Matrilineal di Minangkabau
Sumatera Barat memiliki banyak keunikan, Salah satunya adalah Sistem Kekerabatan Matrilineal yaitu Sistem kekerabatan berdasarkan Garis Keturunan Ibu. Setiap anak yang lahir dalam sebuah keluarga minang akan menjadi kerabat keluarga ibunya, bukan kerabat ayahnya yang biasa terjadi di suku-suku lain di Indonesia. Hal ini menjadikan ciri khas tersendiri bagi Minangkabau yang membedakannya dengan suku lain di Indonesia, berikut dijelaskan kenapa orang minang menganut garis keturunan ibu atau matrilineal atau matriakhi dan bukannya patrilineal.
1. Secara Logika
Selain di Minangkabau yang menganut Matrilineal ada juga daerah lain yg menganut sistem tsb yaitu : Negara Bagian Gowa (India) dan Malagasi di Afrika. Betapapun Modernisasi melanda Minangkabau, Budayanya tetap tdk akan tergusur. Harta ulayat diwariskan kepada perempuan. Sedangkan kaum lelaki hanya mengawasinya. Kenapa Kaum Ibu ?
Yang ada didunia adalah :
Ibu Negara, Ibu Kota dan Ibu Jari, tidak ada Bapak Negara, Bapak Kota atau Bapak Jari. Dalam Etika Antre berbasa basi kita mendengar Ladies First. Dalam Al-Quran terdapat Surat Annisa, tidak terdapat Surat Rajulun. Kuburan Nenek moyang manusia Siti Hawa diabadikan untuk nama kota Jeddah Nenek di Arab Saudi tapi tidak diketahui makam Nabi Adam AS.
2. Fitrah Manusia Ketika Lahir ke alam Dunia
Bukankah bayi yang sudah bicara waktu menangis memanggil Maak.... maak...? Dalam mengekspresikan keluhan terucap Ondeh Mandeh Memaki lawan terlontar Mandeh aang !
Waktu lahir siapakah saksinya ? Tidak ada yang tahu kecuali Tuhan dan sang ibu ketika proses pembapakan terjadi. Sementara untuk seorang ibu, sangat lah jelas, sangat transparan. Sembilan bulan Ibu mengandung bakal anaknya. Pasti banyak orang melihat. Ketika melahirkan pun ada saksinya, paling tidak bidan yang menolong persalinan.
Keturunan menurut garis ibu adalah pasti dan murni. Hanya dari seorang ibu dapat dibuktikan ia melahirkan seorang anak. Sedangkan dari Bapak tidak, tidak ada saksinya.
Ada pun yang selalu dipertanyakan, ketua LKAAM, diantaranya, tentang tidak sesuainya adat minang dengan syara. Misalnya, dalam agama kekerabatan tidak matrilineal, atau garis keturunan dari ibu. Kenapa di Minangkabau garis keturunan justru dari ibu? Sayuti menjelaskan, dalam Islam memang tidak ada hadits yang mengatakan kekerabatan matrilineal, namun tidak ada juga hadits yang melarangnya. Bahkan, nabi justru menyuruh menghormati ibu tiga kali lebih dari ayah.
Kemudian, Sayuti juga sering mendapat pertanyaan, kenapa harta pusaka tidak boleh dijual dan dibagikan pada anak? Padahal dalam Islam orangtua harus membagi harta pada anak laki-lakinya. Pria yang akrab dipanggil Datuk ini mengatakan, dalam Minang harta pusaka terbagi dua, yaitu ; Harta pusaka yang merupakan harta milik seluruh anggota keluarga yang diperoleh secara turun temurun melalui pihak perempuan. Anggota kaum memiliki hak pakai dan biasanya pengelolaan diatur oleh datuk kepala kaum. Harta pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan dan hanya boleh digadaikan.
Pusako tinggi tidak boleh dijual karena bukanlah pencarian atau pembelian orangtua kita. Harta pusaka tinggi tidak jelas siapa yang punya pertama kali dan pemilik pertama biasanya adalah orang yang membuka lahan pertama kali. Dia tidak pernah meninggalkan wasiat untuk boleh menjual. Logikanya sederhana saja, secara Islam, kalau kita menjual harta yang bukan milik kita dan tidak ada wasiat untuk kita, hukumnya haram. Makanya tidak boleh dijual, bebernya.
Selanjutnya kenapa di Minangkabau pimpinan kaum tidak ada perempuan? Menurut Sayuti, dalam Islam juga tidak ada panglima perang perempuan. Pasalnya, dalam sejarah dijelaskan, setiap panglima menjelang pergi perang berwudhu dan pergi dalam keadaan suci dan hati yang ikhlas. Sehingga ketika gugur langsung dimakamkan supaya mendapatkan gelar mujahidin. Perempuan tidak mungkin bisa seperti itu, karena ada masa datang bulan dan keadaan tidak suci. Selain itu, menurutnya itu sangat sesuai dengan agama, contohnya, nabi juga tidak ada yang perempuan.
3. Kedudukan Perempuan di Minangkabau
Perempuan/ibu yang disebut bundo kanduang digambarkan sebagai limpapeh (tiang) rumah nan gadang (rumah tangga). Peran utamanya ada dua; pertama, melanjutkan keberadaan suku dalam garis Matrilineal dan kedua, menjadi ibu rumah tangga dari keluarga, suami dan anak-anaknya. Dalam sistim keluarga matrilineal, selain memiliki keluarga inti (ayah, ibu dan anak) juga punya keluarga kaum (extended family). Dalam keluarga kaum terhimpun keluarga Samandeh (se-ibu). Anggota keluarga Samandeh berasal dari satu Rumah Gadang dan dari saudara seibu. Pimpinan dari keluarga Samandeh adalah Mamak Rumah (yaitu seorang saudara laki-laki dari ibu). Sistem ini menempatkan laki-laki pada peran pelindung dan pemelihara harta dari perempuan dan anak turunan saudara perempuannya.
Keterkaitan dan keterlibatan seorang individu dalam sistim matrilineal terhadap keluarga inti dan keluarga kaum adalah sama. Dimana seorang perempuan, walau sudah menikah tidak lepas dari ikatan kaumnya. Perempuan Minang dikatakan memegang kekuasaan seluruh kekayaan, rumah, anak, suku dan kaum, ia memiliki kebesaran yang bertuah (kata-katanya didengar oleh anak cucu). Hal ini makin memperjelas kokohnya kedudukan perempuan Minang pada posisi sentral.
Sedangkan ayah dalam masyarakat hukum adat Minangkabau, adalah bapak dari anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang diikat dengan satu hubungan pernikahan. Suku anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut ditentukan mengikuti garis keturunan ibu mereka. Seorang suami tidak punya kewenangan mengatur keluarga pihak istrinya namun kedudukannya sebagai sumando (menantu) begitu dihormati oleh kaum istrinya. Dan di sisi lain, dia tetap mempunyai keterikatan dan tanggung jawab terhadap kaumnya sebagai penghulu dan niniak mamak. Sehingga, seorang ayah tidak hanya berperan sebagai bapak dari anak-anaknya, tapi juga sebagai mamak dari kemenakannya dan berkewajiban memperhatikan dan menjaga para kemenakan tersebut. Dia wajib melindungi keduanya, sesuai pepatah adat Minang anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak dipangku keponakan dibimbing).
Oleh karena itu lahirlah sebuah kompromi dari sistim matrilineal dan syariat Islam, bahwa generasi Minangkabau yang dilahirkan senantiasa bernasab ayahnya dan bersuku ibunya. Suatu persenyawaan agama dan budaya yang sangat indah.
yang jadi masalah sampai kini ko urang awam dak mangarati kalau masalah adaik tu khusus untuak adaik ijan dicampua aduak jo ego masiang-masiang batua ndak, Urang minang tu mamuliakan kaum induak karano kaum induak tu panghuni rumah gadang ijan kaum induak tu terlantar karano kaum bapak tu lai bapitih.
Sadangkan kaum induak ko kamano ka dicari kok suami no alah maningga, nan jaleh nan wak bahas ko adaik pusako Minang, dilua adaik pusako Minang dak wak bahas, bia fokus karano janjangnyo alah lain tu mah .
Ndak ado yang manyimpang dari syariah tu doh, namun kini karano urang dak banyak tahu jo adaik banyak dak mangarati jadi asa mangecek-sen sakalamak paruiknyo surang
4. Islam memberi kedudukan dan penghormatan yang tinggi kepada wanita,
Dalam hukum ataupun masyarakat. Dalam kenyataan, jika kedudukan tersebut tidak seperti yang diajarkan ajaran Islam maka itu adalah soal lain. Sebab, struktur, adat, kebiasaan dan budaya masyarakat juga memberikan pengaruh yang signifikan.
Beberapa bukti yang menguatkan dalil bahwa ajaran Islam memberikan kedudukan tinggi kepada wanita, dapat dilihat pada banyaknya ayat Alquran yang berkenaan dengan wanita. Bahkan untuk menunjuk kan betapa pentingnya kedudukan wanita, dalam Alquran terdapat surah bernama An-Nisa, artinya wanita. Selain Alquran, terdapat berpuluh hadits (sunnah) Nabi Muhammad SAW yang membicarakan tentang kedudukan wanita dalam hukum dan masyarakat.
Pada masyarakat yang mengenal praktik mengubur bayi wanita hidup hidup, ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW sangat revolusioner, yakni: Yang terbaik diantara manusia adalah yang terbaik sikap dan prilakunya terhadapkaum wanita. Atau Barang siapa yang membesarkan dan mendidik dua putrinya dengan kasih sayang, ia akan masuk sorga. Kemudian, Sorga itu berada di bawah telapak kaki ibu (hadits).
Dalam catatan sejarah dapat ditelusuri, ajaran Islam telah mengangkat derajat wanita sama dengan pria dalam bentuk hukum, dengan memberikan hak dan kedudukan kepada wanita yang sama dengan pria sebagai ahli waris mendiang orang tua atau keluarga dekatnya. Hukum Islam pula yang memberikan hak kepada wanita untuk memiliki sesuatu (harta) atas namanya sendiri. Padahal ketika itu kedudukan wanita rendah sekali, bahkan dalam masyarakat Arab yang bercorak patrilineal sebelum datang Islam, wanita mempunyai banyak kewajiban, tetapi hampir tidak mempunyai hak. Wanita dianggap benda belaka, ketika masih muda ia kekayaan orang tua nya, sesudah menikah ia menjadi ke kayaan suami nya. Sewaktu-waktu mereka bisa diceraikan atau dimadu begitu saja. Fisiknya yang lemah, membuat wanita dipandang tak berguna karena ia tak dapat berperang mempertahankan kehormatan. Pandangan ini tentu saja merendahkan derajat wanita dalam masyarakat. Kedudukan wanita yang rendah itulah, kemudian menjadi salah satu hal yang diperangi dan ditinggalkan oleh ajaran Islam.
Menurut ajaran Islam:
Kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah (QS Al-Ahzab:35,Muhammad:19). Persamaan ini jelas dalam kesempatan beriman, beramal saleh atau beribadah (shalat, zakat, berpuasa, berhaji) dan sebagainya.
Kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya (QS An-Nisa:4 dan 32).
Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan (QS An-Nisa:7).
Kedudukan wanita sama dengan pria dalam memperoleh pendidikan dan ilmu pengetahuan, Mencari/menuntut ilmu pengetahuan adalah kewajiban muslim pria dan wanita (Hadits).
Kedudukan wanita sama dengan pria dalam kesempatan untuk memutuskan ikatan perkawinan, kalau syarat untuk memutuskan ikatan perkawinan itu terpenuhi atau sebab tertentu yang dibenarkan ajaran agama, misalnya melalui lembaga fasakh dan khulu, seperti suaminya zhalim, tidak memberi nafkah, gila, berpenyakit yang mengakibatkan suami tak dapat memenuhi kewajibannya dan lain-lain.
Wanita adalah pasangan pria, hubungan mereka adalah kemitraan, kebersamaan dan saling ketergantungan (QS An-Nisa:1, At-Taubah:71,ArRuum:21, Al-Hujurat:13). QS Al-Baqarah:2 menyimbolkan hubungan saling ketergantungan itu dgn istilah pakaian; Wanita adalah pakaian pria, dan pria adalah pakaian wanita.
Kedudukan wanita sama dengan kedudukan pria untuk memperoleh pahala (kebaikan bagi dirinya sendiri), karena melakukan amal saleh dan beribadahdi dunia (QS Ali Imran:195, An-Nisa:124, At-Taubah:72 dan Al-Mumin:40). Amal saleh di sini maksudnya adalah segala perbuatan baik yang diperintahkan agama, bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat, lingkungan hidup dan diridhai Allah SWT.
Hak dan kewajiban wanita-pria, dalam hal tertentu sama (QSAl Baqarah:228, At-Taubah:71) dan dalam hal lain berbeda karena kodratmereka yang sama dan berbeda pula (QS Al-Baqarah:228, An-Nisa:11 dan 43). Kodratnya yang menimbulkan peran dan tanggung jawab antara pria dan wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari misalnya sebagai suami-isteri fungsi mereka pun berbeda. Suami (pria) menjadi penanggung jawab dan kepala keluarga, sementara isteri (wanita) menjadi penanggung jawab dan kepala rumah tangga.
Menurut ajaran Islam, seorang wanita tidak bertanggung jawab untuk mencari nafkah keluarga, agar ia dapat sepenuhnya mencurahkan perhatian kepada urusan kehidupan rumah tangga, mendidik anak dan membesarkan mereka. Walau demikian, bukan berarti wanita tidak boleh bekerja, menuntut ilmu atau melakukan aktivitas lainnya. Wanita tetap memiliki peranan (hak dan kewajiban) terhadap apa yang sudah ditentukan dan menjadi kodratnya. Sebagai anak (belum dewasa), wanita berhak mendapat perlindungan, kasih sayang dan pengawasan dari orang tua nya. Sebagai isteri, ia menjadi kepala rumah tangga, ibu, mendapat kedudukan terhormat dan mulia. Sebagai warga masyarakat dan warga negara, posisi wanita pun sangat menentukan. (***)