oleh gurunya. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal abu Qubais.
 

Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Djamil menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Djamil Djambek dihormati sebagai Syekh Tarekat. Dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak, dan belajar dengan Syekh Taher Djalaluddin. Di akhir masa studinya di Makkah, beliau sempat mengajarkan ilmu falak, yang menjadi bidang spesialisasi beliau, kepada masyarakat Sumatera dan Jawi yang bermukim di Mekah. Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Djamil Djambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang). 


Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Sekembalinya dari Mekah, Mohammad Djamil mulai memberikan pelajaran agama secara tradisional Karena beliau memelihara dengan rapi dan teratur jambang dan jenggotnya, maka muridnya mulai menyebutnya dengan Syekh Muhammad Djamil Djambek, atau Inyik Djambek. Murid-muridnya kebanyakan terdiri dari para kalipah tarekat. Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Djambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Kemudian ia meninggalkan Bukittinggi dan kembali menjalani kehidupan parewa di Kamang, sebuah nagari pusat pembaruan Islam di bawah Tuanku nan Renceh pada abad ke-19. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah surau, yakni Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang. Keduanya dikenal sebagai Surau tempat mengaji dengan Inyik Djambek. Di Kamang pula ia mulai menyebarkan pengetahuan agama untuk meningkatkan iman. 


Akhirnya, ia sampai pada pemikiran, bahwa sebagian besar anak nagari tidak melaksanakan ajaran agama dengan sempurna bukan karena kurang keimanan dan ketaqwaannya, tetapi karena pengetahuan mereka kurang tentang ajaran Islam itu sendiri. Ia mengecam masyarakat yang masih gandrung pada ajaran tarekat. Ia mendekati ninik mamak dan membicarakan berbagai masalah masyarakat. Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam juga berarti kemajuan, agama Islam tidak menghambat usaha mencari ilmu pengetahuan, perkembangan kehidupan dunia, dan menghormati kedudukan perempuan. Islam adalah agama universal, yang dasar ajarannya telah diungkapkan oleh para nabi, yang diutus kepada semua bangsa (QS. 10;47;2: 164; 35:24; 40:78). Tugas mereka diselesaikan oleh Nabi Muhammad saw, rasul utusan terakhir untuk seluruh umat manusia. 


Cita-cita pikiran untuk memajukan umat dengan agama Islam yang demikian, hanya dapat dicapai melalui pengamalan syariat, yang terbagi kepada tauhid dan ibadat. Dalam ibadah, semuanya terlarang, kecuali yang disuruh. Jadi cara-cara beribadah telah diperintahkan. Di tradisi-tradisi baru yang tidak ada perintahnya, maka tidak dapat diterima sebagai ibadah, dan disebut bid’ah. Di dalam kegiatan pemurnian agama, kaum pembaru menentang berbagai bid’ah yang dibedakan atas dua jenis, yaitu bid’ah menurut hukum (syar’iyah) dan dalam pemakaian bahasa (lughawiyah). Bid’ah syar’iyah tidak dapat dibiarkan berlaku, karena itu perlu diteliti dalam segala hal, apakah yang lazim dilakukan sehari-hari di bidang agama, dengan menggunakan akal dan berpegang kepada salah satu tiang hukum (Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas). Di samping itu ada pula bid’ah dalam soal kepercayaan (bid’ah pada I’tikad), sebagaimana ada pula bid’ah pada amalan, seperti mengucapkan niyah. 


Di dalam bid’ah lughawiyah dimasukkan, misalnya, mempelajari tatabahasa, mendirikan sekolah-sekolah agama, pembangunan-pembangunan menara, karena semuanya dipandang sebagai alat bantu yang disesuaikan dengan zaman untuk memenuhui perintah nabi, seperti ‘carilah ilmu’.
Islam pada masa kemajuan tidak harus berkembang sejajar dengan perkembangan inteletual, sebab ada hal yang dilarang dan disuruh, dalam batas halal dan haram, serta amat ma’ruf dan nahyun ‘anil munkar, sebagai sifat asli dari agama Islam. Agama juga mengatur hal yang bersangkutan dengan dunia. Masalah ini ada yang mengandung ciri ‘ubudiyah, dalam arti berdasarkan perintah dan bagian dari din Allah, sedangkan cara mengamalkannya bersifat duniawi. Umpamanya perintah memelihara anak yatim, menghormati orang tua, membersihkan gigi, yang pelaksanaannya sebagian besar terletak pada pilihan individu.
 

Kemudian sampai pula kepada persoalan yang lebih sensitif- sampai dimanakah kebebasan yang dimiliki memilih alternatif? Persoalan politik dan kemudian menyebarkan nasionalisme anti kolonial menuju Indonesia Raya tidak terlepas dari pergolakan intelektual ini. Tidak saja masalah fikh, tetapi juga masalah tauhid harus dihadapi dengan pikiran yang terbuka. Perbedaan yang fundamental antara inovasi yang menyalahi hukum hakiki, yang bersumber Quran dan Hadits, dan pembaruan sebagai akibat dari peralihan zaman, harus dibedakan dengan tegas. Para pelopor pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau berasal dari segala bidang profesi, di antaranya kalangan ulama (Haji Rasul), kalangan pedagang (H. Abdullah Ahmad), dan pada umumnya berhasil melepas dirinya dari tradisi yang ada, seperti Syekh Djamil Djambek, Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan Ibrahim Musa Parabek, di masa hidupnya dipandang sebagai ulama besar, tempat memulangkan segala persoalan agama dan kemasyarakatan pada umumnya.
 

Gerakan pembaruan pemikiran di bidang agama yang paling banyak terdengar di Sumatra Barat. Adakalanya mereka dinamakan kaum modernist atau disebut juga kaum muda.
Salah seorang di antara kaum pembaru itu adalah H.Abdullah Ahmad berkali-kali berkata, bahwa di setiap bidang boleh mempergunakan akal, yang sebenarnya adalah kurnia Tuhan, kecuali bidang agama. Jika kepercayaan tetap merupakan penerimaan saja atas wibawa guru- atau taqlid, maka kepercayaan itu tidak ada gunanya. Orang berakal harus pujaannya Allah dan untuk itu dipelajarinya akar-akar hukum (ushul al-fiqh). Untuk mengenalkan semua inti ajaran agama Islam ini kepada masyarakat luas diperlukan gerakan penyampaian berbentuk tabligh. Inyik Djambek memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat, dan mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji dengan cara bertabligh, di Surau Tangah Sawah Bukittinggi, dan menjadi Surau Inyik Djambek, sampai sekarang. 


Syekh Muhammad Djamil Djambek berkesimpulan bahwa ajaran agama Islam itu sebaiknya disampaikan melalui tabligh dan ceramah-ceramah (wirid-wirid) yang dihadiri oleh masyarakat banyak. Perhatiannya ditujukan untuk meningkatkan iman seseorang. Ia mendapat simpati dari tokoh-tokoh ninik mamak dan kalangan guru Kweekschool. Bahkan ia mengadakan dialog dengan orang non Islam dan orang Cina. Sifatnya yang populer ialah ia bersahabat dengan orang yang tidak menyetujui fahamnya, sehingga pada tahun 1908 ia mendirikan pusat kegiatan keagamaan untuk mempelajari agama yang dikenal dengan nama Surau inyiak Djambek di Tengah Sawah, Bukttinggi. Suraunya merupakan tempat pertemuan bagi organisasi-organisasi Islam. Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di Sumatra Barat. Mengutip Ensiklopedi Islam, Syekh Muhammad Djambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu. Demikian pula kebiasaan membaca riwayat Isra Mi’raj Nabi Muhammad dari kitab berbahasa Arab, digantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari, dalam satu tradisi ilmu.
 

Semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah, yang kemudian diikuti oleh para pembaru lainnya di ranah Minangkabau. Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah, dan Syekh Muhammad Djambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia “berhadapan” dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat. Syekh Mohammad Djamil Djambek kemudian menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syekh Muhammad Djambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam. 


Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Djambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat. Djamil Djambek tidak banyak menulis dalam majalah Al-Munir. Djamil Djambek mempunyai pengetahuan tentang ilmu falak, yang memungkinkannya menyusun jadwal waktu sembahyang serta untuk keperluan berpuasa di dalam bulan Ramadhan. Jadwal ini diterbitkan tiap tahun atas namanya mulai tahun 1911, dan karena Inyik Djambek dikenal sebagai Bapak Ilmu Falak, beliau menerbitkan Natijah Durriyyah untuk masa 100 tahun. Walaupun masalah ini sangat dipertikaikan dengan kaum tradisionalis.
 

Di samping kegiatan Inyik Djambek mengajar dan menulis, beliaupun aktif dalam kegiatan organisasi masyarakat. Pada tahun 1913, ia mendirikan organisasi bersifat sosial di Bukittinggi yang bernama Tsamaratul Ichwan yang menerbitkan buku-buku kecil dan brosur tentang pelajaran agama tanpa mencari keuntungan. Beberapa tahun ia bergerak di dalam organisasi ini sampai menjadi perusahaan yang bersifat komersial. Ketika itu, ia tidak turut lagi dalam perusahaan itu. Syekh Djamil Djambek secara formal tidak mengikat dirinya pada suatu organisasi tertentu, seperti Muhammadiyah dan Thawalib. Tetapi ia memberikan dorongan pada pembaruan pemikiran Islam dengan membantu organisasi-organisi tersebut. Beliau tercatat sebagai pendiri dari Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), yang didirikan pada 1919 di Padang, Sumbar. 


Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Djambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi. Pada 30 Desember 1947 (18 Shafar 1366 H), Inyik Djambek wafat, meninggalkan pusaka besar, wirid tsulasa (setiap hari Selasa), yang tetap hidup sampai sekarang. Beliau di makamkan di samping Surau Inyik Djambek di Tengah Sawah Bukittinggi, dalam usia 87 tahun. Beberapa bulan setelah itu, 26 Januari 1948 (14 Rabi’ul awal 1366 H), teman akrab Inyik Djambek dalam berdakwah, yakni Inyik Syekh Daud Rasyidy (terkenal dengan sebutan Inyik Daud, ayah Buya Datuk Palimo Kayo), meninggal dunia pula di Surau Inyik Djambek di Tangah Sawah ini, ketika mengimami shalat maghrib, dan besoknya dikuburkan di samping makamnya Inyik Djambek. Itulah sebabnya sampai sekarang ini, kita dapati makam kembar di samping surau Inyik Djambek ini. 

 

SURAU INYIK DJAMBEK WARISAN GERAKAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM MATA RANTAI GERAKAN PADERI DI MINANGKABAU

Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang penuh pergolakan sosial dan intelektual. Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu mulai banyak diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan dalam adat sesuI panduan syarak, agama Islam sangat ramai dibicarakan. Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855). Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim golongan Padri yang “benar-benar” anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai. 


Limbak Urai adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi. Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek Koto dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.

 

Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya. Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir. 


Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at Islam ditentangnya. Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia. 


Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan. Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut kaum tua. Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu. Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama. 


Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan. Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing. 


Ulama zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran, manakala Islam bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran agama yang bertujuan memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita itu ditemukan kembali dalam agama. Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam. Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme.
Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid. Salah seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah.
 

Jika kepercayaan hanya tumbuh semata-mata karena penerimaan atas wibawa guru semata, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu. Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947) , Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945) , dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933) . 


Haji Abdul Karim Amarullah .
Haji Abdul Karim Amarullah lebih dikenal dengan nama Haji Rasul. Haji Rasul dilahirkan di Sungai Batang Maninjau pada tahun 1879, anak seorang ulama bernama Syekh Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Ia mendapat pendidikan pada beberapa tempat di Minangkabau. Pada tahun 1894, ia pergi ke Mekah untuk belajar selama 7 tahun. Sekembalinya dari Mekah, ia diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo, sebagai pengakuan atas ilmunya. Kemudian ia kembali ke Mekah untuk beberapa tahun sampai tahun 1906. Selama bermukim kedua di Mekah ini, ia mulai memberi pelajaran. Murid-muridnya termasuk Ibrahim Musa dari Parabek, Bukittinggi yang kemudian menjadi salah seorang pendukung yang terpenting dari pembaruan pemikiran Islam, di Minangkabau. Ia meninggal di jakarta pada 2 Juni 1945 


Haji Rasul mulai mengajar di kampungnya, Sugai Batang Maninjau, kemudian mengunjungi Padang Panjang, Matur dan Padang. Tablighnya bersifat keras, yang ditandai dengan serangan terhadap perbuatan yang tidak disetujuinya sampai soal-soal kecil sekali pun, seperti ia mengecam baju kebaya dan terbukanya rambut seorang perempuan di hadapan bukan muhrimnya. Ketika ayahnya meninggal pada tahun 1907, ia melarang diadakan kenduri yang menyebabkan kekecewaan pada anggota keluarganya. Sikapnya bermusuhan terhadap adat dan kepada ninik mamak yang membedakannya dari sahabatnya kaum pembaru lainnya seperti Syekh Djamil Djambek dan Haji Abdullah Ahmad yang ibu mereka berasal dari luar Minangakabau. Haji Rasul mengadakan perjalanan ke luar daerah Minangkabau. Pada tahun 1915, ia bepergian ke Malaya dan ke Jawa. Di Malaya, Haji Rasul tidak disenangi oleh Sultan-Sultan serta guru agama di Malaya, karena keterikatan guru-guru agama dengan kebiasaan-kebiasaan tradisional. Di Jawa, ia berhubungan dengan pemimpin-pemimpin Sarekat Islam dan Muhamma-diyah.
 

Haji Rasul sangat aktif dalam gerakan pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Dialah yang memperkenalkan Muhammadiyah di Minangkabau pada tahun 1925. Suraunya di Padang Panjang tumbuh menjadi Sumatra Thawalib yang kemudian melahirkan Persatuan Muslimin Indonesia, suatu partai politik pada permulaaan tahun 1930. Ia menjadi penasehat Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) pada tahun 1920, dan memberikan bantuan mendirikan Sekolah Normal Islam di Padang pada tahun 1931. Ia menentang ajaran komunis dengan sangat gigih pada tahun 1920-an dan menyerang ‘’Ordonansi Guru” pada tahun 1928 serta ‘’Ordonansi Sekolah Liar ‘ tahun 1932. Dari tahun 1929 sampai tahun 1939, ia sering bepergian ke seluruh daerah di Sumatra untuk menyampaikan buah pikiran dan ajaran-ajarannya. Pada tahun 1941, ia ditahan Pemerintah Belanda dan dibuang ke Sukabumi dengan alasan bahwa kewibawaan dan kekuasaan pemerintah serta peraturan adat tidak berfunghsi selama ia bertempat tinggal di daerahnya. Haji Rasul meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 2 Juni 1945.
 

Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933)
Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878 sebagai anak dari Haji Ahmad yang dikenal sebagai ulama dan juga seorang pedagang kecil. Ibunya berasal dari Bengkulu. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya pada sebuah sekolah pemerintah, dan mendapat pendidikan agama di rumah dengan ayahnya. Pada tahun 1895, Abdullah Ahmad pergi ke Mekah dan kembali ke Indonesia pada tahun 1899. Sekembalinya dari Mekah, ia segera mengajar di kota Padang Panjang. Tindakannya yang pertama dilakukannya adalah memberantas bid’ah dan tarekat. Ia tertarik pula untuk menyebarkan pemikiran pembaruan melalui publikasi dengan jalan menjadi agen dari berbagai majalah pembaruan, seperti Al-Imam di Singapuran dan Al-Ittihad dari Cairo. 


Pada tahun 1906 Haji Abdullah Ahmad pindah ke Padang untuk menggantikan pamannya yang meninggal dunia sebagai guru. Dio Padang, ia mengadakan tabligh-tabligh dan pertemuan-pertemuan tentang masalah agama dan mendirikan Jamaah Adabiyah beberapa tahun kemudian. Pada mulanya jamaah ini hanaya delapan orang yang menghadiri cermahnya. Di samping itu ia memberikan ceramah-ceraman pada orang dewasa. Pengajiannya dilakukan dua kali seminggu secara bergantian dari rumah ke rumah. Kenyataannya tidak semua anak-anak pedagang di Padang mendapat pendidikan yang sistematis. Hal ini menyebabkan Haji Abdullah Ahmad membuka Sekolah Adabiyah pada tahun 1909, dengan bantuan para pedagang ini setelah ia mengunjungi sekolah Iqbal di Singapura. Haji Abdullah Ahmad sangat aktif menulis, malahan ia menjadi ketua persatuan wartawan di Padang pada tahun 1914. Ia mempunyai hubungan yang erat dengan pelajar-pelajar sekolah menengah di Padang dan Sekolah Dokter di Jakarta dan memberikan bantuan dalam kegiatan Jong Sumatranen Bond. Ia menjadi pendiri majalah Al-Munir yang terbit di Padang tahunn 1911 sampai tahun 1916, majalah berita Al-Akhbar tahun 1913, dan menjadi redaktur dalam bidang agama dari majalah Al-Islam tahun 1916 yang diterbitkan Sarekat Islam di Surabaya. Majalah A l-Islam yang dicetak dengan tulisan Arab Melayu (Jawi). Pananggungjawab Al-Islam adalah Oemar Said Cokroaminoto.
 

Pengetahuannya tentang agama sangat mendalam, yang diakui ulama-ulama Timur Tengah pada suatu konperensi khilafat di Kairo pada tahun 1926. Pengakuan itu dibuktikan dengan pemberian gelar kehormatan dalam bidang agama sebagai doktor fid- din. Haji Abdullah Ahmad meninggal dunia di Padang pada tahun 1933. 


Syekh Ibrahim Musa (1882 – 19.. )
Dua orang di antara murid bekas ulama-ulama tersebut kemudian menjadi pelopor pembaruan pemikiran Islam pula. Di antaranya Syekh Ibrahim Musa dan Zainuddin Labai al-Yunusi. Mereka menyebarkan peranannya dalam mendirikan lembaga pendidikan Islam yang bersifat modern. Setelah belajar pada beberapa perguruan, pada umur 18 tahun ia berangkat ke Mekah dan belajar di negeri itu selama 8 tahun. Ia kembali ke Minangkabau pada tahun 1909 dan mulai mengajar pada tahun 1912. kemudian ia berangkat lagi ke Mekah pada tahun berikutnya dan kembali pada tahun 1915. Saat itu ia telah mendapat gelar Syekh Ibrahim Musa atau Inyiak Parabek sebagai pengakuan tentang agama. Syekh Ibrahim Musa tetap diterima oleh golongan tradisi, walaupun ia membantu gerakan pembaruan. Ia menjadi anggota dua organisasi Kaum Muda dan kaum Tua, yaitu Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) dan Ittihadul Ulama. Zainuddin Labai al-Yunusi (1890- 1934). Zainuddin Labai adalah seorang auto-didact, yang mempelajari ilmu dan agama dengan tenaga sendiri. Ia tidak pernah menamatkan pelajaran pada sekolah formal. Pengetahuannya banyak diperolehnya dengan membaca sendiri dan kemampuannya dalam bahasa-bahasa Ingegeri, Belanda dan Arab sangat membantunya. Koleksi bukunya meliputi buku-buku bermacam bidang seperti aljabar, ilmu bumi, kimia dan agama.
 

Enam tahun lamanya ia membantu Syekh Haji Abbas, seorang ulama di Padang Japang, Payakumbuh dalam bidang kegiatan praktis. Dalam tahun 1913, Zainuddin memilih Padang Panjang sebagai tempat tinggalnya. Ia memulai mengajar di Surau Jembatan Besi, bersama Rasul dan Haji Abdullah Ahmad.  Zainuddin Labai banyak menulis artikel dalam majalah Al-Munir. Ia lebih tertarik pada kehidupan dan kegiatan tokoh kebangsaan seperti Mustafa Kamil, pendiri partai Hizb al Wathan di Mesir, Muhammad Abduh dan Rashid Redha yang lebih banyak memperhatikan sal-soal agama. Zainuddin Labai termasuk seorang yang mula-mula mempergunakan sistem kelas dengan kurikulum teratur yang mencakup pengetahun umum seperti bahasa, matematika, sejarah, ilmu bumi di samping pelajaran agama. Ia pun mengorganisir sebuah klub musik untuk murid-muridnya, yang pada saat itu kurang diminati oleh kalangan kaum agama. Ia seorang yang produktif dalam menulis buku teks tentang fikh dan tatabahasa Arab untuk sekolahnya. Terjemahan Autobiografi Mustafa Kamil diterbitkannya dalam bentuk serial artikel pada majalah Al-Munir di Padang Panjang. Zainuddin Labai adalah seorang termuda di antara tokoh pembaru pemikiran Islam di Minangkabau dan mempunyai harapan besar untuk perkembangan selanjutnya. Ia termasuk seorang anggota pengurus Thawalib dan mendirikan pula perkumpulan Diniyah pada tahun 1922 dengan tujuan bersama-sama membina kemajuan sekolah itu.
 

Rupanya Allah cepat memanggilnya,. Ia meninggal pada tahun 1934 dan kegiatannya dilanjutkan oleh adiknya yang bernama Rahmah al Yunusiyah, sebagai salah seorang pendidik kaum wanita di Minangkabau. Lembaga dan organisasi kaum pembaru Tanggal 19 Agustus 1928, dihadiri lebih kurang 800 orang ulama dan wakil 115 organisasi. Rapat ini terjadi karena mereka risau benar-benar, bahwa kemerdekaan beragama yang telah tertanam dalam hati nuraninya akan terganggu oleh peraturan Pemerintah Belanda. Aapalagi mereka berhadapan dengan wakil pemerintah yang mempunyai jabatan tinggi.
Pada umumnya para pembicara mengemukakan pendapat disertai kata-kata kasar terhadap maksud pemerintah Belanda untuk memberlakukan peraturan di daerah mereka .
 

Syekh Adam BB (1889 1953)
Pandeka yang Jadi Ulama

Syekh Adam BB, atas izin Allah, menghirup udara dunia 1889 di Nagari Balai balai Padangpanjang. Tanggal dan bulan kelahirannya persis sama dengan kelahiran Wihelmina, ratu Negeri Belanda yang tiap ulang tahunnya dirayakan dengan pesta rakyat di tanah jaja¬han Hindia Belanda. Selesai sekolah desa, Adam masuk Gouvernement dan lulus dengan angka angka tinggi. Bagi Adam muda, itu saja cukuplah. Anak ke¬luarga terpandang ini kemudian memilih mendalami silat. Dasar dasar ilmu bela diri tradisional itu memang sangat diminatinya sejak kecil ketika di surau, di mana dulu ia tidur, belajar membaca al Quran dan ilmu agama. Adam sebenarnya memperoleh kesempatan pendidikan lebih tinggi daripada kebanyakan bumiputera. Karena dialah putra Sami’un Datuk Bagindo, penghulu pucuk yang disegani dan pemutus kata pada tiap perundingan ninik mamak. Tapi Adam menampik masuk Sekolah Raja Bukittinggi. Tidak jelas benar alasannya. Yang terucap pada ayahnya hanyalah: “Saya takkan masuk Sekolah Raja, saya tak suka pakai pentalon.”
 

Sepanjang sepuluh tahun masa belianya, hingga usia menjelang 25 tahun, Adam berguru pada puluhan pandeka kenamaan dari berbagai aliran dan sasaran silat. Itulah pilihan jiwa muda dan jati dirinya. Dan puncaknya, Adam mematahkan perlawanan harimau dalam suatu perkelahian mencekam di tepi bukit kawasan Agam. Sejak itu tampillah Adam yang bertubuh tinggi kekar sebagai parewa gadang. Tempramennnya tinggi. Wataknya keras dan pantang kelangkahan. Pemuda yang sehari hari berbaju gunting cina “cap kelapa” serta sarung melilit bahu ini mencuat sebagai rajo cakak. Kegemarannya main sepakbola dan musik.

Mandor Orang Rantai Setelah merasa dewasa, ia pergi mencari untung ke Sawahlunto. Di sana ia langsung diterima bekerja di Tambang Batubara sebagai mandor “orang rantai” sebutan untuk buruh tambang yang ditang¬kap kembali setelah melarikan diri. Beberapa bulan bekerja di tambang, Adam pulang membawa segepok uang untuk diserahkan pada ibunda tercinta. “Bukan ini yang kuharapkan darimu!,” sergah sang ibu sambil mencampakkan uang pemberian anaknya. Inilah anti klimaks keparewaan seorang Adam. Sebuah kenyataan yang memaksanya mengartikan kembali perjalanan hidupnya. Bahwa menjadi orang bagak dan bapitih bukanlah segalanya; tidak suatu kebanggaan bagi ibu, orangtua dan masyarakat pribumi yang menger¬ti pahitnya hidup dijajah. 


Kesadaran ini mencuat kembali dalam diri Adam. Masa kecil di surau; mengaji dan belajar silat agar menjadi orang pandai dan berilmu adalah untuk melawan kemungkaran, membela kebenaran, orang lemah dan tertindas. Ini merupakan kesadaran kolektif masyarakat di mana Adam hidup dan dibesarkan. Kesadaran itulah yang membuat hardikan ibunya menjadi cambuk yang menyebabkan Adam luluh. Kembali ke Surau Tapi perasaannya tak menentu. Ia pergi meninggalkan Padangpan¬jang. Semula ia tetap bermaksud ke Sawahlunto untuk bekerja lagi. Hatinya berontak, tapi hardikan ibunya terngiang ngiang mengirin¬gi langkah gontainya menyusuri danau Singkarak. Penat berjalan, Adam terduduk di surau kecil tepi danau di kam¬pung Sumpur. Di surau itu seorang anak surau sedang membaca kitab. “Kenapa tulisan Arab tak berbaris itu bisa kau baca?, Adam ber¬tanya. “Itulah gunanya mengaji,” jawab anak itu lugas. 


Adam tercenung. Lalu berlari, kembali ke Padangpanjang. Ia ingin mengaji lagi, di Surau Jembatan Besi, surau yang merupakan basis ulama Minangkabau awal abad ke 20. Adam diterima menjadi murid Syekh Abdul Karim Amrullah. Murid tertua dan bertubuh paling gedang ini sering jadi bahan cemooh teman temannya. Inyiak Rasul, panggilan populer Syekh Abdul Karim Amrullah, juga tak kasih ampun. Bila Adam tak cepat menangkap kaji ia didamprat: “Segaek ini lambat juga mengerti….” Adam terlecut. ‘Jangan panggil aku Adam kalau tak dapat kaji,’ tekadnya. Dan memang, lepas mengaji di Surau Jemba¬tan Besi, Adam berguru pada Inyiak Daud. Syekh Daud Rasjidi baru saja pulang dari Mekah dan membuka surau di kampungnya, Balingka. Tapi tabiat parewa Adam masih sering terlongsong walau telah mengaji dan tinggal di Balingka. Salah salah banyak orang kena kakinya. Menghadapi perangai muridnya, Inyiak Daud yang juga pandeka tahu persis. Di depan orang banyak guru yang arif itu justru membela Adam walaupun bersalah. Beberapa kali peristiwa pembelaan serupa itu membuat Adam malu dan ragu. Akhirnya ia menghadap gurunya. Ia akui bahwa dialah yang menyebabkan cakak. Pakk! Inyiak Daud menampar muridnya. “Tahu bersalah kok tak mengaku sejak awal,” katanya berang. Pendekatan yang diambil Inyiak Daud dalam mendidik muridnya menimbulkan hubungan guru murid yang akrab, dan kecintaan murid yang dalam terhadap gurun¬ya.
 

Surau Pasar Baru
Tahun 1914 Adam diantar Inyiak Daud kembali ke Padangpanjang untuk belajar ke Surau Inyiak Jaho, karena musibah galodo mempor¬ak porandakan surau Balingka hingga semua murid pulang ke kampung masing masing. Adamlah yang tetap setia menemani gurunya.
Tidak sampai setahun belajar pada Syekh Muhammad Jamil Jaho, Adam mulai merasa cukup mantap untuk membuka surau sendiri. Tahun 1916 Adam mulai merintis sebuah halaqah sederhana di Kampung Pasar Baru Padangpanjang. Di bawah pengawasan Syekh Daud Rasjidi, 1920 halaqah itu kemudian diresmikan menjadi sebuah surau, populer disebut SPB singkatan: Surau Pasar Baru. SPB tidak lain dari obsesi keulamaan dan dan kependekaran Adam. Orientasi Pendidi¬kannya ditekankan pada penanaman aqidah yang didukung dengan ilmu ilmu agama, pembinaan fisik dan mental melalui latihan silat, dilengkapi pula dengan pelajaran kesenian dan ketrampilan. Lulusan ideal surau yang diinginkan Syekh Adam BB ialah kombinasi ulama, pandeka dan jiwa seni yang mandiri dan terampil, seperti¬tergambar pada profil dirinya. 


Tahun 1929 setelah masuknya sistem pendidikan moderen, SPB dikembangkan menjadi sistem klasikal, yang kemudian dinamakan Madrasah Irsyadin Naas (MIN). MIN, yang hingga kini tetap eksis, pada paruh awal abad ke 20 merupakan satu dari empat madrasah terkemuka di Padangpanjang. Berdampingan dengan perguruan Diniyah Puteri, Thawalib dan perguruan Muhammadiyah.
 

Dakwah Ulama yang Pandeka
Semangat anti penjajah yang tertanam kuat dalam diri Syekh Adam BB mempengaruhi perjalanan madrasah yang dipimpinnya. Ketika pemberlakuan Wilde Scholen Ordonantie oleh Kolonial, guru MIN diintimidasi dan sebagian ditangkap. Sewaktu Jepang masuk, Syekh Adam BB langsung masuk daftar hitam. Beliau dikejar kejar tentara Jepang, hingga beliau terpaksa tinggal di sebuah bukit kawasan Agam. Ketika Agresi Belanda, Syekh Adam BB menjadikan gedung MIN sebagai dapur umum dan markas perlawanan. Di sana diatur taktik untuk menghancurkan konvoi musuh. 


Cara yang ditempuh Syekh Adam BB mengajak orang ke jalan Islam menggambarkan sifatnya yang konsisten, keras tapi lugas dan sederhana. Suatu kali beliau menegur seorang pemuda bagak. “Kenapa tidak shalat?,” tanyanya tajam. “Tidak punya kain sarung, Mak Adam,” jawab sang pemuda. “Ini sarung, shalatlah!,” tukas Syekh Adam BB sembari menyerahkan sarung yang melilit bahunya. Suatu kali beliau diberitahu Bung Hatta, proklamator RI, bahwa banyak anak anak dhuafa di Mentawai yang dipengaruhi Missionaris. Syekh Adam BB langsung berangkat ke kepulauan masyarakat terbela¬kang itu, mengambil dan membawa 18 orang anak ke Padangpanjang untuk dijadikan anak asuh. Mereka bergabung dengan anak anak yatim dan miskin yang telah beliau tampung sebelumnya. “Anak anak itu diberi makan oleh Allah,” tukas Syekh Adam BB, setiap kali orang bertanya bagaimana ia memelihara anak anak itu. Syekh Adam BB memperlakukan anak anak asuhnya sebagaimana anak kandung sendiri. Sama makan, tempat tinggal, jatah pakaian dan keperluan lainnya. 


Pada kali lain, merebak perjudian di Padangpanjang. Syekh Adam BB minta bertemu gubernur. “Tuan seorang gubernur, kenapa orang berjudi saja Tuan tak bisa melarang?!” tanyanya. Besoknya segala bentuk perjudian di Padangpanjang digrebek atas perintah guber¬nur. Pribadi yang Mandiri Sebagai seorang ototidak, di samping terus menambah wawasan pengetahuan, Syek Adam BB rajin mempelajari dan memratekkan macam macam kerajinan industri kecil. Itu adalah di antara cara hidup mandiri yang telah mempribadi pada dirinya. Malah sampai usia lanjut, beliau tetap produktif; berusaha tidak meminta pada orang lain untuk menghidupi diri, anak dan istri, serta anak anak asuh yang ditampungnya, bahkan untuk mengayuh jalannnya madrasah. Sampai akhir hayatnya, keberadaan Syek Adam BB begitu berarti bagi masyarakat Padangpanjang khususnya, dan Minangkabau umumnya. Jiwa pendekarnya selaku ulama ternyata sangat diperlukan dalam masyarakat zamannya. Pada zaman penjajahan dan awal kemerdekaan, di mana banyak orang melarat sebanyak orang menindas, sebanyak perjuangan menegakkan kebenaran sebanyak itu pula kemungkaran. Jejak jejak Syekh Adam BB hingga kini masih membekas jelas di Padangpanjang. 

 
HMD DT.PALIMO KAYO (1905 – 1985)
Buya Datuk, Profil Tokoh Ulama dan Adat
Dalam kesejukan pagi, pada tanggal 17 Shafar 1321 H, bertepatan dengan tanggal 10 Maret 1905 di Pahambatan, Balingka, Kecamatan IV Koto (Kabupaten Agam) lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Mansur. Orang tua berbahagia yang menyambut kelahir¬an putranya kala itu adalah Syekh Daud Rasyidi dan Siti Rajab. Sebagai kepala keluarga, Syekh Daud Rasyidi sudah mengarahkan anaknya supaya taat beragama. Selain itu Syekh senantiasa beru¬paya agar semua anak anaknya antara lain; Anah, Mansur, Miramah, Sa’diah, Makmur dan Afifah agar giat belajar. Salah seorang putranya yaitu: Mansur Daud kemudian tumbuh dalam kerangka kemungkinan yang diberikan oleh latar belakang budaya serta lingkungan keluarga di sekitarnya. Cikal Bakal Seorang Pemimpin Muslim 


Pembentuk pribadi muslim yang pengaruhnya langsung terhadap Mansur Daud sudah diberikan oleh ayahnya, yang pekerjaannya memang memberikan pengajian dan ceramah ceramah agama. Besarnya perhatian dalam keluarga terhadap pendidikan ini memacu semangat Mansur Daud untuk terus menekuni Islam. Walaupun waktunya juga dibagi untuk kegiatan keseharian yang lainnya, tetapi, cikal bakal dirinya sebagai seorang pemimpin Muslim sudah mulai terlihat. Usia tujuh tahun memasuki sekolah Desa di Balingka pada tahun 1912. Pendidikan ini hanya diikuti selama satu tahun. Selanjutn¬ya, beliau pindah ke Lubuk Sikaping dan melanjutkan ke Gouvern¬ment School sampai tahun 1915. Mansur Daud meninggalkan Lubuk Sikaping, kemudian mempelajari agama Islam secara khusus di perguruan Sumatera Thawalib pada tahun 1917. Beliau langsung mendapat pendidikan dari ulama besar Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), sementara tetap mempelajari mata pelajaran agama pada Perguruan Islam Madrasah Diniyah di bawah asuhan Zainuddin Labay El Yunusi. Hampir seluruh waktunya diisi dengan mempelajari pendidikan agama Islam. Ke Mekah dan Mengembara Semasa Muda Usia Mansur Daud masih begitu muda ketika naik haji pada tahun 1923. Dalam usia yang belum cukup dua puluh tahun, beliau sudah menginjak kota suci Mekah serta langsung belajar agama Islam dengan Syekh Abdul Kadir Al Mandily. Salah seorang Imam Masjidil Haram itulah yang mendidik Mansur Daud selama lebih kurang satu tahun. Tetapi, lantaran adanya perang saudara di Mekah kala itu, Mansur Daud terpaksa kembali pulang ke Indonesia. 


Kepulangan itu mengantarkannya kembali menuntut ilmu di perguruan Islam Sumatera Thawalib, Parabek Bukittinggi.
Selama tahun 1924, Mansur Daud mendalami agama di perguruan Islam yang diasuh oleh Ibrahim Musa Parabek. Suasana politik yang tak menentu, yakni menyebarnya pengaruh komunis ke dalam perguruan Sumatera Thawalib, membuat Mansur Daud memutuskan untuk menghin¬darinya.
Tahun 1925, Mansur Daud berangkat ke mancanegara, menuju India. Langkah ini ditempuhnya guna menghindari pengaruh komunis kala itu. Di Negeri itu Mansur Daud kembali pada dunia yang dihadapin¬ya selama ini. Beliau belajar agama di Perguruan Islam Tinggi (Jamiah Islamiyah), Locknow, India. Abdul Kalam Azad sebagai Pemimpin perguruan tersebut langsung jadi pengasuh sekaligus pengajarnya. 


Selanjutnya, H. Mansur Daud melanjutkan belajar agama pada Isla¬mic College di Heydrabad, India. Dua bersaudara yang memimpin perguruan itu; Maulana Syaukat Ali dan Maulana Muhammad Ali cukup dikenal, sehingga mereka dijuluki Two Brother oleh masyara¬kat. Serupa namanya, perguruan tinggi agama Islam yang mereka pimpin juga cukup dikenal oleh masyarakat, terbukti banyak murid yang datang dari luar India. H. Mansur Daud adalah salah seorang diantaranya. Selama lebih kurang 5 (lima) tahun, H. Mansur Daud mengembara, menuntut ilmu di India. Pengembaraanya buat sementara ke mancane¬gara usai. Beliau pulang dan sempat singgah di Malaysia. Beliau langsung ke pulau Jawa. Periode Aktifitas Organisasi Setiba di Jawa Haji Mansur Daud bertemu dengan sejumlah tokoh pimpinan organisasi dan politik antara lain: H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, K.H. Ahmad Dahlan, dan K.H. Fakhruddin. Sejak bergabung dengan beberapa tokoh itu, beliau terpacu untuk berki¬prah dalam organisasi.
Aktifitas organisasi yang telah dimulainya sekembali dari India sejak tahun 1930 diwujudkan dalam suatu kongres di Sumatera Thawalib, Bukittinggi. 


Kongres di Sumatera Thawalib itu mewujudkan Persatuan Muslim Indonesia (PMI). Peranan H. Mansur Daud dapat dikatakan penting. Terbukti dari Jabatan Sekretaris umum yang dipegangnya pada PMI sejak didirikan tahun 1930. H. Mansur Daud kemudian berperan dalam membentuk partai politik Indonesia yaitu Persatuan Muslim Indonesia (PERMI).
Periode penjajahan Jepang memperlihatkan kemajuan aktifitas H. Mansur Daud. Salah satu upayanya adalah membentuk badan koordi¬nasi alim ulama Minangkabau. Badan itu, Majlis Islam Tinggi (MIT), diketuai pertama kali oleh Sykeh Sulaiman Ar Rasuli, yang lebih dikenal dengan Inyiak Canduang.
Penjajahan Jepang membuat rakyat begitu menderita. MIT seolah menjadi tempat mengadu bagi rakyat. 


Jepang yang berupaya menghapus organisasi seperti Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, seolah luput mewaspadai Majlis Tinggi Islam. Tokoh ulama yang duduk dalam MIT sangat berpengar¬uh dalam sepak terjang pejuang ketika berhadapan dengan pihak Jepang kala itu. Kiprah dalam Agama dan Adat Sejalan dengan kekalahan tentara Jepang, dan keberhasilan Bangsa Indonesia merebut kemerdekaan membuat segenap warga ingin menda¬rmabaktikan perjuangannya. H.Mansur Daud menggiatkan kiprahnya di bidang agama lewat dakwah dan ceramah di mesjid mesjid. Muncul sebagai mubalig dan seorang tokoh Islam yang memperjuangkan hak hak rakyat kecil. H. Mansur Daud, tetap eksis,terutama sejak M.I.T difusikan ke Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) di Yogyakarta pada bulan Februari 1946. H.Mansur Daud cukup didengar dan dihargai pendapatnya. Didahulu¬kan selangkah, ditinggikan seranting oleh anak kemenakan. Disera¬hi posisi penting dalam adat sebagai seorang ninik mamak. Gelar adat yang kemudian dipangkunya adalah Datuk Palimo Kayo. 

 
Posisinya dalam raad (Dewan) Nagari dimanfaatkannya untuk memu¬syawarahkan soal harta pusaka bersama ninik mamak pada 2 4 Mei 1953 di Gedung Nasional Bukittinggi. Beliau juga melakukan akti¬fitas lain dalam usaha meningkatkan dan mensejahterakan masyara¬kat khususnya di Minangkabau. Upaya yang dilakukannya meliputi; pembangunan masjid, mushalla maupun sekolah agama. Hal terpenting, beliau sangat memperhatikan soal persatuan khu¬susnya sesama alim ulama. 


Semangat dan Pengabdian
Kegiatan di bidang politik semakin membawa HMD Datuk Palimo Kayo menjadi tokoh teras melalui semangat dan pengabdian yang ia curahkan. Terbukti ketika dirinya dipercaya sebagai Ketua umum Masyumi wilayah Sumatera Tengah. Salah satunya karyanya adalah membentuk markas Perjuangan Hizbul¬lah guna mewaspadai kembalinya penjajah, meskipun Bangsa Indone¬sia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945. Saat Masyumi mendapat tempat dengan keikutsertaan pada pemilihan umum pertama pada tahun 1955, HMD Datuk Palimo Kayo duduk di parlemen selama setahun sampai tahun 1956. Karir politik HMD Datuk Palimo Kayo di tataran negara semakin melesat ketika pemerintah menunjuknya sebagai Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia (RI) untuk negara Irak sampai tahun 1960. 


Sekembali dari Irak, mengakhiri tugas sebagai duta besar, ia menyaksikan partai politik Islam Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Antara tahun 1961 1967 HMD Datuk Palimo Kayo aktif berdakwah dan menekankan peningkatan kemakmuran umat. Dewan Dakwah Islamiyah yang diketuai Mohammad Natsir juga turut dirancang Buya Datuk sejak didirikan pada tahun 1968. Tanggal 3 Januari 1968, beliau turut mendirikan Yayasan Rumah Sakit Islam (YARSI). Upaya yang dilakukan melalui wadah sosial serupa itu kemudian semakin melengkapi pengabdian HMD Datuk Palimo Kayo dalam memperhatikan kesejahteraan rakyat. Bidang pendidikan turut jadi perhatian beliau. Bersama sama guru agama Islam beliau melangsungkan rapat pada 17 Desember 1978. Persatuan Guru guru Agama Islam (PGAI) berupaya mengembangkan dunia pendidikan yang selama ini dipandang sangat strategis melahirkan tokoh tokoh besar. 


Riwayat hidup HMD Datuk Palimo Kayo yang begitu sarat dengan segala bentuk aktifitas memang layak mendapat perhatian secara ilmiah. Sejumlah kalangan yang dekat, baik dari keluarga maupun sesama ulama sangat menghargai keberadannya. Kalangan akademik kemudian menjadikan sosoknya sebagai sumber tulisan ilmiah seka¬ligus mencermati kiprahnya sepanjang hayatnya. Pihak pihak lain yang memberikan semacam kerangka penilaian tentang eksistensinya. Mengutip Sastrawan sekaligus Budayawan AA Navis dalam tulisan Marthias D. Pandoe tentang Buya HMD Datuk Palimo Kayo, “sebagai seorang ulama yang konsekuen dengan pendiriannya walau apapun dihadangnya. Imannya kuat, tidak dapat dibeli dengan kedudukan maupun uang. Mungkin riwayat hidupnya yang penuh pengalaman itu menjadikannya tangguh”, (Kompas, 26 Juli 1981). 


Kelangkaan akan keberadaan ulama sekaliber HMD Datuk Palimo Kayo kiranya jadi titik tolak untuk mengenang tokoh ulama ini. Sungguh layak riwayat hidup beliau ditulis di tingkat perguruan tinggi seperti yang telah ada berupa “Biografi”, yang disusun Linda Fauzia dalam tugas akhirnya untuk meraih sarjana, dengan anali¬sisnya; “Buya Haji Daud Datuk Palimo Kayo: Profil Seorang Ulama dan Penghulu di Minangkabau.” (Fakultas Sastra Universitas Anda¬las Padang, 1993). Hingga akhir hayatnya, Buya HMD Datuk Palimo Kayo senantiasa teguh dalam sikap telitinya, meskipun terhadap hal sekecil seka¬lipun. Kenyataan tersebut diungkapkan oleh seorang mubalig yang giat mensyiarkan Islam H. Mas’oed Abidin. Tokoh ulama besar ini telah meninggalkan kita buat selama lamanya pada tahun 1988. Namun selama hayatnya beliau tetap memacu semangat dan militansi Islam yang tak kunjung padam.

 

Syekh Haji Zainuddin Hamidy (1907 1957)
Ulama Diplomat Anti Kekerasan

Syekh Haji Zainuddin Hamidy lahir pada 8 Februari 1907 di 

 

 
Berkas:WhatsApp logo-color-vertical.svg - Wikipedia bahasa Indonesia,  ensiklopedia bebas    Instagram Logo Vectors Free Download    Facebook Logos PNG images free download    logo twitter – HIMAFIS UB    Logo Messenger realistic icon on transparent PNG - Similar PNG    Kumpulan Gambar Logo YouTube Lengkap - 5minvideo.id