Sistem Matrilineal Suku Minang
Salah satu suku terbesar yang ada di negara ini adalah suku Minangkabau, suku ini menjadi sorotan dengan berbagai tradisi yang dimilikinya. Tradisi Minangkabau yang akan dibahas adalah mengenai sistem matrilinial yang dianut jauh sebelum islam datang ke wilayah Minangkabau
Melansir podcast yang ditayangkan oleh akun YouTube @bpk3sumber pada tanggal 8 Desember 2021 lalu bahwa kesalahpahaman terhadap sistem matrilinial perlu untuk diluruskan.
Sistem ini tidaklah bertentangan dengan ajaran islam justru sebaliknya, sistem Matrilineal sangat sejalan dengan ajaran Islam. Pasalnya, sistem matrilinial dalam mengatur garis suku memang mengikuti ibunya, sedangkan pengaturan nasab tetap mengacu pada ajaran islam yaitu berdasarkan nasab bapak.
Lantas, apa saja yang diatur dalam sistem matrilinial? dan apa yang membuat masyarakat Minang menerapkan sistem matrilinial? Berdasarkan penuturan dari bapak Yus Datuak Parpatiah seorang Budayawan SumBar bahwa sistem matrilinial dalam hal penetapan suku karena berdasarkan beberapa alasan, diantaranya;
Dominasi peran ibu terhadap kehidupan anak
Seperti yang kita ketahui bahwa ibu sebagai seorang panjago rumah (penjaga rumah) sementara ayah lebih banyak melakukan kegiatan operasional di luar untuk keperluan mencari nafkah. Sehingga ibu memiliki intensitas secara waktu maupun kedekatan yang lebih dengan anaknya. Begitu pun peran-peran besar seorang ibu dalam membesarkan anak, sehingga garis suku setiap anak di Minangkabau mengikuti suku ibu dibandingkan suku bapak.
Ibu sebagai pemilik sawah
Dalam podcast tersebut Datuk Yus menjelaskan analogi saat seorang ibu mengandung maka ibu sebagai ‘pemilik sawah’ sementara bapak sebagai bibit awal dan penyokong asupan untuk ibu hamil tersebut.
Lagi-lagi peran ibu dinilai lebih besar saat mengandung anaknya, karena sebagai sawah atau pemilih rahim sehingga saat hamil seorang ibu akan membawa beban di dalam kandungannya selama sembilan bulan lamanya.
Seorang anak pasti dilahirkan oleh ibunya
Alasan ini maksudnya untuk menegaskan bahwa hubungan ibu dan anak tidak akan bisa ditentang, sementara anak dengan bapak bisa saja ada kekeliruan, seperti kasus-kasus ‘kecelakaan’. Sehingga untuk menghindari potensi kekeliruan ditetapkanlah ibu menjadi patokan suku setiap anak di Minangkabau.
Sistem Matrilineal tidak hanya mengatur mengenai suku, namun juga mengatur peran-peran perempuan serta hak-hak istimewa yang diperolehnya.
Datuak Yus menuturkan bahwa warisan yang diberikan kepada perempuan Minang bukan berarti perempuan minang bisa bebas dengan leluasa menggunakan harta tersebut untuk keperluan pribadinya, penggunaan harta warisan tetap berdasarkan kebijaksanaan mamak dalam suatu suku.
Itulah mengapa dalam pakaian adat Bundo Kanduang terdapat makna filosofi dari sebuah istilah “amban puruak, aluang bunian”, amban artinya ikat pinggang, dan puruak mengarah pada sebuah kantong atau saku.
Sementara aluang bunian adalah semacam wadah yang terbuat dari kayu untuk menyimpan barang-barang berharga, makna secara keseluruhan adalah; Bundo Kanduang maupun wanita di Minangkabau berperan sebagai bendahara atau penyimpan harta pusaka.
“Perempuan Minang megang kunci, tapi ndak bisa dibuka sembarangan kalau tidak seizin mamak” ungkap Datuak Yus.
Selain hak istimewa sebagai penyimpan harta, perempuan Minang dahulunya sangat diperhatikan dalam hal perjodohan, tradisi keluarga perempuan yang datang meminang di Minangkabau dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab keluarga terhadap anak perempuannya.
Di Minang terkenal sebuah pepatah yaitu rancak dek awak katuju dek urang, artinya; bagus bagi kita, disukai oleh orang-orang. Sehingga dahulunya sumando atau laki-laki yang menikah dengan perempuan minang sangat diperhatikan bibit, bebet maupun bobotnya, hal ini demi kebaikan anak perempuan tersebut untuk masa depannya.***