Budaya Matrilineal Suku Minangkabau: Pengertian, Sejarah, hingga Keistimewaan
Suku Minangkabau atau suku Minang merupakan salah satu etnis di Pulau Sumatera yang menjunjung adat dan budaya Minangkabau. Keberadaan masyarakat dari suku Minangkabau mendominasi populasi di Provinsi Sumatera Barat dengan jumlah yang besar.
Salah satu budaya suku Minangkabau yang berbeda dari wilayah lain di nusantara adalah sistem kekerabatan matrilineal yang dianutnya. Melansir artikel Town and Country, hingga saat ini suku Minangkabau masih menjadi masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia.
Pengertian Sistem Matrilineal Suku Minangkabau
Dilansir dari laman Gramedia.com, matrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu saja. Dari asal katanya, istilah matrilineal terdiri dari kata matri artinya (ibu) dan lineal (garis), sehingga berarti garis ibu. Dalam sebuah keluarga Minang, seorang anak akan mengikuti suku sang ibu, sehingga akan terhubung dengan kerabat ibu berdasarkan kepada garis keturunan perempuan secara unilateral. Oleh karena itu, menarik keturunan dari garis ibu dipandang sangat penting bagi masyarakat Minangkabau.
Sejarah Sistem Matrilineal Suku Minangkabau
Budaya suku Minangkabau disebut telah ada sejak zaman nenek moyang.Dilansir dari artikel Nilai Filosofis Budaya Matrilineal di Minangkabau (Relevansinya Bagi Pengembangan Hak-Hak Perempuan di Indonesia) yang ditulis Iva Ariani dalam Jurnal Filsafat (Februari, 2015), diungkap mengenai sejarah sistem matrilineal dalam suku Minangkabau.
Berdasar cerita para tokoh Minangkabau yang disampaikan secara turun-temurun, hal ini berawal pada masa kepemimpinan Datuk Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang di Minangkabau.
Saat itu panglima perang kerajaan Majapahit, Adityawarman berniat menyerang daerah ini karena tidak memiliki angkatan perang.Kerajaan Minangkabau memang terkenal sebagai daerah yang cinta damai dan benar-benar berusaha untuk menghindari peperangan.
Setelah mengatur siasat, akhirnya Datuk Katumanggungan memutuskan tidak akan menyambut pasukan kerajaan Majapahit dengan barisan prajurit, melainkan dengan keramahan.
Selain itu, panglima perang kerajaan Majapahit, Adityawarman juga dipinang dan dijodohkan dengan adik kandungnya yang bernama Putri Jamilah. Agar keturunan Putri Jamilah tetap menjadi orang Minangkabau dan mendapatkan warisan kerajaan, maka ditetapkan adat Batali Bacambua yang langsung merubah struktur masyarakat Minangkabau.
Adat Batali Bacambua mengubah aturan dari bapak mewariskan kepada anak menjadi harus diwariskan kepada kemenakan, serta suku yang semula didapat dari bapak, menjadi diturunkan dari pihak ibu. Dengan ketentuan baru yaitu waris yang turun dari ibu dan bukan dari bapak, maka keberadaan sosok Adityawarman tidak lebih dari raja transisi di Kerajaan Minangkabau.
Adityawarman hanya akan menjabat hingga nanti lahir kemenakan dari keluarga adiknya, Putri Jamilah yang akan jadi pewaris tahta sebenarnya. Cerita inilah yang dipercaya oleh masyarakat Minangkabau sebagai cikal bakal dari budaya matrilineal yang masih dianut hingga sekarang.
Suku Minangkabau dan Bundo Kanduang Budaya matrilineal ini membuat cara pandang terhadap status perempuan khususnya seorang ibu menjadi sangat sentral. Salah satunya ditunjukkan dengan adanya istilah Bundo Kanduang pada masyarakat Minangkabau. Dikutip dari laman Kemendikbud, kedudukan Bundo Kanduang dalam masyarakat diartikan sebagai perempuan yang diberi kehormatan dan keutamaan menurut adat.
Keunikan Sistem Matrilineal Suku Minangkabau Dampak dari budaya matrilineal ini tak hanya membuat ikatan kekeluargaan jauh lebih kuat pada para keluarga dengan keturunan menurut garis ibu.
Budaya matrilineal juga membuat masyarakat Minangkabau memiliki beberapa keunikan, antara lain:
1. Pernikahan eksogami
Budaya matrilineal membuat pernikahan eksogami menjadi dianjurkan agar kedua belah pihak atau salah satu pihak dari yang menikah tidak lebur ke dalam kaum kerabat pasangannya Pernikahan dengan perempuan dari luar suku Minangkabau tidak disukai karena anak tidak akan mempunyai suku. Sebaliknya, perkawinan dengan laki-laki luar suku Minangkabau tidak dipermasalahkan, karena tidak merusak struktur adat dan anak tetap mengikuti suku dari ibunya.
2. Tradisi melamar laki-laki
Tradisi ini juga menjadi keunikan suku Minang, di mana tak jarang pihak perempuan yang datang melamar pihak laki-laki, bahkan memberi mahar. Perempuan minang akan 'membeli' si laki-laki dengan uang yang disebut uang japuik, membawa seserahan, dan juga cincin emas untuk menghargai keluarga laki-laki. Hal ini juga dilakukan karena nantinya laki-laki akan menjadi menjadi tumpuan keluarga perempuan. Setelah menikah, seorang laki-laki akan menjadi “tamu” sebab mereka kemudian akan tinggal di rumah keluarga istrinya.
3. Ketentuan penggunaan harta
Dalam sebuah keluarga, terdapat wanita tertua atau dituakan di kaum yang dijuluki limpapeh atau amban puruak. Ia akan mendapat kehormatan sebagai penguasa seluruh harta kaum dan mengatur pembagiannya. Sementara laki-laki tertua di kaum akan diberi julukan sebagai tungganai. Ia bertugas sebagai mamak kapalo warih yang hanya berkuasa untuk memelihara, mengolah, dan mengembangkan harta milik kaum, tapi tidak untuk menggunakannya.
4. Penentuan pembagian warisan
Termasuk dalam urusan pembagian warisan, nantinya orang-orang dari garis keturunan ibu akan mendapatkan porsi lebih banyak dibanding dari garis bapak. Kuatnya hubungan ini sendiri dilandasi oleh tujuan serta berbagai kepentingan bersama, yaitu berupa kepemilikan atas rumah dan tanah. Sehingga meski perempuan berperan besar dalam kesukuan, bukan berarti ia akan mendapatkan kuasa penuh pada harta warisan atau pusaka di keluarganya. Dari pembagian harta warisan ini biasanya harta warisan akan digunakan secara bersama-sama oleh sang penerima warisan dengan anggota keluarga yang lain. Bisa dibilang, harta warisan ini kemudian tidak bisa dibagi dan harus tetap utuh karena menjadi milik bersama.