Ilham - Call / WA +6281267 45797...........

Sejarah Islam di Minangkabau 3


Syekh Haji Zainuddin Hamidy (1907 1957)
Ulama Diplomat Anti Kekerasan

Syekh Haji Zainuddin Hamidy lahir pada 8 Februari 1907 di Koto Nan Ampek, Payakumbuh. Ayahnya adalah Abdul Hamid yang dikenal sebagai “orang bagak,” yakni julukan yang diberikan kepada pemuda Minangkabau yang disegani karena keberanian dan ilmu beladirinya. Kecintaan pada Ilmu Pengetahuan, Setelah menamatkan Gouvernement di Payakumbuh, Zainuddin melan¬jutkan pendidikannya ke Madarasah Thawalib Darul Funun el Abbas¬siyah di Padang Japang. Kecintaan Zainuddin muda kepada ilmu pengetahuan tampak pada kegiatannya untuk senantiasa menuntut ilmu kapan dan di mana saja. Jika pulang kampung dalam masa libur di darul Funun, misalnya, Zainuddin mendatangi Tuangku Karuang di Batang Tabik untuk mengaji. Di Batang Tabik ini Zainuddin berke¬nalan dengan H Fachruddin HS, yang kemudian menjadi kawan yang akarab dalam perjuangannya. 
 
Setelah menyelesaikan pendidikan di Darul Funun, Zainuddin lang¬sung diminta Syekh Abbas Abdullah mengajar di madrasah itu. Namun tak lama kemudian, karena merasa ilmunya belum cukup, Zainuddin memilih melanjutkan pendidikan ke Mekah. Tahun 1927 Zainuddin berangkat ke Mekah dan belajar di Ma’had Islamy.

Di perguruan yang terkenal itu Zainuddin belajar selama lima tahun. Kembali ke Tanah Air pada 1932, Zainuddin diminta mengajar di Diniyah School. Pada masa itu Diniyah School adalah perguruan Islam terkemuka di Payakumbuh yang didirikan Engku Mudo Hamzah dan Engku Mudo Muhammad. Kiprah di Dunia Pendidikan. Karena prestasi dan kepercayaan para pendiri Diniyah School pada Syekh Zainuddin, kepemimpinan perguruan itu kemudian diamanahkan kepadanya. Sejalan dengan idealisme keilmuan yang dituntutnya di Ma’had Islamy Mekah, nama perguruan Diniyah School diganti dengan Ma’had Islamy Payakumbuh.

Di bawah kepemimpinan Syekh Zainuddin Hamidy, Ma’had Islamy Payakumbuh berkembang dengan sangat pesat. Pada 1936 jumlah pelajar Ma’had lebih 700 orang. Melihat perkembangan murid yang menggembirakan itu, Zainuddin mengambil inisiatif untuk membangun gedung belajar yang lebih besar. Di atas tanah wakaf keluarga Dt Rajo Basa dan pembelian Zainuddin sendiri, di Koto Nan Ampek Payakumbuh, dibangunlah gedung Ma’had Islamy yang tergolong megah untuk saat itu. Malang tak dapat ditolak, begitu gedung hampir rampung, angin topan yang sangat kencang merobohkan gedung itu.

“Asa Rabbuna an yubdilana khairan minha,” ucap Syekh Zainuddin Hamidy dengan ikhlas, semoga Allah memberi gantinya dengan yang lebih baik. Meski gedung porak poranda namun pendidikan jalan terus. Dalam masa yang sulit itu tekanan dari pihak kolonial datang pula. Belanda memasukkan coro (kakitangan) dengan menyamar menjadi murid di Ma’had Islamy untuk memata matai guru guru yang berbi¬cara menentang kolonial. Semua cobaan itu dihadapi Zainuddin Hamidy dengan sabar dan tawa¬kal. Beliau mencoba terus berbuat. Bersama Nashruddin Thaha dan kawan lainnya, Zainuddin ikut mempelopori berdirinya Training College Payakumbuh. Bidang pendidikan memang telah menjadi fokus perhatian utama Syekh Zainuddin Hamidy dalam perjuangannya. Selain mengajar dan memimpin Ma’had Islamy, Syekh Zainuddin juga mengajar di SMI, PGA dan SGHA Bukittinggi. Beliau juga ikut mengasuh Training College. 
 
Untuk meningkatkan pengetahuan agama murid muridnya, Syekh Zai¬nuddin Hamidy membuka pengajian halakah. Pengajian secara berkala itu diikuti guru guru dan murid murid kelas terakhir Ma’had Islamy. Pengajian ini terutama berorientasi pada rangsangan dan gairah berpikir.

Syekh Zainuddin Hamidy dikenal luas sebagai ahli agama, hafidz, ahli hadits, pengarang di samping sebagai tokoh pendidikan. Sering pula beliau disebut sebagai politikus, organisator, pemi¬kir yang berpandangan jauh ke depan dan berpikir jernih. Beliau orang yang konsekuen, tegas dan ramah. Sebagai pengarang beliau menerjemahkan dan menulis beberapa buku, antara lain, terjemahan Al Quran Kariem, terjemahan Shahih Bukhari, terjemahan Hadits Arbain, Musthalah Hadits dan Kitab At Tauhid. Lima Sekawan Pada tahun 1930 an di Payakumbuh muncul Kelompok Lima Serangkai. Kelompok ini terdiri dari tokoh tokoh terkemuka yang secara rutin bertemu dan berdiskusi tentang masalah masalah umat dan langkah langkah perjuangan. Kelompok lima itu tediri dari Syekh Zainuddin Hamidy, Fachruddin HS Dt Majo Indo, Arisun St Alamsyah, H Nasrud¬din Thaha dan H Darwis Taram Dt Tumanggung. Lima sekawan inilah kekuatan yang mengerjakan perlawanan terhadap kaum penjajah. Dari lima orang tokoh itu Syekh Zainuddin Hamidy lebih dituakan dalam memutuskan masalah masalah yang pelik, karena ilmu beliau lebih dalam.

Bersama teman temannya, Syekh Zainuddin Hamidy mendirikan PERMI di daerah 50 Kota. PERMI kemudian berubah menjadi MIT, dan ak¬hirnya menjadi MASYUMI hingga wafat beliau. Pada masa penjajahan Jepang, Syekh Zainuddin menjadi Gyu Gun Ko En Bu. Di zaman awal kemerdekaan Syekh Zainuddin menjadi ketua Komite Nasional Indonesia Kab. 50 Kota, di samping aktif dalam Panitia Dana Emas Perjuangan. Dalam perjuangan fisik, Syekh Zainuddin Hamidy juga mengambil peranan penting. Beliau mengge¬lorakan semangat jihad para lasykar pejuang yang dikirim ke fron pertempuran. Ketika Agresi Belanda II Syekh Zainuddin Hamidy ikut perang gerilya. Saat itu Ma’had Islamy ditutup. Diutus Menghadap Soekarno

Pada tahun 1950, Syekh Zainuddin Hamidy kembali membuka Ma’had Islamy. Ketika itu terjadi ketegangan dan konflik antara pemerin¬tah daerah dengan Pemerintah Pusat. Dalam hal ini Syekh Zainuddin berperan dalam upaya penyelesaian. Di sini tampaklah bahwa bahwa beliau orang yang moderat dan anti kekerasan. Tahun 1957 Syekh Zainuddin Hamidy diutus Pemerintah Daerah untuk berunding dengan Presiden Soekarno di Istana Negara, Jakarta. Kembali dari perundingan itu, suatu kali beliau berkata pada isterinya: “Usul awak kurang dapat perhatian Presiden Soekarno, barangkali akan terjadi perang saudara. Tapi awak jangan melihat hendaknya.”

Pagi hari Jumat tanggal 29 Maret 1957, Syekh Haji Zainuddin Hamidy meninggal dunia, berpulang ke Rahmatullah. Kepergian beliau begitu tiba tiba, tanpa menderita sakit. Bahkan pada malamnya beliau masih menghadiri pertemuan bersama Kol M Simbolon dan tokoh tokoh lain di Gedung Pertemuan Payakumbuh. Masyarakat kehilangan seorang ulama modern, pembaharu, serta seorang idealis yang hidup sederhana. Hamka bertutur:”…Ustadz Syekh Haji Zainuddin Hamidy adalah seorang yang sederhana. Perca¬kapan dari mulutnya hanya satu satu, tidak banyak. Bila orang bercakap tentang yang tidak berfaedah, ia hanya diam. Jika orang bertanya, dijawabnya dengan senyum. Senyum yang mengandung seribu satu arti…”

Hamka
Biografi amka
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. 
 
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.


Daftar Karya Buya Hamka

1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.
2. Si Sabariah. (1928)
3. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.
4. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).
5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).
6. Kepentingan melakukan tabligh (1929).
7. Hikmat Isra’ dan Mikraj.
8. Arkanul Islam (1932) di Makassar.
9. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.
10. Majallah ‘Tentera’ (4 nomor) 1932, di Makassar.
11. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.
12. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.
13. Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.
14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
15. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
16. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.
17. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.
18. Tuan Direktur 1939.
19. Dijemput mamaknya,1939.
20. Keadilan Ilahy 1939.
21. Tashawwuf Modern 1939.
22. Falsafah Hidup 1939.
23. Lembaga Hidup 1940.
24. Lembaga Budi 1940.
25. Majallah ‘SEMANGAT ISLAM’ (Zaman Jepun 1943).
26. Majallah ‘MENARA’ (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.
27. Negara Islam (1946).
28. Islam dan Demokrasi,1946.
29. Revolusi Pikiran,1946.
30. Revolusi Agama,1946.
31. Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.
32. Dibantingkan ombak masyarakat,1946.
33. Didalam Lembah cita-cita,1946.
34. Sesudah naskah Renville,1947.
35. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.
36. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar.
37. Ayahku,1950 di Jakarta.
38. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.
39. Mengembara Dilembah Nyl. 1950.
40. Ditepi Sungai Dajlah. 1950.
41. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.
42. Kenangan-kenangan hidup 2.
43. Kenangan-kenangan hidup 3.
44. Kenangan-kenangan hidup 4.
45. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.
46. Sejarah Ummat Islam Jilid 2.
47. Sejarah Ummat Islam Jilid 3.
48. Sejarah Ummat Islam Jilid 4.
49. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.
50. Pribadi,1950.
51. Agama dan perempuan,1939.
52. Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.
53. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).
54. Pelajaran Agama Islam,1956.
55. Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.
56. Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.
57. Empat bulan di Amerika Jilid 2.
58. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.
59. Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.
60. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.
61. Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.
62. Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.
63. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.
64. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.
65. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.
66. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.
67. Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).
68. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).
69. Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.
70. Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.
71. Himpunan Khutbah-khutbah.
72. Urat Tunggang Pancasila.
73. Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.
74. Sejarah Islam di Sumatera.
75. Bohong di Dunia.
76. Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).
77. Pandangan Hidup Muslim,1960.
78. Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.
79. [Tafsir Al-Azhar][1] Juzu’ 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh Sukarno.


Aktivitas lainnya
Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat, 1936-1942
Memimpin Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956
Memimpin Majalah Mimbar Agama (Departemen Agama), 1950-1953
Tafsir Al-Azhar Online Rujukan Kenangan-kenangan 70 tahun Buya Hamka, terbitan Yayasan Nurul Islam, cetakan kedua 1979.
Pranala luar
(id) Ceramah Buya Hamka
(id) Info lain tentang Hamka
(id) Tafsir Hamka Online

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Meninjau sehingga Darjah Dua. Ketika usia HAMKA mencecah 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA telah mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo. 
 
Kerjaya HAMKA bermula sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik sebagai pensyarah di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau dilantik sebagai Rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustapo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau dilantik sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jawatan apabila Sukarno memberi kata dua sama ada menjadi pegawai kerajaan atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslim Indonesia (Masyumi).
 
HAMKA lebih banyak belajar sendiri dan melakukan penyelidikan meliputi pelbagai bidang ilmu pengetahuan seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah, sosiologi dan politik, sama ada Islam ataupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-’Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggeris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Freud, Toynbee, Jean Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. HAMKA juga rajin membaca dan bertukar-tukar fikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Chokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fakrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang pemidato yang handal.

HAMKA juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau menyertai pertubuhan itu mulai tahu 1925 bagi menentang khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cawangan Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, HAMKAmendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makasar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S. Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Jogjakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Julai 1957, Menteri Agama Indonesia iaitu Mukti Ali melantik HAMKA sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 kerana nasihatnya diketepikan oleh kerajaan Indonesia.

Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia.

Karena dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam. HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

HAMKA pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormat Doktor Honoris Causa, Universiti al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada kerajaan Indonesia.
HAMKA telah pulang ke rahmatullah pada 24 Julai 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Dr. H. Mohammad Natsir (1908 – 199).

Bumi Minangkabau, tepatnya Kampung Jambatan Baukia Alahan Pan¬jang, negeri dingin di balik Gunung Talang Solok menjadi saksi kelahiran Pembawa Hati Nurani Ummat, tokoh yang kemudian mendu¬nia, pemikir dan pemimpin politik , Mohammad Natsir, pada 17 Juli 1908. Putra Sutan Sari Pado dan Khadijah yang kemudian menjadi tokoh nasional bahkan aset internasional dari berbagai segi: agama, politik, sosial budaya, ilmu pengetahuan, ketelada¬nan, pemikiran, bahkan menjadi mata air kajian ilmiah dalam berbagai seminar, simposium, untuk skripsi, thesis serta diserta¬si para doktor berbagai disiplin ilmu.

Masa kanak kanak beliau lalui di tengah pergolakan pemikiran para tokoh besar pembaharu dari Ranah Minang. Belajar di pendidikan dasar Sekolah Belanda, Natsir kecil dengan tekun mengikuti gebra¬kan para tokoh besar di negerinya. Dari usia delapan tahun (1916) sampai 15 tahun (1923) Natsir remaja menggali kekayaan para ulama itu di HIS Adabiyah Padang dan Madrasah Diniyah Solok.

Natsir aktif dalam Jong Islamiten Bond Padang sewaktu melanjutkan pendidikan ke MULO Padang tahun 1923. Masih dalam jalur pendidi¬kan Belanda, beliau melanjutkan pendidikan ke AMS (A2) di Ban¬dung. Kesempatan tersebut membawa beliau berkenalan dengan ustaz A. Hassan, tokoh PERSIS (Persatuan Islam) garis keras, yang membimbing beliau melakukan studi tentang Islam. Dengan ustaz ini beliau mengelola majalah “Pembela Islam” sampai tahun 1932.
Natsir secara formal mengikuti pendidikan barat di sekolah sekolah Belanda. Beliau selesaikan pendidikan Al Gemene Middel School di Bandung dalam kajian Kesusastraan Barat Klasik.

Sebenarnya beliau punya kesempatan memperoleh besiswa untuk melanjutkan sekolahnya ke Leiden pada pendidikan yang lebih ting¬gi. Namun beliau memilih mendalami kajian keagamaan melalui ustaz A. Hassan yang dikenal dengan ulama yang berpaham radikal dan jadi sesepuh organisasi sosial keagamaan. Beliaupun menolak tawaran bekerja sebagai pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda dan lebih tertarik menekuni dunia pendidikan. Obsesi itu membuat ia mendirikan Yayasan Pendidikan Islam di Bandung sekaligus menjabat Direktur dari tahun 1932 1942.

Keluasan wawasannya mencuat kepermukaan setelah dapat menguasai beberapa bahasa asing sebagai alat untuk menggali buku buku tokoh kelas dunia. M. Natsir mulai berkecimpung dalam dunia politik setelah beliau menjadi anggota PII (Partai Islam Indonesia) pada awal tahun 40 an, memimpin organisasi yang terkenal radikal untuk bumi pancasila. Majelis Al Islam A’la Indunisiya (MIAI) semakin berkiprah setelah kepemimpinannya. Bahkan dalam masa penjajahan Jepang ( 1942 1945) sesepuh dari berbagai kalangan ini masih sempat jadi kepala bagian kodya Bandung sekaligus merangkap sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta.

Di samping itu dalam masa Pemerintah Jepang terbentuklah Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) di bawah kepemimpinannya. Kiprah politiknya semakin menanjak semenjak beliau tampil jadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tahun 1945 1946 dan menjabat anggota DPR sementara di tahun 1948 menjabat sebagai Menteri Penerangan. Karier politiknya sampai ke puncak ketika ia dilantik menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia. Peranan beliau amat menentukan dalam penyelamatan Republik Prok¬lamasi di tahun 50 an. Mosi Integrasinya adalah manuver politik yang mengantarkan dia menjadi Perdana Menteri pada usia 42 tahun. Ibarat roda, kariernya sebagai politikus mengalami pasang surut setelah bergesekan dengan dinding kekuasaan yang waktu itu bera¬tribut Demokrasi Terpimpin yang menjadikan angin segar bagi Komunis untuk menyibakkan sayapnya di persada ini. Di tengah gelombang politik yang semakin mengempas ia terdampar di pantai oposan yang digerakkan oleh para Panglima militer di berbagai daerah dengan wujud PRRI ( Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Dengan hadirnya beliau di barisan oposisi ini, kom¬plik semakin merebak hingga agresi fisik dan bentrokan senjata tidak bisa dihindari.

Dengan tuduhan subversif, Natsir terpaksa meringkuk di belakang terali besi selama 7 tahun, tanpa proses peradilan. Setelah mengalami karantina politik di Batu Malang Jawa Timur, dengan perpanjangan tahanan politik berakhir tahun 1966 di Rumah Tahanan Militer (RTM), Jakarta. Natsir menghirup udara kebebasan setelah Presiden Soekarno jatuh dari kursi kepresidenannya.
Sebagai seorang da’i, panutan umat ini tampil meyuarakan nurani umat kendatipun kadang kadang dengan mempergunakan nama samaran.

A. Moechlis adalah nama samaran yang sangat produktif di majalah “Pembela Islam” awal tahun 1930 an. Ia tampil meneriakkan berba¬gai masalah umat dalam berbagai forum yang berkaitan dengan hubungan inter dan antara umat beragam, politik, kebudayaan, ekonomi dan berbagai dilema yang tersentuh oleh realitas yang kadang kadang sempat menyentuh hal hal sensitif sehingga ia harus berhadapan dengan pemegang kekuasaan.

Di samping sebagai Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) sejak tahun 1967 sampai akhir hayatnya, kepiawaiannya sebagai seorang pemikir dan aktivis dakwah tidak hanya di negeri tercinta ini akan tetapi cendikiawan kawakan ini juga mempunyai reputasi dalam harokah (pergerakan) Islam International. Aktif sebagai anggota Muslim League Makkah (1969 1993), berkiprah di Majlis A’la Al Alamy li Masjid di Makkah kemudian menjabat wakil presi¬den World Moeslim Congress (Muktamar Alam Islami) Karachi di Pakistan (1967 1993). Iapun ikut membidani The International Islam Charitable Foundation, Kuwait dan Oxford Center For Islamic Studies di Inggris.

Menyoroti pola pikirya yang multi dimensi menyebabkan ia harus dilihat dari perspektif yang setaraf dengan beberapa pemikir Islam terkemuka di abad ini seperti Hasan Al Banna, Said Hawa, Said Quth Al Maududi dan tokoh reformis lainnya.
Sebelum melambaikan tangan selamat tinggal pada 6 Februari 1993 di Jakarta, tokoh kawakan ini masih sempat meninggalkan jejak perjuangan berupa khazanah intlektual dan buku buku yang bernuan¬sa dakwah seperti Fiqhud Dakwah, Islam dan Akal Merdeka, Fungsi Dakwah Perjuangan, Tugas Ulama, Kapita Selecta dan masih banyak lainnya.

Di Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) beliau juga meninggalkan aset kekayaan ilmiah dan ruhiyah yaitu dengan hadirnya majalah Serial Media Dakwah, Suara Mesjid, Serial Khutbah Jum’at, majalah “Sahabat” untuk anak anak serta Bulletin Dakwah sebagai penyiram hati umat yang gersang dengan siraman rohani. Tokoh yang tidak pernah absen dalam sejarah ini telah memberi warna tersendiri dalam dunia perpolitikan di negara iklim tropis ini sehingga ia jadi tempat bertanya dari berbagai kalangan. Pak Natsir memang punya peran khusus yang tidak bisa dilupakan oleh sejarah, umat Islam, bangsa dan negara. Selamat jalan Pak Natsir semoga sepak terjangmu mampu membangkitkan ghirah pemuda negeri ini hingga mampu berdiri menantang dan menyuarakan suara kebenar¬an. Di sini telah menunggu para natsir natsir muda untuk melan¬jutkan perjuanganmu yang harum semerbak. Pesan Terakhir Mohd. Natsir Untuk Masyarakat Sumatera Barat. MENINGKATKAN TARAF HIDUP MEMULAI DARI BAWAH

Tanggal 19 September 1992 di Simpang Empat Pasaman di resmikan pemakaian gedung RSI Ibnu Sina dan Masjid Assyifa’. Bapak M. Natsir selaku Ketua Dewan Dakwah Pusat memberikan kata sambutan yang tidak bisa disampaikan beliau secara langsung karena beliau tengah dirawat di RSCM Jakarta. Dan pidato tersebut dibacakan oleh: Bapak H. Buchari Tamam Sekjend DDII Pusat. Mengingat sangat relevannya pidato dimaksud dalam menghadapi kesiapan generasi muda untuk menatap masa depan yang penuh tantangan dan persain¬gan di Era Globalisasi, redaksi mengganggap penting mengetengah¬kan kembali pokok pokok pikiran Pak Natsir yang selengkapnya sebagai berikut (Redaksi):

Tadinya saya berharap akan dapat turut hadir dalam pertemuan yang berbahagia ini, tetapi kesehatan saya jualah yang menghalan¬ginya.Tiga setengah dasawarsa yang lalu, saya mendapat kesempatan menjelajahi daerah Pasaman ini dari timur sampai ke barat, dari selatan ke utara, memasuki desa desa. Saya sempat melihat secara langsung bagaimana potensialnya daerah ini. Tanahnya yang subur, lautnya yang kaya ikan dan padang rumputnya yang luas untuk peternakan. Begitu juga perut buminya yang kabarnya juga mengandung bahan bahan tambang berharga. Dalam pembicaraan waktu itu demngan pemuka pemuka masyarakatnya yang ramah tamah, saya mendapat kesan, bahwa mereka walaupun mengetahui kekayaan alamnya yang demikian, belum melihat bagaima¬na jalan memanfaatkannya untuk meningkatkan taraf hidup mereka dari kehidupan yang masih serba tradisional selama ini, yang pada hakikatnya masih dalam taraf dibawah garis kemiskinan.

Hal ini terbayang dalam ungkapan rasa hati mereka yang dirangkum dalam seuntai pantum populer yang pernah saya dengar di daerah ini. Kalau saya tak salah, berbunyi: “Simpang Ampek kampuang sabalah sasimpang jalan ka Kinali Buah labek tangkoinyo lamah dijambo ta’ sampai jari”. Memang begitulah. Buah lambek tangkainyo lamah, gambaran dari kekayaan alam Pasa¬man. Sedangkan di jambo ta’ sampai jari, usaha dan upaya untuk meraih kekayaan itu, bukan tidak ada tapi kesanggupan dan alatnya belum mencukupi. Upaya ini sebenarnya sudah terjawab.

Dari awal Dewan Dakwah sudah berkeinginan untuk ikut membekali masyarakat Pasaman dengan manusia yang berkualitas fisik dan mental, lahir dan batinnya. Demikianlah, pada awal 1975, berangkatlah serombongan Dewan Dakwah Sumbar atas anjuran Dewan Dakwah Pusat, diantaranya almar¬hum Mazni Salam dan kawan kawan. Lalu merundingkan dengan yang Mulia Syekh Haji Mohammad Yunus Tuanku Sasak (almarhum), juga dengan pemuka pemuka masyarakat dan pemerintah setempat yang kesemuanya memberikan sambutan positif. Waktu itu lah Inyiek Sasak beserta Ummi, mewakafkan langsung sebidang tanah beliau di Kampar yang terletak di samping sekolah PGA dan surau beliau sendiri, di tempat mana telah didirikan sebuah poliklinik Ibnu Sina. Dan sesudah itu menyusul pula didir¬ikan poliklinik Ibnu Sina di Panti. Seiring dengan pembangunan poliklinik poliklinik itu, beberapa masjid sebagai laboratorium dakwah telah pula dibangun di daerah daerah transmigrasi dan perkampungan penduduk asli seperti di Kinali, Rambah. Sungai Baramas dan lain lain.

Sekarang ini tujuh belas tahun pula telah berlalu pengalaman pengalaman yang di dapat dari perkembangan masyarakat selama ini, biar yang terjadi di daerah akibat pembauran penduduk asli dengan pendatang pendatang, atau pelajaran dan pengalaman yang didapat di luar daerah; agaknya telah lebih mematangkan kita untuk menya¬but era pembangunan bagi meningkatkan taraf hidup kita, terutama di desa desa. Kita garap dari bawah.

Pertama, mempersiapkan rakyat yang sehat fisik mentalnya, sebagai disabdakan Rasulullah yang artinya: Orang mukmin yang kuat, lebih baik dari pada orang mukmin yang lemah. (Hadist Riwayat Ibnu Majah). Kedua, membekali masyarakat, terutama generasi mudanya dengan ilmu dan keterampilan, sains dan teknologi, kata orang sekarang yang belajar dari bawah.

Selanjutnya, membangun masjid daan rumah sakit untuk pembinaan rohani dan fisik masyarakat dan merintiskan pendidikan keterampi¬lan bagi generasi muda.
Ini adalah kelanjutan dari rintisan rintisan sebelum ini sebagai¬mana dikatakan tadi. Satu hal yang perlu kita ingat pula, bahwa setiap usaha usaha kemasyarakatan seperti yang kita lakukan ini, akan berjalan lancar dan berhasil baik dan merata kalau didukung seluruh rakyat bersama sama pemerintah di bawah bimbingan pemuka pemuka masyar¬akat yang di daerah ini disebut Tungku Tigo Sajarangan: ninik mamak, alim ulama dan cadiek pandai. Kalaulah hal yang demikian dapat kita wujudkan, apa yang kita cita citakan berupa kemakmuran lahir bathin yang merata di daerah kita ini, akan cepat menjadi kenyataan. Insya Allah.
Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Jakarta, 19 September 1992
Wassalam
ttd
Mohammad Natsir

Ket.
DR. Mohammad Natsir, putra Sumatera Barat, yang lahir di Alahan Panjang Jembatan Berukir, beliau adalah seorang pemikir, negara¬wan, ulama besar, dan tokoh Islam yang punya reputasi dunia, tokoh yang pernah memainkan peranan yang sangat penting dalam panggung politik Indonesia, berpulang kerahmatullah pada hari Sabtu 6 Februari 1993 pukul 12.10 Wib di RS Cipto Mangunkusumo, Jakar¬ta dalam usia 85 tahun.

Riwayat Hidup Ringkas
Dr Mohammad Natsir

17 Juli 1908, lahir di kampung Jambatan Baukia, Alahan Panjang, Sumatera Barat.
Pendidikan:
1916 1923 Holland Inlandsche School di Solok/Padang, Madrasah Di¬niyah di Solok
1923 1927 melanjutkan ke Mulo Padang
1927 1930 Algemene Middelbare School, Westers Klasieke Afdeling (AMS A2) Bandung
1927 1932 Meneruskan studi tentang Islam pada Persatuan Islam Bandung
1931 1932 Kursus guru diploma LO
Kemasyarakatan dan Pemerintahan:
1928 1932 Ketua Jong Islamiten Bond Bandung
1932 1942 Direktur Pendidikan Islam Bandung
1940 1942 Anggota Dewan Kabupaten Bandung
1942 1945 Kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung (Bandung Syia¬kusyo)
1945 1946 Anggota KNIP
1946 1949 Menteri Penerangan RI
1949 1958 Ketua Umum Partai Masyumi, Selaku Ketua Fraksi Masyumi dalam DPR RIS. Pada waktu itu mengajukan mosi untuk kembali ke Negara Kesatuan RI yang kemudian dikenal dengan mosi Integral Natsir dan kawan kawan, yang diterima secara aklamasi oleh DPR RIS
1950 1951 Perdana Menteri RI
1950 1958 Anggota Parlemen RI
1956 1958 Anggota Konstituante RI
1958 1960 Anggota PRRI
1960 1962 Dikarantina di Batu (Jawa Timur)
1962 1966 Ditahan di RTM/Keagungan Jakarta
1967 Vice President World Muslim Congress (Markas di Kar¬achi)
1969 Ketua Yayasan Dewan Da’wah Islamiyah, Jakarta
1969 Anggota Muslim World League (Rabithah Alam Islamy) Mekkah
1976 Anggota Majlis A’la Al Alamy lil Masajid (Dewan Mesjid Sedunia) bermarkas di Mekkah
1980 Menerima Penghargaan di bidang pengkhidmatan kepada Islam dari “King Feisal Foundation”, Riyadh
5 5 1980 Menandatangani Petisi 50
1985 Anggota Dewan Pendiri The International Islamic Kharit¬able Foundation, Kuwait
1986 Anggota Dewan Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London, Inggris, Anggota Majelis Umana’ International Islamic University Islamabad, Pakistan
17 8 1989 Bersama K H Masykur mendirikan Forum Ukhuwah Islamiyah

PEMIMPIN DUNIA TERKEJUT
erita wafatnya Bapak DR. Mohamad Natsir cukup mengejutkan. Tidak hanya dirasakan oleh para da’i di lapangan dakwah, juga oleh para politisi dan para pemimpin dunia. Takeo Fukuda, Mantan Perdana Menteri Jepang, beralamat di 4 – 4 – 3 Shimbashi Minato Ku Tokyo, mengirimkan ucapan belasungkawa dari Tokyo bertanggal 8 Pebruari 1993 sebagai berikut,

Kepada
Yang Mulia
Keluarga besar Dr. Muhamad Natsir
di Jakarta,
Kata Belasungkawa,

Dengan sedih kami menerima berita kehilangan besar dengan meninggal dunianya DR. MOHAMAD NATSIR. Ketika menerima berita duka tersebut terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hiroshima, karena kita kehilangan pemimpin dunia, dan pemimpin besar dunia Islam. Peranan beliau masih sangat diperlukan dalam mengkordinasikan dunia yang stabil. Saya banyak belajar dari beliau ketika beliau berkunjung ke Jepang disaat saya menjabat Menteri Keuangan. Beliaulah yang meyakinkan kami di Jepang tentang perjuangan masa depan pemerintahan orde baru di Indonesia yang bersih dan sejahtera, bersamaan dengan cita-cita beliau untuk menciptakan dunia Islam yang stabil, adil sejahtera dengan kerjasama Jepang. Kini beliau sudah tiada. Walaupun keberadaan beliau masih sangat kita perlukan, tetapi Tuhan telah mengambil kembali beliau untuk beristirahat. Dengan penuh kesedihan izinkan saya atas nama kawan-kawan beliau di Jepang menyampaikan Kata Belasungkawa atas kepergian teman kami pemimpin dunia yang disegani, Doktor Muhamad Natsir. Kami yakin kepergian beliau dengan ketenangan karena telah banyak murid-murid beliau yang setia diharapkan meneruskan perjuangan suci beliau.


Kami yang berduka cita,
Takeo Fukuda.

Bersama-sama tokoh ummat yang secita-cita Mohamad Natsir mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Pebruari 1967. Pengabdian di bidang dakwah ini bukan semata dalam makna simbol tetapi secara substantif dan komprehensif baik lisan, tulisan dan amaliah sosial bil hal dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Mohamad Natsir ditengah-tengah Ibu Badan Penyantun Rumah Sakit Ibnu Sina Yarsi Sumbar di Padang, ketika kunjungan ke Sumbar. Mohamad Natsir menyempatkan melihat perkembangan Rumah Yatim Budi Mulia di Ranah Padang. Beliau memang menjadi pemimpin tempat bertanya dari berbagai kalangan. Memang Dewan Da’wah banyak menghidupkan dakwah Islam pada masyarakat suku terasing dan daerah terisolir serta di pemukiman transmigrasi. Untuk keperluan pergerakan dakwah ini, Mohamad Natsir tidak pernah lelah untuk menggembeleng kader-kader Islam dengan sangat ikhlas, agar selalu berjuang untuk kemulian dan ketinggian Islam. Mohamad Natsir mengganggap kader pemimpim tak bisa dicetak hanya dalam satu malam.

Pemimpin tidak bisa dicetak oleh kursus, tidak ada universitas pemimpin, dan tidak pula ada ijazah pemimpin. Pemimpin tidak bisa di SK kan. Pemimpin tumbuh di lapangan, setelah berinteraksi dengan tantangan di dalam masyarakat. Pemimpin harus lahir dari kandungan ummat itu sendiri. Lahir dari lapangan. Mohamad Natsir percaya bahwa kader ummat dalam jumlah yang terbatas tetap ada. Para pemimpin umat lebih banyak hadir tanpa dibesar-besarkan dan gembar gembor. Pemimpin itu harus berakar ke bawah dan berpucuk ke atas. Inilah pemimpin yang diidamkan masyarakat. Proses itu lahir sendiri dalam suatu perjalanan sejarah. 
 
Mohamad Natsir dengan para du’at yang melanjutkan gerakan dakwah di bidang kesehatan dan pendidikan di Sumbar dan Riau Calon-calon pemimpin diuji oleh keadaan dan tantangan dalam masyarakatnya. Ujian itu ada yang baik dan ada yang buruk. Ujian atas kebaikan misalnya mendapat kesenangan harta dan pangkat. Bila seorang pemimpin lulus dari berbagai ujian kehidupan akan punya berlipat kekuatan dan berdampak poisitif yang tinggi. Sebaliknya bila gagal, maka yang menanggung derita adalah diri, keluarga dan masyarakat. Inilah arti sebuah ujian, bertalian keistiqahaman seorang pemimpin atau pendakwah di medan dakwah. Sebaliknya, ketika ada ujian terhadap keburukan misalnya penderitaan atau kekurangan harta, mesti harus dapat dihadapi dengan keteguhan hati dan tidak pernah sesaatpun lepas dari naungan dan ma’unah dari Allah SWT. Maka, yang akan beruntung adalah diri sendiri, disamping itu keluarga dan juga umat ikut berbahagia. Bila seorang pemimpin gagal menghadapi segala penderitaan, dan sempat menggadaikan diri demi secuil kesenangan, maka yang akan menderita pertama sekali adalah diri yang akan ditinggalkan umatnya dan tidak terlalu mengganggu keluarga dan lingkungan. Hal itu disampaikannya pada acara syukuran 80 tahun Natsir yang dilaksanakan rekan dan sahabat pada 17 Juli 1988. Mohamad Natsir yang pernah diberi gelar penghormatan Doktor Kehormatan oleh salah satu Univeristas di Malaysia tak pernah sepi dari perjuangan kepentingan bangsa Indonesia dan izzul Islam wal Muslimuun diseluruh dunia. Beliau mendapat julukan dari umat sebagai, «hati nurani dan pemandu ummat».

Sepanjang hanyatnya Mohamad Natsir telah menghasilkan karya tulis di dalam berbagai aspek pemikiran. Karya tulisnya yang sudah diterbitkan sebanyak 60 buah, diantaranya ;

1. Fiqhud Dakwah, (Jakarta: DDII, t.t.) Cet. IV.
2. Surat-surat Mohamad Natsir dari tanggal 17 Juli-15 Agustus 1958. (T.T. : T.P., t.t.)
3. Bahaya Takut, Jakarta : Media Dakwah, 1991.
4. Capita Selecta I, dihimpunkan oleh D.P. Sati Alimin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Cet. III.
5. Capita Selecta II, dihimpunkan oleh D.P. Sati Alimin, (Jakarta: Pustaka Pendis, 1957).
6. Capita Selecta III, (Naskah Belum Diterbitkan).
7. Fiqhud Dakwah, Djedjak Risalah dan Dasar-Dasar Dakwah, Malaysia : Polygraphic Press, 1981.
8. Selamatkan Demokrasi Berdasarkan Jiwa Proklamasi dan UUD 1945, (T.T.: Forum Silaturrahmi 45, 1984).
9. Islam dan Akal Merdeka, (Jakarta: Media Dakwah, 1988), Cet. III.
10. Azaz Keyakinan Kami. (T.T.).
11. Islam sebagai Dasar Negara, (T.T. : Pimpinan Fraksi Masyumi dalam Konstituante, 1957).
12. Revolusi Indonesia, (Bandung: Pustaka Jihad, T.T.). 13. Demokrasi di Bawah Hukum, (Jakarta: Media Dakwah, 1407/1987), Cet. I.
13. Pendidikan, Pengorbanan Kepemimpinan, Primordialisme, dan Nostalgia, (Jakarta: Media Dakwah, 1987), Cet. I.
14. Normalisasi Konstitusional, (Jakarta: Yayasan Kesadaran Berkonstitusi, 1990).
15. Islam di Persimpangan Jalan, T.T.
16. Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang Konstitusioanl, T.T.
17. Mempersatukan Umat, (Jakarta: CV Samudra, 1983), Cet. III.
18. Dunia Islam dari Masa ke Masa, (Jakrta: Panji Masyara¬kat, 1982).
19. Islam sebagai Ideologi, (Jakarta: Penyiaran Ilmu, T.T.).
20. Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti Pusaka, 1988).
21. Percakapan antara Generasi, Pesanan Perjuangan Seorang Bapak, (Malaysia: Dewan Pustaka Islam, 1991).
22. Agama dan Negara, Falsafah Perjuangan Islam, (Medan:T. P, 1951).
23. Some Observations Concerning the Role of Islam in National and International Affairs, (Ithaca New York : Departement of Far Eastern Studies, Cornell University, 1954), Penerbitan XVI.
24. The Role of Islam in the Promotion of National Resil¬ience, (Jakarta: T.P., 1976).
25. Membangun di Antara Tumpukan Puing dan Pertumbuhan, (Djakarta : Kementerian Penerangan RI, 1951).
26. Marilah Shalat, Jakarta : Media Dakwah, 1981.
27. Mencari Modus Vivendi antara Umat Beragama di Indonesia, (Jarta: Media Dakwah, 1983).
28. Asas Keyakinan Agama Kami,(Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah, 1984).
29. Bahaya Takut, (Jakarta: Media Dakwah, 1991).
30. Kumpulan Khutbah Idul Fithri/Adhha, (Jakarta: Media Dakwah,1978).
31. Kumpulan Khutbah Hari Raya, (Jakarta : Media Dakwah, 1975).
32. The New Morality, (Surabaya: Perwakilan DDII, 1969).
33. Tinjauan Hidup, Widjaja, Djakarta, 1957.
34. Kom Tot Het Gebed (Marilah Shalat), (Jakarta: Media Dakwah, 1981).
35. Keragaman Hidup Antar Agama, Djakarta : Hudaya, 1970.
36. Hidupkan Kembali Idealisme dan Semangat Pengorbanan, Djakarta : Bulan Bintang, 1970.
37. Gubahlah Dunia dengan Amalmu, Sinarilah Zaman dengan Imanmu, Djakarta : Hudaya, 1970.
38. Kubu Pertahanan Mental dari Abad ke Abad,(Surabaya: T.P., 1969).
39. Tauhid untuk Persaudaraan Universal, (Jakarta: Suara Masjid, 1991).
40. Hendak ke mana Anak-anak Kita Dibawa oleh PMP,(Jakarta: Panji Masyarakat, 1402 H.).
41. Islam dan Akal Merdeka,(Tasikmalaja: Persatoen Islam bg. Penjiaran, 1947).
42. Islam Mempunyai Sifat-sifat yang Sempurna untuk Dasar Nega ra, (Jakarta: T.P., 1957).
43. Pandai-pandailah Bersyukur Nikmat, (Jakarta: Bulan bintang, 1980).
44. Dakwah dan Pembangunan,(Bangil: Al-Muslimun, 1974).
45. Tolong Dengarkan Pula Suara Kami,(Jakarta: Panji Ma¬syarakat, 1982).
46. Buku PMP dan Mutiara yang Hilang,(Jakrta: Panji Masyar¬akat, 1982).
47. Di Bawah Naungan Risalah, (Jakarta: Sinar Hudaya, 1971).
48. Ikhtaru Ihdas Sabilain, Addinu wa la al-Dinu, (Jeddah: Al-dar al-Saudiyah, 1392 H.).
49. Islam sebagai Ideologi, ( Jakarta : Penyiaran Ilmu, t.t.).
50. Islam dan Kristen di Indonesia, (Bandung: Pelajar Bulan Sabit, 1969).
51. Pancasila akan Hidup Subur Sekali dalam Pangkuan Islam, (Bangil: T.P., 1982).
52. Cultur Islam, (Bandung: T.P., 1936).
53. Dari Masa ke Masa,(Jakarta: Yayasan Fajar Shadiq, 1975).
54. Pandai-pandailah Bersyukur Nikmat,(Jakarta: Bulan Bintang, 1980).
55. Bersama H.A.M.K. Amarullah, Islam Sumbergia Bahagia, (Bandung: Jajasan Djaja, 1953).
56. Dengan nama samaran A. Moechlis, Dengan Islam ke Indonesia Moelia, (Bandung: Persatuan Islam, Madjlis Penjiaran, 1940).
57. Agama dan Negara dalam Persfektif Islam (Kumpulan Karangan), Penyunting, H. Endang Saifuddin Anshari dan LIPPM (Jakarta: 1409-1989, belum diterbitkan /masih monograph).
58. Asas Keyakinan Agama Kami, (Jakarta: DDII, 1982).
59. Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang Konstitusional, (Jakarta: TP, 1985).
60. World of Islam Festival dalam Persepektif sejarah (Jakarta : Yayasan Idayu, 1976).

Bertimbang terima dengan generasi yang akan menerima tongkat patah tumbuh hilang berganti, untuk melanjutkan usaha pembangunan Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Yarsi Sumbar dalam Musyawarah di Padang. Di Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Mohamad Natsir juga meninggalkan asset kekayaan ilmiah dengan hadirnya majalah Serial Media Dakwah, Suara Mesjid, Serial Khutbah Jum’at, majalah Sahabat untuk anak-anak serta Bulletin Dakwah sebagai penyiram hati umat yang sedang gersang rohani. Pemikiran beliau masih tetap hidup ditengah umat, dibaca dan ditelaah oleh setiap generasi secara sambung bersambung. Bapak Mohamad Natsir telah meninggalkan pesan-pesan dakwah yang tidak akan kering menyirami setiap insan pendakwah di medan dakwah sepanjang masa. Berpuluh khazanah intelektual dan ratusan artikel yang bernuansa dakwah telah ditulis beliau. Belum sempat diterbitkan. Sungguhpun kini beliau telah dipanggil kehadirat Allah, namun pemikiran beliau masih tetap hidup ditengah umat, dibaca dan ditela’ah oleh setiap generasi secara sambung bersambung “Harimau mati meninggalkan belang, manusia pergi meninggalkan amal yang baik juga”. Sebagai insan beliau telah dipanggil kehadirat Allah, pada hari Sabtu tanggal 6 Pebruari 1993 pukul 12.10 WIB bertepatan dengan 14 Sya’ban 1413 H di Ruang ICCU RSCM Jakarta. Dimakamkan di TPU Karet 7 Pebruari 1993 siang, dibawah deraian air mata dan siraman air hujan.

Selamat jalan Bapak Mohamad Natsir. Dibelakang bapak telah menunggu Natsir muda melanjutkan perjuanganmu yang harum semerbak. “Harimau mati meninggalkan belang, manusia pergi meninggalkan amal yang baik juga”.

Beberapa Rangkuman

Bila kita mengamati dari perkembangan budaya di Minangkabau, sesungguhnya gerakan pembaruan pemikiran syarak dan adat di ranah Minang, terlihat bahwa peredaran masa sejarah social budaya Minangkabau, selalu mengalami perubahan dalam kurun waktu 50 hingga 100 tahun, dengan orientasi membangun nagari, dan ranah.

1. Setiap muncul perubahan atau gerakan reformasi, sering sekali berakibat kepada makin berkurangnya peran penghulu adat, dan melemahnya pagar-pagar adat, termasuk ulama zuama, alim ulama cerdik pandai suluh bendang di nagari.

2. Sampai akhir penjajah Belanda, masyarakat adat tampaknya berorientasi pada tiga pola sosial budaya. Tradisional adat, Islam dan barat. Namun traidisi adat kian menciut sehubungan golongan Islam modernis lebih menyesuaikan diri pada pola budaya barat seperti yang telah berlaku pada beberapa daerah belahan dunia, seperti di Mesir dan Timur Tengah saat ini. 
 
3. Mulai pendudukan Jepang golongan orientasi barat mulai kehilangan arah ketika mereka melihat bahwa bangsa timur ternyata tidak kalah hebat dari barat. Sebagai bangsa mereka kembali menoleh ke pusaka nenek moyangnya, adat kebiasaan dan kekuatan nilai-nilai luhur yang ditinggalkan. 
 
4. Pada awal kemerdekaan, dan bahkan pada masa reformasi kini, ada kecenderungan untuk tugas dan kewajiban penjagaan dan pengamalan syarak (agama Islam) kepada umumnya dikembalikan kepada pemerintahan negara melalui penerbitan perda-perda tentang adat, sehingga kelihatan bahwa masyarakat adat kehilangan kearifan dan kewenangan di dalam menetapkan tindakan sesuai dengan hak konstutusional adat mereka. Dengan demikian berakibat pada peran elit golongan ulama dan pemuka adat yang selama ini sangat penting mengangkat harkat bangsa mulai mengendor. 
 
5. Reaksi terhadap kebijaksaan pemerintah pusat yang sentralistik, sungguh telah menyadarkan seluruh komponen elit politik Minangkabau di kampung dan di rantau untuk menampilkan identis dirinya yang Minangkabau, dengan melahirkan pemikiran-pemikiran baru, pentingnya kompilasi adat dan syarak di Minangkabau, di masa ini dan masa datang.
Padang, 5 Pebruari 2008 M/ 27 Muharram 1429 H 
 
DAFTAR BACAAN DAN SUMBER INFORMASI
1. AA Navis. “Bukit Marapalam”. Padang: Universitas Andalas, 1991.
2. Andi Asoka. “Sumpah Satie Bukit Marapalam, Antara Mitos dan Realitas” (merupakan bab IV dari laporan Penelitian “Sejarah Perpaduan Antara Adat dan Syarak di Sumatera Barat, kerjasama Fakultas Sastra Unand dengan Pemda Tingkat I Sumatera Barat, 1991).
3. Andi Asoka, Zulqaiyim, Sabar. “Stratifikasi Sosial Minangkabau Pra Kolonial”. Padang: Pusat Penelitian Universitas Andalas, 1991/1992.
4. Azwar Datuk Mangiang. “Piagam sumpah satie Bukik Marapalam”. Makalah Seminar. Arsip pribadi tertanggal 16 Juli 1991.
5. Christine Dobbin. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784-1847. Jakarta: INIS, 1992.
6. Damsar. “Implementasi Kritis Adat Basandi Syara`, Syara` Basandi Kitabullah di Tengah Masyarakat Majemuk di Sumatera Barat: Suatu Tinjauan Sosiologis”.
7. Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
8. H.B.M. Letter. “Proses Bersenyawanya Adat dan Syarak di Minangkabau”. Padang, Universitas Andalas, 1991.
9. Mochtar Naim. Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984.
10. Muhammad Radjab. Sistem Kekerabatan di Minangkabau. Padang: Center for Minangkabau Studies Press, 1969.
11. Ratno Lukito. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta: INIS, 1998.
12. Syafnir Abu Nain. “Sumpah Satie di Bukit Marapalam, Perpaduan Antara Adat dengan Syarak”. Padang: Universitas Andalas, 1991.
13. Syaifullah SA.”Implementasi Kritis Adat Basandi Syara`, Syara` Basandi Kitabullah di Tengah Masyarakat Majemuk di Sumatera Barat (Tinjauan Sosial Budaya)”.
14. Makalah Seminar dan Lokakarya Agama dan Civil Society oleh PUSAKA Padang tanggal 21 Juni 2003.
15. Zaiyardam Zubir. “Sumpah Satie Bukit Marapalam: Tinjauan Terhadap Pengetahuan Sejarah Masyarakat”, Makalah pada Seminar Sehari Sumpah Satie Bukit Marapalam dan Perpaduan Adat dengan Agama di Minangkabau. Padang: Universitas Andalas, 31 Juli 1991.

DI MANA TERSIMPANNYA ASLI NASKAH TIB
Oleh, Suryadi
Raba’a, 04 Oktober 2006 / Al-Arba’a, 11 Ramadan 1427 H
Sampai sekarang sudah banyak publikasi ilmiah mengenai Perang Paderi, misalnya studi Muhammad Radjab (1958), Christine Dobbin (1983), dan Rusli Amran (1981, 1985), belum lagi puluhan artikel yang terbit di berbagai jurnal ilmiah terbitan dalam dan luar negeri. Studi-studi tersebut banyak merujuk kepada sumber-sumber primer yang kebanyakan ditulis oleh pemimpin-pemimpin militer, komandan-komandan lapangan, dan juga pegawai swasta kolonial Belanda yang, langsung atau tidak, pernah terlibat dalam Perang Paderi. Ini dapat dikesan, misalnya, dalam publikasi terbaru mengenai Perang Paderi oleh sejarawan militer G. Teitler dalam bukunya Het Einde van de Padrie-oorlog Het beleg en de vermeestering van Bonjol, 1834-1837; Een Bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi. Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; sebuah publikasi sumber] (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2004) yang mengungkapkan 4 sumber primer mengenai perang tersebut, yaitu: “De Luitenant Generaal, Kommissaris Generaal van Nederlandsche-Indië J. van den Bosch aan den Luitentant Kolonel Adjudant J.H.C. Bauer bij aankomst te Padang, den 13 October 1833, no.354″ (hlm.23-25); “Over het attaqueren van versterkte linien en kampongs” (hlm.27-39); “Rapport omtrent den staat van zaken ter Westkust van Sumatra in Januari 1836 ingediend door de 1e Luitenant Adjudant Steinmetz, hem opgedragen bij besluit van den kommandant van het leger, 13 november 1835 no.4″ (hlm.41-56), dan; “Journaal van de expeditie naar Padang onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden door de Majoor Sous-Chief van den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis” (hlm.59-183).
Minggu, 24 Juni 2007 
 
Tuanku Imam Bonjol

Nama aslinya adalah Muhammad Sahab yang dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Ia lahir di Tanjung Bunga Sumatera Barat di tahun 1772.
Ia banyak belajar soal agama dari orang-orang ulama di Sumatera Barat dan akhirnya ia menjadi seorang guru agama di Bonjol. Sebagai tokoh ia cukup disegani. Disini ia menyebarkan paham Paderi.

Di tahun 1821 Belanda dengan bala bantuannya menyerang kaum Paderi untuk menguasa daerah Sumatera Barat. Tuanku Imam Bonjol memimpin pertarungan ini dan akhirnya Belanda kewalahan dan terpaksa mengadakan perjanjian Masang tahun 1824 yang mengakui bahwa Tuanku Imam Bonjol sebagai penguasa daerah Alahan Panjang. Namun perjanjian ini dilanggar oleh Belanda dan peperangan kembali berkobar. 
 
Sebagian demi bagian daerah tersebut jatuh ke tangan Belanda. Daeran Tuanku Imam Bonjol bertambah sempit dan terkurung oleh daerah-daerah Belanda. Tahun 1832 Bonjol berhasil diduduki oleh Belanda, tetapi beberapa bulan kemudian Paderi direbut kembali. Belanda menyerang Tuanku Imam Bonjol berkali-kali tapi selalu gagal. Lalu Belanda mengadakan perdamaian namun Tuanku Imam Bonjol mencurigainya.

Kurang lebih tiga tahun kemudian Belanda mengepung dan Bonjol kembali direbut tangan Belanda. Tanggal 16 Agustus 1837. Tuanku Imam Bonjol berhasil meloloskan diri dan berjuang ditempat lain. Tahun 1837 Tuanku Imam Bonjol diundang untuk perundingan, namun taktik licik Belanda ini berhasil menangkap Tuanku Imam Bonjol dan dibuang ke Cianjur Jawa Barat, lalu ke Ambon dan berakhir di Lotan dekat Manado. Ditempat inilah Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 Nopember 1864 dan dimakamkan disana. (jag)

TUANKU TAMBUSAI PEJUANG MELAYU RIAU
NAMA beliau turut disentuh dalam kertas kerja saya pada seminar oleh keluarga Rao atau Rawa di Raub, Pahang dan artikel Syeikh Muhammad Murid Rawa, disiarkan Utusan Malaysia, bertarikh 19 Mac 2007. Tidak ramai memahami bahawa ulama dan pahlawan ini telah menyemaikan benih anti penjajah. Beliau ikut dalam peperangan Imam Bonjol di Sumatera Barat. Akhirnya terpaksa hijrah ke Negeri Sembilan dan meninggal dunia di situ. Wujud persamaan dengan Raja Haji berperang melawan Belanda bermula di Riau melalui Linggi, Rembau dan lain-lain di beberapa tempat dalam Negeri Sembilan akhirnya tewas di Melaka sebagai seorang syahid fi sabilillah. Oleh kerana Tuanku Tambusai meninggal dunia di Negeri Sembilan sedikit sebanyak tentu beliau telah menyemaikan benih berjuang kepada bangsa Melayu di Negeri Sembilan khususnya dan Semenanjung umumnya yang dijajah oleh Inggeris pada zaman itu.

Sejarah adalah penting perlu kita kaji dan perkenalkan kepada masyarakat luas. Ketika saya menghadiri seminar yang diadakan oleh keluarga Rao atau Rawa di Raub, Pahang, Ahad, 18 Mac 2007 M/28 Safar 1428 H yang lalu, di luar acara rasmi Tuan Mohd. Said bin Haji Mohd. Razi, Pengerusi dan Ketua Projek, Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Selangor menghadiahkan kepada saya sebuah buku berjudul, Sejarah Negeri Selangor, Dari Zaman Prasejarah Hingga Kemerdekaan, diterbitkan tahun 2005.

Manakala saya baca Perutusan Menteri Besar Selangor dan Kata Pengantar Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Selangor, saya simpulkan bahawa Kerajaan Negeri Selangor telah mengeluarkan dana yang besar untuk melakukan penyelidikan. Termasuk beberapa orang panel penulis ke tempat-tempat di Indonesia yang ada hubungan dengan Selangor. Saya berkesimpulan bahawa hampir semua tokoh, sama ada di Malaysia atau sebaliknya Indonesia termasuk Tuanku Tambusai, dan lain-lain mempunyai hubungan yang sangat erat. Bahkan sejak lama serumpun Melayu sejagat selalu bekerjasama dalam gerakan dakwah Islam, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Jadi tidak hairanlah Tuanku Tambusai berkemungkinan sebab-sebab tertentu terpaksa berpindah dari Sumatera (beliau beroperasi di Minangkabau dan Riau) ke Negeri Sembilan.

PENDIDIKAN
Bermacam-macam ramalan sewaktu anaknya yang dinamakan Muhammad Shalih dilahirkan kerana pada waktu itu terjadi hujan ribut disambut kilat, guruh-petir sabung-menyabung. Tetapi kerana Imam Maulana Qadhi seorang alim yang terpelajar, yang faham akidah Islam beliau tolak sekalian ramalan yang bercorak khurafat secara bijaksana. Bayi tersebut dipersembahkan kepada Duli Yang Dipertuan Besar Raja, Permaisuri Duli Yang Dipertuan Besar Raja berkata, “Kita doakan apabila dia alim nanti menjadi suluh dalam negeri. Kalau dia seorang berani menjadi pahlawan. Sekiranya dia kaya menjadi penutup malu. Sekiranya dia menjadi cerdik bijaksana adalah penyambung lidah untuk kebenaran dan keadilan.” (Rokan Tuanku Tambusai Berjuang, H. Mahidin Said, cetakan kedua, hlm. 30).

Oleh sebab ayahnya seorang Imam Tambusai dan seorang alim sudah pasti Muhammad Shalih mendapat pendidikan awal dan asas daripada ayahnya sendiri. Sungguhpun ketika Muhammad Shalih meningkat dewasa beliau dihantar keRao yang lokasinya berdekatan dengan Tambusai. Setelah mendapat pendidikan Islam di Rao dan Bonjol beliau lebih dikenali dengan nama “Faqih Shalih”. Menurut tradisi di daerah, apabila seseorang itu menguasai ilmu fikah maka dia digelar dengan “Faqih”. Ini bererti Muhammad Shalih sejak muda lagi telah diakui oleh masyarakat sebagai seorang yang alim dalam bidang ilmu fikah. Sudah menjadi lumrah dalam dunia dari dulu hingga kini ada saja raja atau umara (pemerintah) yang sepakat dengan ulama. Yang inilah yang dianjurkan oleh Rasulullah s.a.w. Ada pula antara umara yang tidak sepakat dengan ulama. Ulama yang masih muda bernama Faqih Shalih yang tersebut diriwayat memang bertentang dengan raja yang memerintah ketika itu.

Walau bagaimanapun Faqih Shalih meminta nasihat kepada dua orang ulama. Yang pertama ialah Tuanku Imam Bonjol (nama yang sebenarnya ialah Peto Syarif). Yang kedua ialah Tuanku Rao (nama yang sebenarnya dipertikai pendapat). Kedua-duanya menasihatkan supaya Faqih Shalih pergi haji ke Mekah. Sewaktu di Mekah, Faqih Shalih sempat memdalami ilmu di sana. Di antara ulama yang sedaerah dengannya (yang saya maksudkan berasal dari persekitaran Minangkabau, Tapanuli dan Riau) di antaranya ialah Syeikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi an-Naqsyabandi dan lain-lain. Beliau ini termasuk murid Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Dipercayai Faqih Shalih selama berada di Mekah sempat belajar kepada ulama yang berasal dari Patani itu.

Sebagaimana tulisan saya dalam kertas kerja seminar di Raub, Pahang bahawa sukar menjejaki yang bernama Muhammad Shalih itu, dalam zaman yang sama ada Muhammad Shalih bin Muhammad Murid Rawa dan ada pula Faqih Shalih sedang Tuanku Rao tidak diketahui nama sebenarnya. Ada pendapat bahawa Tuanku Rao seorang guru pada Faqih Shalih. Ada kemungkinan Tuanku Rao adalah orang tua (ayah Faqih Shalih). Setelah kembali dari Mekah, Faqih Shalih lebih dikenali “Haji Muhammad Shalih”. Dan selanjutnya dalam Perang Imam Bonjol atau Perang Paderi, beliau lebih dikenali sebagai “Tuanku Tambusai” selanjutnya digunakan nama ini. Sudah menjadi sejarah perkembangan dunia bahawa sama ada disukai atau pun tidak, peperangan bila-bila masa boleh terjadi. Agama Islam bukanlah agama yang menganjurkan peperangan tetapi jika ada usaha-usaha agama selainnya menodai Islam maka konsep jihad memang sudah menjiwai hampir seluruh individu Muslim. Hal ini adalah hampir sama dengan jiwa kebangsaan individu sesuatu negara atau sesuatu bangsa bahawa hampir setiap individu dalam sesuatu negara adalah tidak suka negaranya dijajah. Memperjuangkan sesuatu negara atau bangsa telah menjiwai setiap penduduk dunia sama ada yang beragama Islam dan agama-agama lainnya termasuk orang yang tidak beragama sekalipun. Oleh sebab Belanda telah menjajah Minangkabau, Sumatera Barat, maka adalah wajar rakyat bertindak melawan penjajah itu apatah lagi yang datang menjajah itu tidak seagama pula.

Tuanku Tambusai dan kawan-kawan bersamanya bergabung dalam satu wadah yang dinamakan “Kaum Paderi” yang dipimpin oleh Peto Syarif yang kemudian terkenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Menurut buku, 101 Pahlawan Nasional, Departemen Sosial Republik Indonesia bahawa “Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai bekerjasama dalam perjuangan tetapi tidak bererti yang satu membawahi yang lain kerana mereka merupakan tokoh-tokoh yang otonom.” (hlm. 517).

PERANG PADERI
Bunga api Perang Paderi mulai bertaburan pada tahun 1803 yang dihidupkan oleh Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Tiga Belas Koto dan Haji Piobang dari Tanah Datar. Kemunculan Tuanku Tambusai dengan pasukannya di bahagian utara terutama sekitar daerah Hulu Sungai Rokan menyebabkan Tuanku Imam Bonjol dapat bertahan dari serangan Belanda lebih lama kerana pasukan Tuanku Imam Bonjol posisinya di bahagian tengah. Taktik dan strategi perang diatur dua bahagian oleh Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai. Tuanku Rao melalui Padangsidempana dan Tuanku Tambusai melalui Padanglawas, Gunung Tua, bilah Panai berhimpun di Sipiruk. Pada mulanya Belanda telah menguasai Bonjol pada bulan September 1832 akhirnya terpaksa keluar pada Januari 1833 akibat serangan Kaum Paderi yang diperanani oleh Tuanku Tambusai.

Dalam perang melawan penjajah Belanda itu di antara jasa besar Tuanku Tambusai, beliau dapat menyatupadukan tiga etnik iaitu Minangkabau/Rao, Melayu dan Mandailing. Bahawa mereka bersatu tekad dan semangat bumi pusaka bukan milik bangsa penjajah. Bumi ini adalah kepunyaan bangsa kita yang beragama Islam. Membela agama Islam dan tanahair adalah wajib. Menang dalam peperangan bererti mencapai kemerdekaan. Jika mati dalam perjuangan adalah mati syahid. Menang bererti beruntung. Jika mati pun beruntung juga. Orang yang tidak mengenal bangsa, tanahair dan Islam agamanya, yang tiada perjuangan itulah yang sebenar-benar rugi pada hakikatnya. Apabila kita menoleh zaman lampau etnik yang tersebut mendiami daerah yang sangat luas, yang pada masa ini terbahagi dalam tiga daerah iaitu; daerah Sumatera Barat majoriti penduduknya ialah Minangkabau, daerah Riau Daratan majoriti penduduknya ialah Melayu dan daerah Sumatera Utara majoriti penduduknya ialah Batak dan yang beragama Islam mempunyai nama tersendiri iaitu Mandailing.

Daripada rakaman ini kita dapat membayangkan bahawa Tuanku Tambusai mempunyai kehebatan atau kekuatan yang tersendiri sehingga beliau dapat menyatupadukan etnik dalam bumi yang demikian luas itu. Setelah banyak mengapai kemenangan dan keberhasilan perjuangan, Tuanku Tambusai menjadikan pusat perjuangan, pentadbiran dan pertahanan di Dalu-Dalu (sekarang dalam daerah Riau Daratan). Bertahan sampai tahun 1838 Tuanku Tambusai masih tetap bertahan sehingga Belanda tidak dapat masuk ke Inderagiri Hulu (Riau Daratan). Tuanku Tambusai adalah seorang ulama dan pahlawan yang berpendirian keras tidak mahu berunding dengan pihak penjajah Belanda. Beliau faham benar bahawa berunding dengan pihak penjajah Belanda bererti menyerah diri atau terperangkap dengan umpan lazat yang disediakan pemburu.

Sudah banyak contoh yang beliau bandingkan seumpama Tuanku Imam Bonjol sendiri terkorban bukan sebagai syahid di medan peperangan tetapi adalah tertipu kelicikan pihak penjajah Belanda. Tuanku Tambusai berpendirian terus berjuang sekiranya tidak berhasil hijrah ke Negeri Sembilan beliau memilih jalan terakhir iaitu mati sebagi syahid lebih utama daripada berunding apatah lagi menyerah kepada pihak musuh.

Pendirian keras Tuanku Tambusai seperti tersebut itu ada orang yang tidak menyetujui dan ramai pula yang menyetujuinya. Jika kita teliti sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia secara keseluruhan pendirian Tuanku Tambusai itu ada benarnya. Kerana hampir semua pemimpin yang mahu berunding dengan penjajah Belanda adalah merugikan pemimpin pejuang. Yang untung adalah pihak Belanda sendiri. Semua pemimpin yang menerima perundingan ditangkap akhirnya dibuang keluar dari negeri asalnya. Peristiwa Tuanku Tambusai dapat kita bandingkan dengan peristiwa dunia antarabangsa sekarang ini, ada negara yang tidak menerima perundingan dengan Amerika seperti Iran tentang isu nuklear. Ada negara menerima perundingan tetapi tidak mudah menerima tipu helah Amerika seperti Korea Utara. Iraq akhirnya menerima perundingan. Apa jadinya? Hanyalah merugikan Iraq sendiri menjadi negara yang dijajah oleh Amerika dan sekutu-sekutunya.

Pengorbanan tenaga, harta dan pemikiran Tuanku Tambusai adalah besar, kecuali jiwa dan raganya saja dapat berhijrah ke Negeri Sembilan. Peristiwa beliau hampir serupa dengan gurunya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam perang Patani melawan pencerobohan Siam bahawa beliau hijrah ke Pulau Duyung Kecil, Terengganu. Hijrah seseorang tokoh atau ulama bukan bererti lari tetapi bertujuan menyusun taktik dan strategi untuk mencapai kemenangan yang diredai Allah di dunia dan akhirat.

Dengan tidak menafikan perjuangan Tuanku Tambusai beliau telah diberi gelaran, ‘Pahlawan Nasional Republik Indonesia’ dengan SK. No. 071/TK/Tahun 1995, Tanggal 7 Ogos 1995.
اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِنُوْرِ قُدْسِكَ وَ عَظَمَةِ طَهَارَتِكَ وَ بَرَكَةِ جَلاَلِكَ مِنْ كُلِّ عَافَةٍ وَ عَاهَةٍ وَ مِنْ طَوَارِقِ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ إِلاَّ طَارِقًا يَطْرُقَ بِخَيْرٍ يَا رَحْمَانُ
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan cahaya kesucian-Mu dan keagungan-Mu dari segala kebencian dan gangguan serta dari segala kejahatan yang datang baik di waktu malam maupun di waktu siang, kecuali yang datang dengan kebaikan wahai Yang Maha Pengasih.
أَنْتَ غِيَاثِي فَبِكَ أَغُوْثُ وَ أَنْتَ مَلاَذِي فَبِكَ أَلـُـوْذُ وَ أَنـْتَ عِيَاذِي فَبِكَ أَعُوْذُ.
Engkau Maha Penolong, maka kepada-Mu lah aku memohon pertolongan, Engkau tempat berlindung, maka kepada-Mu lah aku berlindung, Engkau lah yang menemani, maka dengan Mu lah aku berteman.
يَا مَنْ ذَلـَّتْ لَهُ رِقَابُ الْجَبَابِرَةِ وَ خَضَعَتْ لَهُ أَعْنَاقُ الفَرَاعِنَةِ، أَعُوْذُبِكَ مِنْ خِزْيِكَ وَ كَشْفِ سَتْرِكَ وَ اْلإِنْصِرَافِ عَنْ شُكْرِكَ.
Wahai Yang Maha Kuasa, yang telah menghinakan hamba yang sombong, dan yang telah menaklukkan hamba yang angkuh, aku berlindung kepada-Mu dari menghinakan-Mu, dan membuka-buka rahasia-Mu serta berpaling dari mensyukuri nikmat-Mu.
أَنَا فيِ حِرْزِكَ لَيْلَي وَ نَهَارِي وَ نَوْمِي وَ قَرَارِي وَ ظَعْنِي وَ أَشْفَارِي.
Aku dalam tempat-Mu yang kokoh pada waktu malam-Ku, siang-Ku, pada waktu tidur-Ku, waktu diam-Ku, waktu pagi-Ku dan perjalanan-Ku.
ذِكْرُكَ شِعَاِري وَثَنَائِكَ دِثَارِي
Mengingat-Mu adalah pakaianku dan menyanjung-Mu adalah selimut-Ku.
لاَإِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، تَعْظِيْمًا لِوَجْهِكَ، وَ تَكْرِيْمًا لِسُبْحَانِكَ، أَجِرْنِى مِنْ خِزْيِكَ وَ مِنْ شَرِّ عِبَادِكَ، وَاضْرِبْ عَلَيَّ سُرَاِدقَاتِ حِفْظِكَ، وَ أَدْخِلْنِى بِرَحْمَتِكَ فيِ حِفْظِ عِنَايَتِكَ، وَ عُدْليِ بِخَيْرٍ يَاأَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ.
Tiada Tuhan selain engkau, karena mengagungkan wajah-Mu dan memuliakan kesucian-Mu, jauhkanlah aku dari kehinaan dan menjadi hamba-Mu yang buruk. Berikanlah kepadaku naungan dan perlindungan-Mu, dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu dalam lindungan-Mu, dan berikanlah kepadaku sebaik-baik kebaikan, wahai zat Yang Maha Pengasih lagi penyayang.
رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَ اِسْرَافَنَا فِى أَمْرِنَا وَ ثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَ انْصُرْنَا عَلَى القَوْمِ الكَافَرْيْن.
“Ya Allah, Ampunilah dosa kami, ampunilah keteledoran kami, dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami menghadapi kaum kafir”.
اللَّهُمَّ لاَ تُمْكِنُ الأَعْدَاءَ فِيْنَا وَلاَ تُسَلِّطْهُمْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ َيَخافُكَ وَلاَ يَرْحَمُنَا
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau beri kemungkinan musuh berkuasa terhadap kami janganlah Engkau berikan kemungkinan mereka memerintah kami, walaupun kami mempunyai dosa. Janganlah Engkau jadikan yang memerintah kami, orang yang tidak takut kepada-Mu, dan tidak mempunyai kasih sayang terhadap kami”.
اللهُمَّ أَهْلِكِ الكَفَرَةَ الَّذِي يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ وَ يَكْذِبُوْنَ رَسُلَكَ وَ يُقَاتِلُوْنَ أَوْلِيَائَكَ
“Wahai Tuhan kami, hancurkanlah orang-orang yang selalu menutup jalan Engkau, yang tidak memberikan kebebasan kepada agama-Mu, dan mereka-mereka yang mendustakan Rasul-Rasul Engkau,dan mereka yang memerangi orang-orang yang Engkau kasihi”.
اللهُمَّ فَرِّقْ جَمْعَهُمْ وَ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَ أَنْزِلْ بِهِمْ بَأْسَكَ الَّذِي لا َتَرُوْدَهُ عَنِ القَوْمِ الُمجْرِمِْينَ.
“Wahai Tuhan kami, hancurkanlah kesatuan mereka, dan pecah belah barisan mereka. Turunkan kepada mereka ‘azab sengsara-Mu, yang selalu Engkau timpakan kepada golongan-golongan yang selalu berbuat dosa”.
اللهُمَّ أَعِزِّ الإِسْلاَمِ وَ المُسْلِمِيْنَ وَ اخْذُلِ الكَفَرَةَ وَ المُشْرِكِيْنَ
“Wahai Tuhan kami, berilah kemuliaan kepada Islam dan kaum Muslimin, rendahkanlah orang-orang yang kafir dan orang musyrik”.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ المُؤْمِنَاتِ وَ المُسْلِمِيْنَ وَ اْلمُسْلِمَاتِ، اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَ اْلأَمْوَاتِ. اللَّهُمَّ اجْعَلْ يَوْمَنَا خَيْرًا ِمنْ أَمْسِنَا، وَ اجْعَلْ غَدَنَا خَيْرًا ِمْن يَوْمِنَا، وَ احْسِنْ عَاقِبَتَنَا فيِ الأُمُوْرِ كُلِّهَا، وَ أَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَ عَذَابِ الآخِرَةِ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ اْلعَفْوَ وَ العَافِيَةَ فيِ دِيْنِنَا وَ دُنْيَاناَ وَ أَهْلِيْنَا وَ أَمْوَالِنَا، رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ العَلِيْمِ وَ تبُ ْعَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلاَمُ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ اْلحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ.


Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (1984)
L.C. Westenenk dalam Opstellen over Minangkabau
J.C. van Vanleur dalam bukunya Indonesian Trade & Socety (1955) menyatakan bahwa pada permulaan tahun 674 AD Pantai Barat Sumatera telah dihuni koloni Arab, dan ketika itu Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang telah menyebarkan agama Hindu ke Nusantara dari abad ke-7 hingga ke-13 M. 
 
Sumber: Drs. Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh dalam tahun 1520-1675, Penerbit Monora, Medan 1972 
 
Syekh Abdur Rauf adalah seorang ulama dan mubaligh besar di Aceh abad ke-17 pada masa pemerintahan Sulthanat Syafiatuddin (1641 – 1675). Nama lengkapnya adalah Syekh Abdur Rauf bin Ali al Jawi al Singkli. Lahir pada tahun 1620 di Singkil Aceh Selatan. Pada tahun 1642 beliau berangkat ke Mekah melanjutkan studinya di bidang agama Islam. Selama 19 tahun di tanah Arab menuntut ilmu kepada Molla Ibrahim, pengikut Syekh Ahmad Kosasi, seorang ulama yang terkenal di dunia Islam waktu itu dan pemimpin tharekat Syattariah.
Sebagai kenang-kenangan untuknya, Universitas di Aceh mengambil namanya sebagai nama, yaitu Universitas Syiah Kuala, disingkat Unsyiah.

Kebesaran Syekh Abdurauf telah menjadi studi para sarjana, seperti D.A.Rinkers yang menulis Syekh Abdurauf van Singkel; P.Voorhove dalam majallah TBG tahun 1952 No.87 membahas karyanya yang berjudul Bayan Tajalli. Beberapa pokok pendiriannya yang dikutib dari berbagai karyanya telah disusunnya dalam Encyclopaedia of Islam, volume I tahun 1960. S. Kayser, Snouck Horgronye, Winstedt, Archer telah menulis tentang pribadinya. Faham wihdatulwujud mengatakan bahwa alam adalah ciptaan dari bahagian ketuhanan sendiri, laksana buih pada puncak ombak. Alam zahir ini, bahagian dari pada ketuhanan besar. Teori ini merupakan monisma (serba esa) atau pantheisme (serba dewa). Menurut ahli tasauf ini, dunia ini hanyalah emanasi atau pancaran intisari tidak tercipta. Penganut faham wihdatulwujud yang terkenal ialah Ibnu Arabi dan Al Halaj. Di zaman Iskandar Muda adalah Hamzah Fansuri yang ditantang oleh Abdurrauf.

Semasa Sulthan Iskandar Tsani memberantas ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani yang dianggap sebagai ajaran sesat. Buku-buku Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani dibakar dan dimusnahkan dan rakyat Aceh dilarang ajaran kedua ulama itu sebagai ajaran sesat. Sumber; Sjafnir Aboe nain, drs, Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual Islam (1784-1832), Penerbit Esa,Padang, 1988 Sjafnir Aboe Nain, drs, Naskah Tuanku Imam Bonjol-Naali Sutan Caniago, alih tulis, revisi 2003 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta, LP3ES, 1980, hal.38 Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860 , anak dari Muhammad Saleh Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya berasal dari Betawi. Syekh Djamil Djambek meninggal tahun 1947 di Bukittinggi. Haji Rasul lahir di Sungai Batang, Maninjau, tahun 1879, anak seorang ulama Syekh Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Pada 1894, pergi ke Mekah, belajar selama 7 tahun. Sekembali dari Mekah, diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo.

Kemudian kembali bermukim di Mekah sampai tahun 1906, memberi pelajaran di Mekah, di antara murid-muridnya termasuk Ibrahim Musa dari Parabek, yang menjadi seorang pendukung terpenting dari pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Haji Rasul meninggal di jakarta 2 Juni 1945 Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878, anak dari Haji Ahmad, seorang ulama dan pedagang. Ibunya berasal dari Bengkulu, masih trah dari pengikut pejuang Sentot Ali Basyah. Syekh Ibrahim Musa dilahirkan di Parabek, Bukittinggi pada tahun 1882. Zainuddin Labai al-Yunusi lahir di Bukit Surungan Padang Panjang pada tahun 1890. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Yunus. Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah” Kategori: Kelahiran 1908 | Kematian 1981 | Sastrawan Indonesia | Tokoh Islam Indonesia | Pahlawan nasional Indonesia


Tulisan ini, misalnya, sangat terbantu dengan adanya skripsi sarjana IAIN, Wirda Yati, SAg: Dinamika Dakwah Islam di Indonesia, Telaah Terhadap Pemikir¬an Mohammad Natsir. 
 
Dalam bagian pada wawancara dengan Panji Masyarakat Juli 1988 itu, Natsir mengibaratkan kader pempimpin itu adalah seperti harapan Nabi Zakaria yang mendambakanm keturuan yang akhairnya Allah mmemberikan keturuan Nabi Yahya. Natsir optimis lahirnya Yahya-Yahaya baru. Terutama menurutnya adalah dari Kampus dan dari LSM serta kelompok-kelompok pengajian dan pesantren. Yang penting menutut Natsir pada akhir 80-an itu, tercipta situasi yang kondusip yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat atau kebebasan beribicara. 
 
(Sumber : milis dokument buya HMA)
sumber murni : http://www.cimbuak.net/content/view/1829/



 
Berkas:WhatsApp logo-color-vertical.svg - Wikipedia bahasa Indonesia,  ensiklopedia bebas    Instagram Logo Vectors Free Download    Facebook Logos PNG images free download    logo twitter – HIMAFIS UB    Logo Messenger realistic icon on transparent PNG - Similar PNG    Kumpulan Gambar Logo YouTube Lengkap - 5minvideo.id